mBlateran

22 Jun 2016 | Cetusan

Kampung Tegal Blateran adalah kampung di pusat kota Klaten, Jawa Tengah.

Aku lupa memotret wajah kampung secara utuh padahal sebelumnya aku berencana akan menampilkannya di tulisan ini sebagai pelengkap.

Kalau kalian mau cari di Google Earth/Map juga bisa tapi sayangnya Tegal Blateran atau yang biasa disebut sebagai mBlateran cuma akan nongol hingga jalan masuk kampungnya saja. Mungkin Google Maps Camera Car yang merekam enggan masuk karena ruas jalan yang terlalu kecil. Ya maklum lah, namanya juga kampung!

mBlateran

Aku bersama Mas Kokok (Om Kokok) dan Mbak Yo (Tante Yo) dipotret Papa, di muka pintu rumah mBlateran awal 80an.

Tapi sekampung-kampungnya kampung, mBlateran itu nyatanya keren maksimal! Ia tergambar sebagai deretan rumah lawas yang bersahaja, gang-gang kecil, pepohonan rimbun dan senyum penduduknya yang menebarkan damai dan menawarkan persahabatan.

Aku bertumbuh di sana, di dalamnya.
Rumah yang kami tempati adalah rumah Eyang Buyutku, Mbah Padmodihardjo yang lebih dikenal sebagai Mbah Pademo. Aku memanggilnya sebagai Mbah Yut.

Mbah Yut Kakung adalah seorang mantri gula (ahli di bidang gula) dan berkarya di pabrik gula Gondangwinangun, sekitar 5 kilometer sisi barat kota Klaten.

Mbah Yut Putri adalah penjual jamu kesohor di Pasar Proliman Klaten. Oleh karenanya dulu kalau aku sedang tak nafsu makan, sekali ia bersabda, ?Kowe kok ora gelem mangan opo njaluk tak cekoki? (Kamu kok nggak mau makan apa minta kucekoki? -jw)? itu pertanda buruk karena aku harus berurusan dengan jamu cekok; jamu pahit yang konon bisa digunakan untuk pendorong nafsu makan.

Ketika kulahir, Mbah Yut Kakung sudah lama tiada. Rumah ditempati Mbah Yut Putri dan anaknya, Eyang Pran Putri yang lantas dipanggil Ibuk (kemarin kutulis di sini dan waktu itu ia baru saja menjanda setelah Eyang Pran Kakung meninggal tujuh bulan sebelum aku lahir).

Ada juga beberapa om dan tante adiknya Mama yang tinggal di sana. Ada Tante Susana, Tante Yohana dan Om Kokok. Karena aku begitu dekat dengan mereka sejak lahir, aku tak memanggil mereka om dan tante melainkan mas dan mbak.

Anak kedua Ibuk, Mbak In (Tante In – meninggal 2010 silam) baru saja pindah ke Semarang untuk studi keperawatan sedangkan anak ketiganya, Mas Momok (Om Momok) studi ke seminari, pendidikan calon imam Katolik di Magelang lalu ke Jogja.

Anak pertamanya? Ya Mamaku. Tyas, namanya.

mBlateran

Leluhurku.
Dari kiri ke kanan: almh. Mama, Mas Momok (Om Momok), Ibuk (berdiri), almh. Mbah Yut (duduk), alm. Eyang Pranyoto Kakung (berdiri di samping Ibuk), Mbak Us (Tante Susana), almh Mbak in (Tante In).
Foto dibuat sekitar akhir 1960an tapi yang pasti sebelum 1968 karena Mbak Yo (Tante Yohana) dan Mas Kokok (Om Kokok) belum ada…

Waktu aku lahir, Papa belum bekerja jadi iapun tinggal di sana. Bisa dibayangkan kan ramainya rumah Tegal Blateran? Ya, bayangkan saja hehehe?

Sebagai anak kampung, kawan mainku bejibun, sesama anak kampung juga tentunya.

Ada Agus Cilik yang anaknya kini jadi teman main anaknya?Chitra, Geo. Agus Gede yang dipanggil gede karena ada Agus Cilik yang lebih cilik.

Ada Pur yang dipanggil Pelet karena suka menjulurkan lidah. Ada Didik yang namanya sama persis dengan Papaku, Danny, Agung, Erwan, Agus, Bowo, Totok, Cicuk, Uri, Nobus, Nopendi dan beberapa lainnya lagi.

Aku tumbuh secara alami. Permainanku sehari-hari dengan mereka adalah permainan anak kampung.

Nekeran, engklek, mpu-mpu, menjaring wader?cethul di selokan, cari belut di sawah dan baru sesudah Papa bekerja dan bergaji, aku mengenal mainan mobil-mobilan, kereta-keretaan, pesawat-pesawatan dan kawan-kawanku tadi kuajak serta untuk bermain bersama.

Mungkin karena ini pula ketika Joyce, istriku, mengenalkan tokoh-tokoh Disney ke anak-anakku Odilia dan Elodia, aku benar-benar blank.

Masa kecilku tak akrab dengan TinkerBell, Cinderella, Donald Duck. Masa kecilku akrab dengan mitos?Wewe Gombel yang akan muncul dan menculik kami kalau pulang?kemalaman, Tuyul yang suka mencuri uang Mbah Yut dan paling banter yang agak modern ya Unyil dan Gundala Putera Petir yang kutonton di televisi hitam putih 14 inch ber-merk ITT di ruang tengah setiap hari minggu.

mBlateran

December 1990, aku disunat/khitan. Foto ini diambil di depan rumah mBlateran sebelum berangkat ke Bogem (Bale Sunat/Khitan). Dari kiri ke kanan: almh. Mama, Agus, Ibuk, Widodo, Agus Gede, Bowo, Koko, Yoseph (sepupuku), aku, Agus Cilik, Fajar, Didik, Ima, Danny, Yoseph, Aris, Cicuk

Pada akhir 1983, Mama memutuskan ikut pindah dengan Papa ke Kebumen dan sejak saat itu sejatinya aku tidak tinggal di mBlateran lagi.

Sesudahnya aku paling ke mBlateran itu setahun sekali saat libur Natal tiba.

Ketika masuk De Britto, karena pindah Jogja, aku jadi lebih sering lagi mengunjungi mBlateran. Waktu itu Mbah Yut sudah tiada, Mas Kokok sudah pindah ke Purwokerto untuk berstudi, Mbak Yo ke Jogja lalu Jakarta dan Mbak Us sudah menetap pula di ibukota.

Ibuk sendirian ditemani almh Mak Ndhuk (pernah kutulis di sini) yang setia menemani hingga wafat November 2015 kemarin, 100 hari tepat sebelum Mama berpulang.

Tiap minggu aku ke mBlateran. Temanku ya masih sama meski berkurang.

Tahun 1998, Papa dan Mama serta Chitra akhirnya pindah ke Tegal Blateran membeli sebagian rumah warisan itu sementara aku tetap di Jogja karena semua kawan dan pacarku serta berbagai macam keceriaan masa remajaku ada di sana, bukan di Klaten apalagi mBlateran.

Sesekali aku memang pulang dan setiap pulang para tetangga masih menyapa seperti saat aku kecil disapa mereka.

?Wangsul, Den? (Pulang, Den? – Den adalah singkatan Raden, panggilan untuk anak dari seorang yang ditinggikan – jw)?

?Kok bengi banget tho Den? Sibuk punapa? (Kok malam banget, Den? Sibuk ya? -jw)?

Sebelum aku pindah ke Australia, sesaat setelah menikah, aku dan Joyce menginap semingguan di mBlateran dan itu adalah rekor terlama tidur di sana sejak 1983.

Waktu itu aku berpikir ingin menggunakan hari-hari itu untuk intim bersama Papa, Mama dan Chitra serta Ibuk sebelum aku bermigrasi.

Keputusan itu adalah keputusan emas yang selalu kusyukuri karena sesudahnya, dua tahun kemudian, Papa tiada lalu Maret 2016 kemarin, Mama menyusul Papa.

Kepulanganku minggu lalu ke mBlateran mencetak rekor selanjutnya, aku tidur di sana seminggu pula dari tanggal 10 hingga 17 Juni 2016. Di rumah yang kini ditempati Chitra dan keluarga serta Ibuk yang berkali-kali bilang kepadaku dan sanak saudara lainnya bahwa ia ingin nunut (numpang) mati di rumah mBlateran.

mBlateran

Di selokan ini aku dan kawan-kawan dulu sering menjaring wader cethul (ikan kecil-kecil) for fun…

Meski kebanyakan waktu kuhabiskan di Jogja, sesekali waktu aku berkeliling kampung mengamat-amati bagaimana wujud mBlateran saat ini.

Secara umum masih sama meski di sana-sini bangunan tinggi nan angkuh mulai menghiasi dengan para pemilik yang jarang menyapa tetangga kanan-kiri.

mBlateran

Rumah bagian belakang. Juni 2016

Di sisi lain, rumah-rumah lama masih setia pada bentuk khasnya, lusuh karena chat yang lapuk diterjang cuaca tropis nan ekstrim.

mBlateran saat ini adalah mBlateran yang mirip kampung pensiunan. Tak banyak orang muda yang tinggal di sana barangkali karena begitu banyak orang Klaten secara keseluruhan yang memilih merantau ke kota dan pulau dan negeri yang lain sama sepertiku.

mBlateran

Bagian depan rumah saat renovasi, Maret 2015 silam

Tak banyak lagi orang-orang seusiaku yang menetap di situ kecuali Agus Cilik, Mas Wisnu dan Cicuk.Yang lainnya merantau ke Semarang, Jakarta, Batam, Korea dan masih banyak lagi.

Dari yang tua-tua juga tak banyak yang masih ingat denganku. Mereka kutemui sedang duduk-duduk di pelataran rumah mereka dan kusapa. ?Niki kula? Donny! (Ini saya, Donny!)?

Mata tua mereka memicing memandangku, tanganku dipegangnya untuk meyakinkan ini siapa.

?Donny sinten ta? (Donny siapa ya?)?
?Donny? Anake Mbak Tyas, putune Bu Pran!?

?Oalah? Den Donny! Kok berubah jadi gedhem (besar) gini? Kapan pulang, Den??

Lalu aku protes kenapa ia memakai Bahasa Indonesia dan tak berbahasa Jawa seperti dulu.??Lha takutnya Den Donny sudah lupa berbahasa Jawa??

Aku hanya tersenyum. Mungkin menurut mereka aku bangga di-begitu-kan, padahal mana ada orang yang bahagia ketika identitasnya diragukan bahkan oleh orang-orang yang mengenal diri sejak masih kecil seperti mereka terhadapku?

Itulah mBlateran.
Kampung yang kubanggakan sekaligus yang membuatku berlabel Anak Kampung sampai kapanpun!

Ia bukan perumahan elite nan gagah dan magrong-magrong! Tapi justru dari sana aku menemukan cercah damai dan bahagia serta tulus yang tak dibuat-buat.

Tempat aku dilahirkan, dibesarkan meski bisa jadi nantinya bukan tempatku untuk menghabiskan masa tua hingga akhir menutup mata…

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.