Oleh Irene Poetranto*
Blog post ini aku dedikasikan untuk bapak ku yang baru saja merayakan hari jadi ke 60.
Enggak terasa sudah lebih dari 11 tahun sejak aku pertama datang untuk tinggal di negara Canada.
Setelah aku lulus SMA, bapakku memutuskan untuk pindah ke negara nun jauh dari Indonesia ini demi kehidupan yang lebih baik. Setelah terbiasa hidup di Jakarta, dikelilingi oleh teman-teman, sanak saudara dan “tim sukses” alias para pembantu dan supir, tiba-tiba kita hidup “sendiri” sebagai satu unit keluarga yang harus bisa mengandalkan satu sama lain untuk saling membantu.
Selama setidaknya dua tahun pertama, keadaan rumah tangga bagaikan sedang perang suku akibat culture shock (perasaan dan pengalaman kaget karena kultur, situasi dan kondisi lingkungan yang baru). Siapa yang bertugas nyuci piring? Buang sampah? Buka korden saat hari sudah menjelang pagi? Bagaimana menjadwalkan membersihkan kamar mandi? Menyapu dan mengepel rumah? Kalau dulu biasa tolak pinggang sambil nunjuk-nunjuk, sekarang semuanya harus dikerjakan sendiri.
Lambat laun, rutinitas baru pun terbentuk, semua anggota keluarga menyadari tanggung jawab masing-masing, dan cekcok, meski kadang masih ada, cepat terselesaikan. Saat ada “tim sukses”, kita bisa saling cuek atau marah diam-diaman tanpa ada konsekuensi. Nah kalau hidup di rantau, saling cuek atau diam-diaman bisa berakibat repot. Siapa lagi yang bantu ngangkat tong sampah yang amat berat?
Culture shock pun terjadi di dunia sosial. Bapakku teramat kekeuh bahwa aku tidak boleh melulu bergaul dengan orang Indonesia. Menurut beliau, tujuan hidup di negara londo adalah supaya aku bisa berbahasa, bergaul, dan nantinya berkarier dengan orang-orang londo. Setiap kali aku habis jalan-jalan dengan teman-teman orang Indonesia, bapakku pun sewot. “Kalau kamu cuma pingin gaul sama orang Indonesia, kita semua pulang saja. Ngapain hidup susah-susah, jauh-jauh, dan dingin-dingin disini!”, bentaknya.
Aku sangat sebal mendengar keluhan bapak tersebut. Aku merasa bahwa beliau tidak mengerti rasa kesepianku. Pindah ke kota baru di negara baru dimana aku tidak kenal siapa-siapa, berbicara bahasa yang pada saat itu belum terasa pas di lidahku, dan selalu diiringi berbagai perasaan khawatir akan masa depanku. Respon otomatis adalah untuk mencari comfort zone (zona dimana aku merasa nyaman) dan itu aku temukan di teman-teman Indonesia, yang, seperti aku, merupakan first generation immigrants (generasi anak muda imigran pertama).
Setelah beberapa tahun, keluarga ku memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan aku memutuskan untuk tetap tinggal karena saat itu aku sedang menyelesaikan sekolah S1. Bapak dan ibuku, yang merupakan orang tua yang sangat terlibat dalam kehidupan kedua anak perempuannya, dengan berat namun besar hati lalu pulang ke Jakarta tanpa anak sulungnya.
Saat inilah aku baru belajar hidup benar-benar sendiri. Aku pindah ke tempat tinggal yang lebih kecil dan sederhana. Aku menjadi Irene by day dan Inem by night karena harus mengerjakan semua urusan rumah tangga sendiri, in sickness and in health (dalam keadaan sehat maupun sakit). Untuk membantu menopang hidup sambil kuliah S1, aku bekerja sebagai research/project assistant di kampus saat hari kerja dan bekerja sebagai bookkeeper di suatu restoran di hari Sabtu dan Minggu. Selain itu aku juga sibuk volunteer di kampus dan di berbagai acara di luar kampus untuk memperluas network teman-temanku selain orang Indonesia (omelan bapak masih terus terngiang di telingaku).
Beberapa tahun pun berlalu dan (alhamdulillah) aku berhasil mendapatkan gelar sarjana S1. Bapakku kemudian datang ke Canada dan tinggal bersama denganku yang saat itu sedang bekerja di suatu bank.
Suatu siang, Bapak ingin makan Indomie. Melihat aku sedang ber-Inem ria alias bersih-bersih rumah, beliau bergegas ke dapur, mengambil panci dan menaruhnya di atas kompor. Lalu terjadi pembicaraan berikut:
Bapak: (Pose bertolak pinggang, menatap panci dan kompor dengan muka bingung) “Ren, Papa ingin bikin Indomie, gimana ya caranya?” (maklum, sudah terbiasa dimasakin oleh Ibuku)
Aku: “Piye toh, Pa? Kan di belakang bungkus Indomie ada instruksinya. Masukkan air ke dalam panci, nyalakan kompor dan tunggu hingga mendidih, lalu masukkan mie nya”.
Bapak: (Sambil garuk-garuk kepala) “Oh iya ya..” (lanjut mengisi panci dengan air dan bergerak menyalakan kompor)
Beberapa menit kemudian..
Bapak: “Ren, Papa coba nyalain kompor, tapi entah kenapa tidak menyala burner nya”.
Aku lalu meng-utak atik burner nya kompor yang, karena baru aku bersihkan, mungkin kurang pas setelannya sehingga tidak menyala. Setelah setelan dibetulkan, burner pun menyala dengan sukses.
Aku: “Sekarang burner nya sudah menyala, Pa. Rupanya setelah dibersihkan, setelannya kurang pas makanya tidak nyala”.
Bapak: (dengan muka bangga) “NAH!!! Ini makanya Papa kirim kamu keluar negri. Coba kalau kamu terus tinggal di Jakarta, mana tau caranya betulin kompor? Palingan cuma ngerti jalan-jalan di mall aja.”
Halah halah..
Fast forward beberapa tahun kemudian ke hari ini. Baru sekarang ini aku mengerti akan betapa besarnya pengorbanan bapak dan ibuku agar kedua anaknya bisa mandiri. Baru sekarang ini aku mengerti semua bentakan, ancaman dan anjuran mereka, dan menikmati manfaat dari membaur, berkarier dan berteman dengan orang-orang londo. Aku bersyukur karena telah merasakan berbagai pengalaman yang mungkin tidak akan aku dapatkan apabila aku tidak mengikuti nasihat mereka.
Blog post ini aku dedikasikan untuk bapak (dan ibu) ku sebagai tanda terima kasih akan semua pengorbanan, jerih payah dan kesabaran. Terima kasih, Pa & Ma.
Terima kasih atas share pengalamannya. Saya juga pernah merantau walaupun tidak jauh, ya dari Bali cuma sampai di Surabaya. Saya juga mengalami ketidaknyamanan lalu mencari zona nyaman dengan lebih banyak berkumpul dengan teman sesama dari Bali.
wow tulisan yang sangat menginspirasi… saya juga dulu waktu kuliah di ausiee.. sedikit kesulitan walau sudah jauh dari orang tua sejak SMA…
ya betul berteman dengan londo biar cepet bisa belajar bahasa inggrisnya.. itu dulu strategi saya.. heheheh
pengalaman yg menarik untuk di ikuti :)
asik nih ceritanya, hikmahnya dapet (khususnya bagi saya yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di “londo”) :)
imadewira – terima kasih karena sudah menyempatkan membaca. pengalaman dimana kita berada di tempat asing, apakah itu di dalam Indonesia atau di negara londo, tetap sama ya.. refleks pertama selalu mencari tempat dimana kita merasa nyaman :)
applausr – kalau Bapak saya baca komentarmu, pasti beliau akan manggut-manggut, hehehe :)
pety-puri – terima kasih :)
mantap selalu tulisan nya dan ada pengalaman yg terselip di setiap postingan mu merupakan pengetahuan …..balik njowo sing ndue blog kapan mangan bareng
Oh! Akhirnya aku menemukan lagi blog Irene! Terima kasih sudah menulis di blognya Donny ini karena aku jadi ‘menemukanmu’ kembali hehehehe…
Mungkin sekitar 8 tahunan yg lalu aku pernah baca blognya tentang kehidupan Irene di Kanada, bersama bapaknya yang menerjemahkan John Meyer menjadi “Joko Bupati” XD
Kalau nggak salah, ini Irene yang sama kan?
Salam kenal yaaa… Aku salah satu stalker blog mu dulu :)
*Atau kalaupun bukan Irene yang itu, sekarang aku jadi stalker blog (dan twitter)mu* XD
birthday party – terima kasih sudah mbaca :)
totok – yuk mangan bareng, gudeg Yu Djum ya? atau nasi liwet Wongso Lemu? *ketagihan*
Ratrichibi – huahahaha, Joko Bupati. Ya ampun masih inget ajaaa.. Salam kenal (lagi) ya Ratri. Keep in touch :)
nice post :)
selamat ulang tahun, bapak ^_^
salam.
aaaahhhh,,, tulisannya asyik banget… pengalaman yang aku impi-impikan bisa jadi kenyataan.. tapi akunya gak bisa :(
beruntung banget deh mbak bisa merasakan kehidupan seperti itu,, kalau aku dengan keluarga aku harus hidup disatu kota terus, gak boleh kemana-mana :(
jadi aku niatin bahwa anak-anak aku nanti harus menjelajahi dunia,, gak boleh cuma disini-sini aja..
Tulisan yg bagus & inspiratif bgt. Punya pengalaman yg sama & masih ngejalanin sampai skr. Btw seneng bgt bisa baca tulisan kamu lg, rene..