Memaafkan atau melupakan?

17 Sep 2017 | Kabar Baik

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
(Matius 18:21 – 22)

Aku mau memulai renungan hari ini dengan sebuah cerita.

Masa Pra Paskah 2017 silam, aku berjanji ingin secara khusus setiap pagi berdoa rosario dengan ujub memaafkan orang-orang yang pernah berbuat salah terhadapku, keluarga dan terhadap mendiang kedua orang tuaku. Aku lantas membuat daftar siapa saja yang perlu kudoakan dan kumaafkan.

Memasuki hari pertama, semua masih tenang karena aku ‘mengambil’ mereka yang kesalahannya masih biasa-biasa saja. Oh ya, caraku berdoa adalah dengan menghadirkan kembali wajah mereka dalam bayangan, mencoba mengingat kejadian apa yang membuat aku sakit hati dan menganggap mereka berbuat salah, lalu berdoa sambil membayangkan aku berbincang dengannya dan memaafkan.

Tapi makin hari, ketika kuambil beberapa orang lain dalam daftar yang ‘kadar’ kesalahannya kuanggap berat aku mulai kerepotan. Menghadirkan kembali wajah mereka saja ternyata menimbulkan geram yang luar biasa! Belum lagi ketika harus mencoba mengingat kesalahan mereka dulu, duh hatiku terbakar kepanasan!

Tak sampai seminggu, rutinitas doa itu kusudahi. Aku kalah dan menyerah tak mampu mengelola perasaan batin yang ternyata justru berpengaruh pada rutinitasku hari-hari itu.

Di balik cerita kegagalanku itu, ada satu berkat yang kuterima yaitu aku seperti dibukakan pengetahuan bahwa tak semua yang lampau dan ‘seolah’ termaafkan itu benar-benar telah kita maafkan dan selesaikan urusannya. Ternyata selama ini aku lebih banyak menimbun hal-hal yang belum terselesaikan dan semuanya kurasakan ‘aman’ karena kuanggap telah kulupakan.

Aku, entah kalian, ternyata lebih cenderung melupakan ketimbang memaafkan. Padahal ada perbedaan besar antara keduanya.

Melupakan itu ibarat kata kita mendapati sebuah kertas berisikan tulisan-tulisan buruk lalu kita remas-remas dan buang jauh-jauh sekuat tenaga. Ketika angin berhembus kencang, kertas itu bisa jadi jatuhnya ke dekat mata kaki, atau ketika kita tak sadar lewat jalan tempat kita membuang, kertas itu ternyata masih di sana, ingatan kita kembali dan ternyata dendam itu masih ada di sana.

Sedangkan memaafkan itu ibaratnya kita membuka kertas tersebut lantas kita sulutkan api hingga terbakar dan habis menjadi abu.

Melupakan terkesan mudah dan memaafkan terkesan sulit dan bersyukurlah kita karena Tuhan kita adalah Tuhan yang mengerti kesulitan tersebut. Kita mungkin pernah memaafkan sekali tapi lantas ketika kenangan muncul dan dendam menyeruak, kita kembali merasa benci dan amarah menguasai diri. Untuk itu kita tak bisa hanya memaafkan sekali saja, tak juga hanya tujuh kali tapi tujuh puluh kali tujuh banyaknya. Bukan perkara hitungan matematis, tapi tentang filosofi di balik angka tujuh yang adalah sempurna maka Yesus meminta kita benar-benar menyempurnakaan pemaafan kita terhadap mereka yang bersalah.

Duh kok ribet amat sih? Kenapa nggak diambil enteng… nggak usah dilupakan tapi juga nggak perlu dimaafkan. Simple, kan?

Ya terserah tapi memaafkan kesalahan orang lain adalah syarat supaya kita juga dimaafkan oleh Tuhan atas segala kesalahan dan dosa yang kita lakukan. …kecuali kamu nggak punya dosa pada Tuhan barangkali kamu boleh berpikir simple itu…

Begitu?

Sydney, 17 September 2017

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.