Sebut saja namanya Tuliman.
Teman sekelas di SMP yang sangat concern pada ramalan cuaca yang dibawakan tiap Dunia Dalam Berita waktu itu. Tuliman begitu rajin mencermati dan mempercayai ramalan cuaca. Pada saat cuaca diramalkan hujan maka bisa dipastikan esok paginya ia membawa payung ke sekolah tak peduli apakah langit pagi itu memang benar-benar berawan atau cerah sekalipun.
Kami sih dulu sering menertawakannya terutama kalau ternyata ramalan meleset, tapi pernah beberapa waktu gantian ia yang menertawakan kami yang harus berlama-lama menunggu hujan reda di selasar sekolah sementara ia bisa melenggang kangkung pulang berlindung di bawah payung yang memang sudah ia persiapkan itu.
Tuliman, temanku itu, dan kepekaannya terhadap ralaman cuaca adalah contoh tentang bagaimana kepekaan kita merespon sebuah pesan; sesuatu yang hendak kusampaikan di postingan kali ini.
* * *

Contoh 'pesan' di Australia
Hidup di negara maju seperti Australia, menuntut kita untuk peka terhadap pesan dan ini adalah sebuah pelajaran baru bagiku. Bisa dibilang, sepindahku dari Indonesia, aku belajar banyak tentang bagaimana kita harus mau membaca dan mengindahkan pesan.
Tantangan terberatnya adalah kita harus selalu ‘aware’ terhadap apapun pesan itu. Kita harus tanggap menyadari akan adanya pesan, membacanya, mengingatnya lalu mengindahkannya jika hal itu memang terkait dengan kita.
“Tantangan terberatnya adalah kita harus selalu ‘aware’ terhadap apapun pesan itu.”
Sepertinya gampang, tapi pada praktiknya tidak sama sekali karena dibutuhkan konsistensi dalam membangun sikap ‘aware’ itu. Belum lagi ada berapa banyak pesan yang harus kita serap adalah tantangan lainnya.
Lalu, bagaimana penerapan pesan di Australia pada prakteknya? Ada begitu banyak pesan yang disampaikan oleh pihak yang berkepentingan kepada warga. Kubilang ‘pihak yang berkepentingan’ karena tak melulu pemerintah saja yang mengabarkan pesan.
Misalnya, hampir setiap pemilik rumah yang trotoar depannya adalah area parkir, selalu menuliskan larangan parkir tepat di depan pintu lengkap dengan embel-embel “…untuk setiap pelanggar akan di-perkara-kan.” Seram, tho?
Pesan-pesan itu biasa dikemukakan dalam bentuk papan bertuliskan pesan, bisa juga tulisan yang dipasang di badan jalan, di bawah rambu lalu-lintas, di papan-papan digital yang terpampang di jalan raya dan fasilitas umum lainnya serta bentuk-bentuk lain di media-media yang berlainan pula.
Jangan berpikir bahwa kami semua, warga di sini, adalah orang yang peduli dengan pesan meski aku harus bilang bahwa kebanyakan dari kami memang pada akhirnya menjadi sangat peduli karena tuntutan.
Tuntutan? Iya! Kami dituntut untuk peduli dengan pesan karena kami tahu bahwa dengan cara itulah kami dengan mereka, yang berkepentingan, berkomunikasi. Oleh karenanya, jangan harap kalau misalnya kita ketahuan melanggar aturan atau lalai menanggapi himbauan yang di-pesan-kan lantas kita protes, “Lha saya belum dikasih tahu tentang aturan yang baru itu!” karena mereka hanya akan memicingkan mata, mengangkat alis dan berkomentar, “Kamu nggak baca pesan di jalan-jalan?”
Lalu apa sih kunci keberhasilan dalam penyampaian pesan di sini? Ada banyak hal, tapi yang paling menonjol menurutku adalah pada konsistensi penggunaan pesan sebagai media komunikasi. Pihak yang berkepentingan dan pemerintah di sini sangat konsisten untuk menggunakan pesan tak hanya pada hal-hal standard seperti misalnya rambu-rambu lalu-lintas tapi juga aturan-aturan baru yang dirilis. Mereka menjaga update dari sebuah pesan, itu intinya.
“Tak 100% juga dari para pelanggar yang kerap kena sangsi itu lantas menjadi jera, karena mereka pun manusia yang juga ada macamnya yang selalu punya alasan untuk tak mau peduli terhadap apapun, termasuk pesan.”
Contoh paling mudah, pernah suatu ketika ada kecelakaan cukup besar terjadi di sebuah highway. Sebuah mobil karena kehilangan kendali lalu jatuh ke jurang karena tak bisa mengatur laju kendaraannya melalui sebuah tikungan tajam. Polisi dan RTA (Road and Traffic Auth.) tak bisa disalahkan karena mereka telah memasang rambu permintaan untuk menurunkan kecepatan hingga 100kmh. Namun meski demikian, toh mereka lalu berunding, melakukan berbagai macam riset dan mempelajari kasus hingga akhirnya memutuskan untuk kembali menurunkan batas kecepatan maksimal hingga 60kmh khusus di tikungan itu. Rambu 100kmh itu diturunkan dan tergantikan dengan 60kmh.
Faktor kedua adalah bagaimana warga dilatih untuk peduli terhadap pesan. Untuk itu, tak bisa tidak kita memang harus melatih diri untuk mau peduli dan kuyakin kalian setuju bahwa tidak ada jalur instan untuk mencetak generasi yang sadar pesan seperti itu. Jalur pendidikan formal maupun non-formal (keluarga dan komunitas) memegang peran penting terhadap bagaimana membangun sikap peduli terhadap pesan sejak dini dan bertahap.
Dari contoh yang kutulis di atas, kalau kita tidak terlatih untuk peduli terhadap pesan, perubahan aturan batas kecepatan maksimal dari 100kmh ke 60kmh itu barangkali bukan sesuatu yang penting bahkan kita tak sadar bahwa aturan telah diubah terkait kecelakaan yang terjadi belum lama ini.
Faktor ketiga yang pada akhirnya mendukung terciptanya masyarakat yang tanggap akan pesan adalah keseriusan pihak yang berkepentingan dalam menerapkan sangsi bagi para pelanggar pesan. Hanya dengan cara itulah maka masyarakat bisa jera dan pada akhirnya peduli pesan.
Tak 100% para pelanggar itu mendapat sanksi sebenarnya karena sehebat-hebatnya pemerintah dan pihak yang berwenang dalam menjaga pesan, mereka juga adalah manusia.
Tak 100% juga dari para pelanggar yang kerap kena sangsi itu lantas menjadi jera, karena mereka pun manusia yang juga ada macamnya yang selalu punya alasan untuk tak mau peduli terhadap apapun, termasuk pesan.
Untuk kenyataan yang terakhir ini, aku hanya bisa bilang bahwa inilah tantangan kehidupan bermasyarakat.
* * *
Kemarin, langit cerah membiru di pagi hari meski di malam harinya, melalui televisi dilaporkan bahwa siang ini akan hujan deras disertai badai hingga sekitar empat jam sesudahnya.
Meski demikian, niatku untuk membawa payung kuurungkan karena tiba-tiba sesuatu dalam benak berbicara, “Apa kamu nggak diketawain orang lha wong biru-birunya langit sedang indah-indahnya kok kamu bawa payung?”
Akhirnya aku beneran melenggang tanpa payung. Sekitar jam 1 siang, angin tiba-tiba berhembus mengencang hingga sekitar 2 jam lamanya. Langit yang semula membiru kini jadi tempat tumpukan awan yang akhirnya berubah wujud menjadi air, hujan. Aku merasa kembali ‘terkalahkan’ dengan kenyataan bahwa meski aku telah belajar untuk peduli pesan, kali ini aku kembali gagal :)
Jadi ya sudahlah.. sambil menunggu hujan reda untuk segera pulang, aku menuliskan semua ini sambil mencoba tak melongok ke jalan, takut si Tuliman, temanku tadi itu, tiba-tiba nongol di sana dan menertawaiku sambil menari di bawah payungnya, di tengah derasnya hujan…
Selamat sore, selamat beristirahat!
aku jadi kelingan pesan yang pernah aku lihat “dilarang buang sampah, kecuali anjing” :P
ada juga “dilarang kencing, kecuali anjing”. ditulis seadanya dengan cat dan tulisannya pun gak teratur…xixixixiixixix..
mungkin karena saking sebelnya areanya dijadikan tempat sampah atau tempat buang air kecil
Arena pembaptisan apakah seseorang itu layak menjadi anjing atau tidak ya :)
Iya Don..gmana bikin Quote ky gituh?
See my twitter :)
Om Don, kalau saya tidak salah, Tuliman itu seperti para among tani, yang begitu peka membaca pesan alam. Orang di tempat saya, mungkin juga di Yogya, menyebutnya “memiliki ilmu titen”. Jadi, oleh karena Tuliman memiliki ilmu titen itu, ia berpeluang selamat daripada yang lain.
Maka, penting kiranya kita memiliki ilmu titen serupa yang dimiliki Tuliman itu terhadap pesan-pesan yang tidak hanya alam sampaikan, tetapi pesan dari sesama manusia. Sayang, Om, banyak orang, termasuk saya ini, tidak titen terhadap pesan yang ada.
Salam kekerabatan.
Hehehe betul, Pak…
Anda menyadarkan saya bahwa bahkan para among tani itu juga begitu peka.. kita harus malu terhadap mereka ya, Pak :)
Don.
Pertama : bagaimana caranya bikin kalimat quote berwarna orange itu bisa ada di kanan or di kiri?
Loh Tuliman itu ada di Australi juga ya Don.
OH ya, menurutku Don, pada dasarnya yg berbau pesan, instruksi, perintah, larangan, adalah hal yang bersifat edukasi. Manusia pada dasarnya kan memang ada yg lambat nangkap, ada yg lumayan cerdas, bahkan ada yg kelewat pintar — mungkin akan menuntut pemerintah bila membuat sign yg tidak tepat sasaran. Jadi syukurlah kalau polisi dan pemerintah tidak langsung memberi sanksi pada mereka yang melanggar, karena toh dengan kecelakaan yang mereka alami pun mereka jadi jera juga kan? Ibaratnya harus benaran jatuh ke jurang biar tahu kalau ngebut itu berbahaya.
Iya mas, gimana ya cara buat quote seperti itu?
Keren deh :D
Oh..ya, kadang orang emang menganggap hal sepeleh.
Tidak memperdulikan pesan yang sebenarnya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Udah kujawab lewat twitter ttg bagaimana carai bikin quote ya :)
Kalau soal payung, karena pernah tinggal di Bogor 7 tahun, saya selalu bawa payung lipat.
Dan payung menjadi penyelamat, dari panas maupun hujan.
Soal membaca pesan, saya sadari di masyarakat Indonesia masih rendah, makanya kadang terjebak melanggar peraturan. Cuma anehnya, kadang rambu atau pesan itu tak jelas dari penglihatan pengendara, tertutup iklan, nyempil, atau tertutup batang pohon yang makin meninggi.
Untuk membuat masyarakat disiplin, diperlukan kerjasama berbagai pihak….
Betul, Bu…
perlu inisiator kerjasama itu… dan sayangnya, perlu waktu :)
selain isi, aku pikir yg tak kalah penting adalah kemasan pesan itu. jika pesan dibuat seadanya, ditulis pada kertas dan ditempel di pohon, pasti bakal gak nyampe karena setelah hujan kertasnya sobek…
kalu di indonesia, pesan spt itu masih dianggap sebelah mata. mungkin karena konsekuensi dari pelanggaran yg gak konsisten ya? :)
Betul! Harusnya konsistenn!
Pengalaman diluar negeri, aku lumayan patuh dengan pesan2 yang ada tapi kalau di Indonesia lebih sering diabaikan :|
Berarti tergantung posisi ya? hehehe
wah, aku jarang banget ngebaca pesan,
tapi klo kebaca biasanya ditaati kok,
lagian percuma aja udah diajarin capek2 sama guru SD tapi kagak digunakan yak :P
Hehhee. betul
Waw, memang, Pesan Visualisasi sangatlah penting bagi negara seperti Australia, saya juga mengharapkan bisa terealisasi di Indoensia, sehingga pesan tersebut menarik untuk dilakukan.
Seharusnya cara penyampaian pesan juga harus diperhatikan..
*baca pesan di kemasan rokok* :)
dulu waktu di singapura, itu kota sering banget hujan, karena jarang nonton tv tiap hari aku selalu sedia payung lipet di tas walaupun udah lebih dari sebulan gak turun ujan…heee…
Sedikit OOT tentang cuaca, di tempat saya cuaca memang sangat sulit ditebak, hujan dan terang bisa berubah dalam hitungan beberapa menit.
Tinggal di luar pulau Jawa begini, daerah pantai pula, awalnya aku terbengon-bengong karena cuaca cepet sekali berubah. Dari panas cerah terang benderang dalam 10 menit awan bergulung-gulung dari laut, menggelap lalu bres!!! ujan sederes-deresnya! entah berapa kali tuh aku harus tergopoh-gopoh menyelamatkan jemuran bajuku :). lalu… dalam waktu kurang dari setengah jam sejak hujan berhenti, tiba-tiba panas cerah lagi… menyengat!
Tapi benar kata pepatah: sedia payung sebelum hujan… aku selalu membawa payung lipat di tasku… dan aku paling sebel kalau payungku dipinjam orang dan dia lupa mengembalikannya padaku! :(
soal kepekaan pesan begini, suamiku juga gara-gara tinggal di jerman jadi begitu. sejak pulang ke Indonesia, kalau lihat larangan rambu-rambu benar-benar diikutin sementara yang lain cuek-cuek saja melanggar. tapi kalau dia sendiri melanggar gak ngerasa secure, jadi ya gak nunut ikutan melanggar. cuman lama2 kalau sudah sumpek, kadang kalau harus bawa mobil nyodok2 atau ngambil arah berlawanan dilakonin juga, kalo gak kata dia bisa jadi orang bego gak nyampe2 rumah hihihi…