Membangun database alumni pada sebuah paguyuban itu mudah! Tinggal datang ke sekolah, minta data lulusan per tahun lalu jadilah ia!
Perkaranya adalah, menjaga supaya database itu tetap up-to-date. Bagaimana ia mampu mengelola perubahan yang secara alamiah pasti terjadi mulai dari perubahan alamat tempat tinggal, email, nomer telepon yang bisa dihubungi hingga perubahan alam alias tutup usia.
Banyak paguyuban yang lantas mengira memilih jalur online adalah solusinya. Padahal tak semua yang punya embel-embel online itu adalah solusi kecuali kalau memang untuk gengsi-gengsian semata.
Tapi benarkah memilih jalur online itu menghadirkan solusi adanya database alumni yang mengakomodir perubahan?
Jawabannya gampang dan mudah: tergantung!?Kalau sekadar memenuhi kriteria online, membangun database online tentu mudah. Tinggal upload sebuah file berisi data alumni ke sebuah web hosting, diberi penamaan global untuk bisa diakses (biasanya menggunakan domain name) lalu sudah! Jadilah database online!
Database online akan menjadi solusi kalau ia berada dalam sebuah sistem yang memungkinkan pengaksesnya melakukan kegiatan transaksional (menambah, menghapus dan memperbaharui).
Komunitas lantas tinggal menunjuk seorang atau sekelompok orang yang dijadikan administrator untuk melakukan kegiatan tersebut. Idealnya, setiap data yang datang akan divalidasi dan dimasukkan satu per satu.
Tapi persoalannya paguyuban alumni umumnya bukanlah organisasi yang solid yang bisa mengikat anggotanya untuk mengerjakan tugas selayaknya kantor tempat kita bekerja mengikat kita.
Sehingga tak jarang meski awalnya begitu banyak anggota yang bersemangat, pengurusan database online mangkrak di tengah jalan padahal ini adalah pekerjaan yang tipenya tak kan berhenti sampai akhir jaman.
User-Generated Content
Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Membangun sebuah sistem yang memungkinkan anggota paguyuban alumni untuk mengakses data dirinya masing-masing lah jawabannya. Dalam bahasa kerennya adalah user-generated content atau biasa disingkat sebagai UGC.
Jadi bayangkanlah dirimu sendiri sebagai anggota komunitas alumni, yang harus kamu lakukan adalah masuk ke website paguyuban lalu mengupdate data dirimu kalau kamu berganti nomer telepon atau alamat email atau alamat rumah.
Tapi tantangannya lantas bagaimana meyakinkan sistem bahwa orang yang hendak mengakses data diri kita adalah benar-benar kita sendiri? Bagaimana kalau ada orang lain yang bertindak seolah-olah ia adalah diri kita lantas mengubah data secara sembarangan?
Autentikasi
Untuk itulah dalam sistem UGC, penggunaan username dan password untuk proses autentikasi adalah sangat vital. Sistem akan mencocokkan kedua variabel tersebut. Jika cocok berarti kamu berhak mengakses, jika tidak, sistem akan menganggap kamu bukanlah orang yang berhak (oleh karena itu ada fasilitas ?forgot password? untuk memberikan kesempatan mereka yang lupa passwordnya).
Dalam praktek, username dapat berupa nomer induk alumni yang terhubung dengan alamat email atau mobile phone number yang bisa dihubungi. Masa kini, akun di social media pun bisa dijadikan pengganti.
Apakah persoalan terhenti di sini?
Tidak. Bagaimana sistem bisa tahu bahwa kita menggunakan alamat email atau mobile phone number tertentu?
Misal. Alamat emailku adalah indonesia@gmail.com. Ketika aku mendaftarkan diri sebagai alumni di sebuah sistem online, tentu aku akan menggunakan alamat email tersebut. Pada saat yang bersamaan, ada seorang lain, yang menyaru sebagai diriku dan menggunakan alamat email donny.verdian@gmail.com. Pertanyaannya adalah, mana yang harus ia percaya? Alamat email yang mana?
Nah!
Inilah pangkal persoalan terbesar dari pembangunan database online bagi komunitas alumni yang sesungguhnya.
Banyak komunitas alumni online mengalami kejatuhan di sini. Beberapa orang tak bertanggung jawab lantas memanfaatkan kelemahan ini untuk merusak validitas database yang ada melalui pemalsuan data diri misalnya.
Touch-point
Lalu bagaimana solusinya?
Tawaranku, berpikirlah pada konsep bahwa secanggih-canggihnya sistem online, ia tak kan pernah bisa benar-benar lepas dari cara kerja offline. Perlu ada satu-dua titik temu, touch-point, antara kedua kutub itu, online dan offline.
Dalam rangka pembangunan database alumni online, proses autentikasi mendasar inilah yang harus dijadikan touch-pointnya.
Aku percaya dalam sebuah paguyuban alumni yang baik, ia mempunyai ranting-ranting pengurus di tingkat regional/daerah dan dikepalai seorang pengurus katakanlah ketua wilayah atau ketua region tapi baiklah untuk memudahkan kuanggap ia berpredikat gubernur.
Nah, pada level gubernur, touch-point bisa diadakan.
Gubernur, berdasarkan data awal dari sekolah, mendata para alumni yang ada di daerahnya lalu mengontak mereka satu per satu untuk mengumpulkan informasi yang sangat ringkas: alamat email atau mobile phone number.
Kalau tak punya alamat email atau mobile phone number, gubernur bisa memfasilitasinya menggunakan alamat email atau mobile phone number default dengan catatan prosentasenya tentu sangat kecil!
Nama, alamat email dan mobile phone number ini lantas dikirimkan kepada administrator sistem untuk dimasukkan sebagai data awal.
Administrator lantas mengirim email/pesan otomatis ke alamat email/mobile phone number berisi password untuk masuk ke sistem pertama kalinya (dengan kemampuan mengubah password selanjutnya).
Sampai di sini, persoalan selesai!
Eh, selesai?!?
Nanti dulu!!! Bagaimana dengan alumni yang mengganti alamat emailnya atau nomer mobile phone-nya tapi tak sempat mengganti datanya di website?
Sistem bisa diatur untuk mengirimkan pesan/email sekali dalam satu periode waktu tertentu, misalnya enam bulan atau setahun untuk menge-check validitasnya.
Jika pesan/email terbalas sebagai bukti bahwa si alumni masih menggunakannya persoalan selesai. Jika tidak? Sistem bisa pula diatur untuk mengirim email otomatis ke gubernur dan pengurus lainnya untuk melakukan ?touch-point? yang kedua; bertanya pada alumni secara langsung apakah ia masih menggunakan alamat email/nomer telepon yang pernah diberikan atau sudah mengganti tapi tak sempat/lupa mengganti data di website.
Hal ini harus diadakan secara simultan sebagai cara untuk menjaga validitas database alumni hingga akhirnya teknologi menemukan cara yang lebih baik lagi.
Sesederhana inikah?
Sebagai pondasi, menurutku memang harus dibuat sesimple tapi seefektif mungkin. Inilah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga komunitas alumni memiliki database yang memadai.
Jangan buru-buru dengan membuat sistem kartu anggota yang fancy, jangan buru-buru membuat rencana membagikan berbagai macam benefit kalau komunitas tidak memiliki konsep pengadaan database online yang baik.
Demikian yang bisa kutuangkan hari ini.
Tulisan ini tidak berdasarkan pada satu disiplin ilmu yang kupelajari melainkan berlandaskan pada ?best practice? menurut pemikiranku dan hasil percakapan dengan beberapa kawan belum lama ini.
Kalian tertarik berdiskusi tentang hal ini? Atau ingin menghubungiku untuk membantu membangun/memperbaiki komunitas online kalian? Drop me a line!
iki sakjane curcol pas pilpres wingi tho :)
Menarik iki buat akademi berbagi, sudah punya sistem sakjane tapi empowerment buat update data ini msh susah banget.
Keren nih, menginspirasi utnuk bikin database sekolah, dan keluarga (silsilah). Untuk aplikasinya, apakah bisa di share?
Tks.