Mei 1998, tiga belas tahun kemudian

23 Mei 2011 | Cetusan

Seseorang, bulan ini tiga belas tahun silam, pernah berkata kepadaku demikian.
Sepasang mahasiswa-mahasiswi keluar dari kamar kost di sore hari yang ranum seusai hujan mendera sesiangan. Si mahasiswa belum sempat menutup ritsleting celana jeansnya sementara si mahasiswi lupa pula mengenakan beha-nya. Ya, ketika hujan turun lebat tadi, mereka juga bercinta sedemikian hebatnya.
“Heh, bercinta? ML maksudmu? Kenthu*?” tanyaku.
He eh, Su!
Tapi, malang nasib mereka. Sekeluarnya dari gang tempat kost, mereka dihabisi aparat yang menduga mereka adalah salah dua dari sekian aktivis mahasiswa yang beberapa jam sebelumnya berorasi tentang perubahan di perempatan jalan masuk ke kampus utama.
“Lalu? Keduanya mati?”
Iya, Su!
Digebukin aparat! Mahasiswa dan massa lalu ramai-ramai datang ke tempat keduanya tergeletak. Tak lama, mereka berdua pun dideklarasikan sebagai pahlawan reformasi.
“Oh!”
Entahlah! Barangkali karena keduanya mahasiswa dan keduanya mati digebuk aparat!
“Hmmm”
Padahal… ah aku tak sanggup bertanya tapi harus kuungkapkan padamu… Pantaskah?
“Pantas apa?”
Pantaskah mereka disebut pahlawan? Bukankah pahlawan adalah orang yang mengorbankan hidupnya untuk tujuan perubahan sedangkan mereka berdua, ketika ramai temannya berdemo dan orasi di bawah tekanan aparat, mereka malah sedang asyik masyuk berdua. Kenthu!
Aku terdiam.
Yup! Sesial-sialnya nyawa yang melayang, sejatinya mereka berdua lebih adalah korban bukan pahlawan meski sejatinya pahlawan pastilah bagian dari korban.
Aku semakin terdiam.
Tunduk haru untuk siapapun mereka yang harus mati karena gerakan reformasi 1998, tiga belas tahun silam. Pahlawan bukan pahlawan, terkadang hal itu tak terlalu penting karena yang terpenting, mereka mati di tangan saudara-saudara sebangsanya sendiri.
*istilah Jawa = bersenggama

Sebarluaskan!

27 Komentar

  1. weh? saya baru tau ada yg seperti diangkat jadi pahlawan mas :D
    setuju mas, pembantaian yang dilakukan oleh sesama anak bangsa menurut saya itu adalah hal terkeji dan mungkin takkan pernah bisa dilupakan :(

    Balas
  2. Kok sempet2nya..

    Balas
  3. hemmm…
    satu sisi yang teramat jarang diamati, padhal adalah bagian terpenting dari carut marut negeri ini…
    hire Suu…? :(

    Balas
  4. jiahhh Kakak nihhh polos bener ….
    aku juga punya temen yang lagi pemboman di bali itu malah lagi begitu juga sama selingkuhannya
    namanya dunia ini nampung segala model manusia …
    ya sempet ajalah Kak :(

    Balas
  5. klo ada aparat/wakil rakyat yang berbuat tak senono atau korupsi pantasnya diapain ya?

    Balas
  6. mosok iya toh?
    lha saya aja lagi jingkrak2 nang gubernuran semarang heueheu…
    tapi ini jadi dilema,
    ekspresi saya pasnya mesti gimana ya?
    berempati atau …
    ah … empati atau tidak … pembataian ya mestinya ndak ada

    Balas
  7. ini fiksi ato non fiksi ??

    Balas
  8. Aku nggak tau apakah cerita di atas fiktif atau tidak untuk sekadar mengusung sebuah fondasi tema yang hendak kamu sodorkan. Karena kalau aku tak salah ingat, tanpa sengaja aku pernah membaca salah sebuah postingan twitter-mu tentang hal di atas, namun kamu buat pengandaian. Tentang pahlawan. Tentang reformasi. Itu mengapa aku mulai paragraf ini dengan kalimat: ‘Aku nggak tau apakah cerita di atas fiktif atau tidak’.
    Namun terlepas fiktif atau tidak, bagaimana mengukur sejoli itu pahlawan atau bukan? Adakah parameter untuk memastikan hal seperti itu di negara ketoprak ini? Berapa banyak yang tahu kalau sejoli itu habis kenthu. Berapa banyak yang setuju bahwa yang mati dihajar aparat adalah pahlawan. Dan berapa banyak yang sepakat kalau sudah berkorban, pasti pahlawan.
    Jangan lupa, ini negara ketoprak. Kau boleh melucu bahkan ngakak di atas panggung. Tapi satu hal pasti: semuanya dagelan!

    Balas
    • ah… jangan generalisir dong kawan
      apakah perkawanan kita ini juga dagelan?

      Balas
    • Fiksi dan non-fiksi di toko buku hanya dipisahkan rak dan label aras buku hehehehe…

      Balas
  9. wah, ini kisah baru buat saya, mas don. kalau benar, mungkn tewasnya terbilang beruntung, he … pas saat terjadi ontran2. mereka yang dihabisi aparat langsung tercitrakan sebagai pahlawan. habis “kenthu” dapat gelar pahlawan, haks.

    Balas
  10. Makna kepahlawanan menjadi kerdil di tangan orang-orang yang juga berjiwa kerdil.
    Mereka lebih banyak melihat hasil akhir, daripada proses yang dilalui.
    Kepahlawanan, seringkali dinilai dari sudut kepentingan, sehingga banyaklah muncul para pahlawan palsu…
    Semestinya, kita bisa lebih luas memandang sebuah peristiwa. Apa hakekatnya, bukan semata para korbannya yang lantas dijuluki pahlawan. Apalah artinya mengingat jasa pahlawan itu, dan melupakan spirit yang menjadi jiwa peristiwa itu terjadi…
    pssss…. aku baru tahu makna “kenthu”, kosakata baru nih.. hehehe… :)

    Balas
  11. memang untuk akhir-akhir ini banyak orang yang belum sebenarnya benar menilai hasil akhirnya saja, tidak menilai proses yang dilewati selama ini,,

    Balas
    • Anda sepertinya sedikit dr yang tau apa yang saya coba tanamkan lewat tulisan ini:) Thanks!

      Balas
  12. Don, ceritamu saya anggap fiktif, kecuali ada yang membuktikan kebenarannya.
    Di dunia ini memang segala sesuatu bisa terjadi, namun banyak hal yang tak bisa dibuka lebar-lebar, sehingga masih banyak yang remang-remang sampai sekarang. Dan sejarah ditulis oleh yang menang….
    (saya mencoba berpikiran positif aja, biar nggak pusing……)

    Balas
  13. Hhmmm…
    Memang kalau dipantas2kan, memang kurang pantas disebut pahlawan. Tapi mereka juga gak minta ya, tp ‘yang menemukan’ itulah yang salah kaprah. Apapun, mereka cuma korban biasa, kasihan.

    Balas
  14. Saya malah lebih fokus pada paragraf terakhir tanpa “peduli” pada cerita di atasnya. Pada intinya, semua korban yang jatuh pada peristiwa itu harus kita hargai, karena mereka telah ikut menjadi korban, entah sebagai pahlawan atau bukan pahlawan.

    Balas
    • Ah, kamu cerdas, Bli! Memilah paragraf dan menemukan esensinya…

      Balas
  15. dan setelah 13 tahun, Indonesia tetap galau.. :(

    Balas
  16. lah kok tau istilah kenthu juga sih? itu panggil2 su… jadi terdengar saru loh mas don :D
    cerita luar biasa :D

    Balas
    • Kok saru? Biasa ah hahahaha

      Balas
  17. saya orang jawa asli, jadi mudeng bahasanya.
    :lol:

    Balas
  18. pahlawan itu selalu muncul dari tafsir si pemberi gelar, mas donny. pahlawan tidak persis muncul karena tindakan sang aktor, lebih banyak gelar itu muncul karena sebuah tafsir, yang tentu saja, bisa luput. dua mahasiswa itu dianggap pahlawan karena mati oleh aparat, maka jadilah mereka pahlawan, tak peduli apa yang sesungguhnya yang mereka lakukan.
    btw, ini kisah nyata?

    Balas
    • Anda menemukan inti maksud tulisan ini:) jd tak perlu kujawab fiktif atau tidak:)

      Balas
  19. Jangan2, orang disebut pahlawan hanya karena endingnya dia mati atau “terkesan” jadi korban saja ya? Tapi bagaimanapun kematian seseorang atau sekelompok orang menimbulkan kedukaan tersendiri, entah dia mati karena kebodohannya sendiri, kebodohan orang lain, atau apa pun itu.

    Balas
  20. Like it! Jadi reminder atas tiga belas tahun (memang telah) berlalu …

    Balas
  21. Pahlawan yang sejati adalah orang yang berjuang dengan iklash karena Allah untuk kebaikan umat, dan itu tidak pernah dianggap sebagai perjuangan, apalagi disebut pahlawan

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.