Selain tas LV tiruan, media pun sekarang kerap dipredikati abal-abal!
Aku sebenarnya tak tahu apa definisi jelas dari kata abal-abal itu sendiri.?Hingga tulisan ini kuterakan, tak kujumpai satupun di Google, tak jua di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi meski demikian, kalau boleh meraba, abal-abal menunjuk pada ketidakjelasan, ketidakpastian, tak kredibel dan sesuatu yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Bagiku, tak ada yang namanya media abal-abal sebagaimana tak ada pula media yang kredibel. Keabal-abalan itu melekat pada berita/pesan yang disampaikannya bukan pada dirinya sendiri. Meski memang, karena sebuah media terbiasa mengangkat hal yang abal-abal, orang lantas menghakiminya sebagai media abal-abal. Nggak fair, tapi apa mau dikata?
Nah, di jaman seterbuka sekarang ini, setiap dari kita berhak jadi mediator pesan dan berita. Kamu tinggal buka akun facebook atau twitter, lalu mulai menyebarkan hal-hal yang menurutmu perlu untuk disebarkan jadilah dirimu media.
Lalu, kembali ke soal media yang beritanya banyak abal-abal, apa sih motivasi mereka dibalik semua itu? Kenapa mereka tak memilih sesuatu yang organik, asli dan apa-adanya?
Barangkali alasan-alasan ini adalah jawabnya…
Ngejar duit iklan!
Setiap hal yang bisa dilihat di internet barangkali adalah media yang asyik untuk menaruh iklan sehingga makin banyak orang meng-klik (melihat/membukanya), bisa jadi makin efektiflah orang untuk beriklan di sana.
Orang lantas memilih untuk menulis/menyebar berita abal-abal ya supaya menarik orang bodoh untuk men-share dan mendatangkan jumlah klik yang didapat. Makin tinggi klik yang diraih, ?harga diri? sebuah halaman di depan pengiklan bisa jadi makin tinggi pula dan hal ini ekuivalen dengan jumlah uang yang didapat apapun mata uangnya.
Setahun yang lalu aku pernah hampir terjerumus ke dalam lembah seperti itu. Gara-garanya blog ini pada pilpres 2014 lalu memang kujadikan sebagai media dukungan untuk kemenangan Jokowi – JK secara sengaja.
Akhirnya beberapa posting pada sekitar pertengahan tahun (masa-masa kampanye dan beberapa saat setelah Pilpres) benar-benar bermuatan politik.
Meski yang kutulis organik dan tidak abal-abal, toh orang suka membukanya. Malah, pada tulisan yang kuberi judul Dulu aku memilih Prabowo dan Tiga ratus anak bangsa menggedor lantai surga! serta beberapa lagi, seingatku, mendapat banyak sekali klik karena di-share orang di social media.
Beberapa email yang berisi penawaran kerjasama pemasangan iklan lalu kuterima. Tapi beruntung aku sudah terlanjur punya sikap terhadap blog monetizing terutama dari hal-hal beginian sehingga tawaran itu meski menggiurkan jelas kutolak.
Tapi sekarang aku berpikir sebaliknya, jika waktu itu tawaran kuterima, aku tak tahu akan seberapa lama aku kuat menanggung keorganikan berita/pesanku. Aku tak tahu kapan pada akhirnya akan jatuh pada lembah ke-abal-abal-an demi uang yang kudapatkan dari sini.
Akhir tahun lalu aku introspeksi diri.
Salah seorang pembaca lawas kuajak diskusi tentang apa yang hilang dan apa yang tiba-tiba muncul di blog ini. Dalam intisari yang ia kirimkan, ada ujaran bahwa ia tak tertarik lagi membaca blog ini karena waktu itu ada ciri yang hilang dalam tulisan-tulisanku tahun lalu utamanya setelah greget Pilpres mengudara.
Dari situlah aku lantas memutuskan untuk menuang konsep ?blog kampung halaman bukan blog metropolitan? yang kutulis pada tulisan pembuka tahun 2015.
Hidup ini perkara pilihan, kan? Dan inilah yang kupilih meski sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku ingin sekali-kali nyemplung ke dunia pengadaan berita abal-abal karena aku ingin mengetahui berapa jumlah prosentase orang bodoh yang mengklik dan menshare-kan berita abal-abal dibandingkan dengan yang pintar?.
Ngejar Popularitas
Meski tak pasang iklan, orang juga bisa mengunggah ataupun menyebarkan berita abal-abal demi popularitas. Ketika orang baca berita dan mempergunjingkan beritanya, logikanya, makin populer pulalah penulis/penyebarnya.
Lalu apa yang didapat dari popularitas? Ya banyak!
Orang yang merasa pandai beropini, meski abal-abal, punya jalur karir yang bagus di dunia politik di Tanah Air. Yang diperlukan orang seperti itu tinggal modal untuk kampanye dan janji untuk mengembalikan modal setelah terpilih nanti.
Popularitas memang syahwat dan karena kita masih hidup, ada banyak kelegaan ketika syahwat itu terlampiaskan. Bagiku, ada banyak cara yang lebih elegan untuk meraihnya ketimbang menulis atau menyebar info abal-abal.
Tapi yang terbaik adalah menjadikan popularitas sebagai efek yang akhirnya kita dapatkan ketika kita melakukan sesuatu yang menurut orang lain luar biasa. Menulis jujur dan terus menerus menulis seperti yang dilakukan pemilik blog ini adalah salah satu contohnya :)
Membela kubu
Orang nulis berita abal-abal karena tuntutan untuk membela kubu yang ia bela dengan jalan menjatuhkan kubu yang dianggap berseberangan.
Kubu itu bisa macam-macam mulai dari pilihan presiden, partai politik, kedaerahan hingga ras apalagi agama.
Orang seperti ini sebenarnya adalah orang yang layak dikasihani karena mereka hanya mengenal satu model interaksi untuk mengamankan dan menenangkan kubunya yaitu menjatuhkan dan membasmi musuh-musuhnya.
Padahal, hidup ini tak selalu harus mencari pemenang dan pecundang, kan?
Tapi mendeteksi suatu berita itu abal-abal atau bukan, di era seperti ini memang bukan perkara yang mudah. Banyak musang berbulu domba dan banyak pula mereka yang tampaknya seperti serigala tapi sebenarnya berhati lembut dan sebegitu tulus kejujurannya.
* * *
Lalu bagaimana cara mendeteksi suatu berita itu abal-abal atau bukan??Dari pengalamanku, aku mengintisarikannya demikian.
?Ini bukan hoax, kan??
Bertanyalah!
Kalau kamu menemui berita hoax dari sebuah situs, carilah kolom komentarnya dan tanyakan kebenarannya.
Kalau kamu menemuinya lewat wall atau timeline teman, tanyakanlah padanya, ?Beneran? Ini bukan hoax??
Mendapatkan konfirmasi dari keabsahan suatu berita/pesan itu penting sekali karena menurutku, konfirmasi menunjukkan derajat intelektual seseorang.
Orang yang mengkonfirmasikan kesalahannya lalu mengaku khilaf adalah orang yang baik. Orang yang mengkonfirmasikan kebenaran berita yang ia sampaikan dan sesudahnya kita menemui bahwa berita itu memang benar adalah orang yang tak kalah baiknya.
Tapi orang yang pura-pura tak memberi konfirmasi, atau mereka yang tiba-tiba menghapus berita abal-abal tanpa pemberitahuan dan terlebih mereka yang memberikan konfirmasi palsu atas berita yang tak benar adalah orang yang tak baik alias abal-abal!
Kenali nama medianya
Untuk media Indonesia, aku tak pernah berlama-lama membuka media yang sudah kumasukkan dalam list sebagai media abal-abal. Atau ketika ada seorang menyebarkan berita, hal pertama yang kulakukan adalah, dari siapa berita itu didapatkan untuk kemudian dibagikannya.
Tentu tak elok kalau kusampaikan di sini karna selain aku bisa kenal pasal UU ITE, apa bedanya aku dengan mereka yang menshare berita abal-abal?
Tapi bukan berarti media yang kredibel itu selalu kredibel. Ada kalanya (mungkin kejar jatah berita) mereka kilaf dan ikut-ikutan jadi abal-abalan.
Dibaca isinya, jangan cuma judulnya
Jangan puas hanya membaca judul dan jangan sok jago bisa mengintisarikan konten hanya dengan meraba judul!
Aku ingat percakapan dengan seorang guru Bahasa Indonesia waktu SMA dulu terkait fenomena koran-koran yang waktu itu kutemui dijual di lampu merah perempatan jalan dan titik kemacetan jalan di Ibukota. ?Pak, kenapa judul berita di koran-koran seperti itu selalu bombastis??
?Karena koran-koran seperti itu hanya dibaca orang-orang yang tak punya waktu. Cukup baca judul,lalu letakkan!?
Betul juga.
Mereka yang berhenti di lampu merah atau sedang menunggu macet, ditawari koran dari balik kaca, tertarik membaca judul yang ukurannya font gigantik, mengeluarkan uang, menukarnya dengan satu eksemplar, membaca judulnya dan melihat gambarnya, lalu tiba-tiba lampu hijau dan koran diletakkan atau kalau nggak dibuang.
Sama dengan kita sekarang.
Berada di dalam bis atau menunggu antrian di bank atau curi-curi waktu kerja untuk scroll facebook wall atau twitter timeline, mendapatkan satu judul yang unik dan menarik lagi bombastis dan.. boom! kalian sebarkan tanpa pernah membaca sebelumnya.
Kalau sudah seperti ini, meski yang bodoh adalah yang menulis berita, yang lebih goblok adalah mereka yang menyebarkannya tanpa pernah membaca ulasannya.
Pembunuh anak kecil di Bali itu keterlaluan abal-abalnya, hehe… Coba, bikin akun di facebook untuk mencari orang yang dia bunuh.
setuju banget sama paragraf terakhirmu, Don.
pas mau share berita, aku berusaha melihat berita itu dari media mana. perlu nggak aku share? apakah aku hanya berniat “nguyahi segoro”, maksudnya orang banyak sekali yang share berita yang sama, trus aku mau ikut-ikutan share? apa kepentinganku sebenarnya? dan kadang biasanya aku malah batal membagikan tautan berita atau artikel karena aku rasa itu tidak penting. :))