Mbak In

14 Des 2016 | Cetusan

Hari ini, enam tahun lalu, aku kehilangan Mbak In.

Harusnya sih aku memanggilnya “Tante” atau “Bulik” karena wanita yang bernama lengkap Hilaria Indira Wardhani itu adalah adik kandung almarhumah Mama. Tapi karena Eyang pun yang adalah ibunya, kupanggil Ibu’ maka “Tante” ya kupanggil “Mbak”, Mbak In.

Kenangan terlawasku dengannya adalah ketika aku beberapa kali diajak Mama untuk pergi dolan ke Semarang. Aku lupa kapan tepatnya tapi angka tahun belum terlalu jauh dari 1980 dan aku masih balita waktu itu.

Mbak In dulu jadi perawat di RS Elizabeth Semarang dan kami, aku dan Mama, menginap di kamar asramanya yang sempit memanjang.

Sepulang dari Semarang, di atas bus yang menanjak di kawasan Candi lalu menuruni lekukan jalan di Gombel, Pak Sopir memutar lagu Chrisye yang waktu itu sedang ngetop, Malam Pertama.

Kutidur didalam pelukmu
Diantara rambut yang terurai
Dan degup di dada
Kudengar kurasa
Membisikkan kata bahagia

***

Mbak In menikah dengan Om Agus (herannya aku menyebutnya Om, bukan Mas atau Koko…hahaha) tahun 1984, di bulan Januari kalau tak salah.

Lalu kami mulai jarang bertemu sesudahnya. Ia bersama keluarga menetap di Semarang lalu pindah ke Medan sebelum akhirnya bermukin di Jakarta. Dalam setahun, praktis hanya setiap Natal kami bertemu apalagi setelah aku dan Mama tak lagi tinggal di Klaten menyusul Papa yng berdinas di Kebumen.

Tak lama sebelum aku punya adik Chitra, Mbak In melahirkan anak pertama, Cynthia Puspitasari Limiarto. Lalu kurang dari dua tahun kemudian lahir adiknya, Aditya Nandi Wardhana.

Aku merasa dekat lagi dengan Mbak In setelah secara tak direncana ia menjemputku di Taman Mini Indonesia Indah saat aku yang duduk di bangku kelas 3 SMP pergi berkarya wisata ke Jakarta. Malam itu aku ingat ia datang bersama Om Agus, Cynthia dan Aditya menggunakan Suzuki Katana hitam lalu menawariku kalau mau stay di Jakarta saja.

Guru-guruku SMP yang mendampingi karya wisata memberi ijin tapi aku memutuskan untuk tetap bersama rombongan tapi berjanji untuk datang ke Jakarta lagi saat libur seusai EBTANAS.

Sejak itu, hingga beberapa tahun ke depan, setiap libur panjang aku selalu meluangkan waktu ke Jakarta dan nginepnya ya di rumah Mbak In di Sunter Podomoro sana meski sesekali main ke kost-kostan Mbak Yo (Tante Yohana) dan Mbak Us (Tante Susanna), adik-adik Mama yang juga bekerja dan tinggal di Jakarta.

Interaksiku dengan Mbak In itu hangat, sehangat interaksiku dengan Mama. Cara ia memberi nasihat dan cara ia menyapa sama persis dengan Mama. Tidak menggurui, tapi meresap. Malah di depan Mama aku tak berani bicara soal pacar pada awalnya, tapi di depan Mbak In, bahkan cewek yang sedang kutaksir pun kuceritakan selengkap-lengkapnya.

Lalu ketika aku bekerja setelah tahun 2000 dan mulai ada beberapa proyek serta meeting yang harus dilakukan di Jakarta, aku selalu nginep di Sunter ketimbang di hotel yang telah disediakan. Pernah sekali aku datang ke Jakarta dan tidak memberi kabar Mbak In, eh di Stasiun Gambir bertemu dengan Om Agus secara tak sengaja, buru-buru aku menelpon Mbak In untuk meminta maaf tak berkabar karena lama kunjungan dinas hanya sehari tanpa menginap.

Hal yang paling mengesankan terkait interaksiku dengan Mbak In terjadi pada malam tanggal 14 Oktober 2005.

Sekitar pukul delapan malam, handphoneku bergetar. Nama Mbak In keluar di layar.

“Halo, Mbak In.”
“Hey, Don… lagi ngapa?”

Berita mengejutkan kuterima darinya. “Aku ada benjolan, Don…” suaranya lirih tapi menggetarkan. Seketika itu juga, rokok yang kugamit kuletakkan di asbak lalu kumatikan baranya. Kuingat itu adalah rokok terakhir yang kuhisap setidaknya hingga kini…

Ketika akhirnya aku memutuskan menikah dan pindah ke Sydney, Australia, 2008, Mbak In sekeluarga ikut sibuk bahkan sejak urusan lamaran. Ia yang mempersiapkan segalanya. Lalu kira-kira tiga minggu terakhir di Indonesia kuhabiskan di rumahnya yang baru ketika itu, di Cibubur.

Interaksi yang kualami dengannya masih sama persis dengan ketika kami berbincang saat aku masih abege sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Ia masih bertanya banyak hal tentang rencana hidupku bersama Joyce ke depan.

Tanggal 31 Oktober 2008, hari kepindahanku ke Australia, Mbak In dan Mamalah yang mengantarkanku hingga ke pintu masuk Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng. Tak kusangka, itu adalah pertemuanku yang terakhir dengannya.

Beberapa bulan setelah pernikahanku, kondisi Mbak In yang semula stabil dan baik pun memburuk. Benjolannya berubah menjadi kanker?dan?telah menjalar hingga ke paru-paru lalu ke tulang-belulangnya membuatnya kesakitan yang aku tak bisa memerikan seberapa dahsyatnya.

Beberapa kali berpikir untuk menelpon tapi aku tak tega. Takut tak mampu menahan emosi yang membuncah dan hal itu malah membuatnya semakin tak berdaya. Tapi Mama akhirnya berhasil memaksaku untuk menelpon.

“Le, Mbak In ki pengen ditelpon. Kerep nakokake kowe, Joyce lan Odilia.” (Nak, Mbak pengen kamu telepon. Sering menanyakan kabarmu, Joyce dan Odilia -jw)

Aku lantas memberanikan diri untuk menelponnya, sekitar akhir Oktober 2010.

Suaranya parau, terdengar usahanya untuk menahan batuk tapi sesekali luput juga.

“Aku selalu mendoakanmu, Mbak In!” tandasku. Ia hanya menjawab lemah, “Maturnuwun…”

Pada kesempatan yang ternyata adalah kali akhir aku berbicara langsung dengannya itu, kuucapkan juga rasa terima kasih karena ia adalah inspirasiku untuk berhenti merokok lima tahun sebelumnya dan ia hanya menjawab, “Oh ya?”

14 Desember 2010.
Ketika sedang bersiap untuk menonton konser U2 hari kedua di Sydney, kabar yang tak ingin kudengar itupun sampai di handphoneku.

Almarhum Papa yang empat bulan sesudahnya kejadian itu meninggal dunia, mengirim pesan singkat, “Mbak In seda! (Mbak In meninggal -jw)”

Sedihku bukan kepalang.
Aku kehilangan sosok yang amat dekat dan kucintai yang kepadanya kuceritakan hampir segala hal tak hanya yang pernah dan sedang terjadi tapi juga pemikiran-pemikiranku yang mengiringi perjalanan hidupku.

Tiket nonton U2 tak bisa kubatalkan. Aku berusaha sekuat tenaga menghimpun mood baik untuk menonton Bono, The Edge, Adam Clayton dan Larry Mullen Jr di ANZ Stadium?tapi hal itu tak kunjung berhasil.

Pada akhirnya aku hanya pasrah. Berangkat nonton ke stadion sambil berpikir bahwa aku akan berdoa bagi Mbak In melalui lagu-lagu U2 yang kutahu dan kuhapal benar liriknya di luar kepala.

Saat With or Without You dikumandangkan Bono, saat penonton lain menengadahkan tangan ke atas untuk memuji band asal Irlandia itu sambil bernyanyi aku juga ikut menengadahkan tangan. Kupandangi bintang-bintang serta bulan yang seingatku tampak sayu malam itu, tengadahan tanganku adalah permohonan doa kepada Bapa bagi jiwa Mbak In.

We’ll shine like stars in the summer night,
we’ll shine like stars over winter skies,
one heart, one hope, one love…

Ada satu kejadian menarik yang sepertinya tak boleh luput ketika menceritakan tentang sosok Mbak In.

Pada sebuah hari saat aku menginap di Cibubur menjelang pernikahanku dulu, aku terlambat sadar bahwa ia tak pernah mencuci pakaian menggunakan mesin cuci padahal semua pakaianku termasuk pakaian dalam ya dicucikan olehnya.

Saat itu aku berada tak jauh darinya.
“Lho Mbak In, kowe ki ngumbahi ora nganggo mesin cuci tho? Ngertio ngono aku ngumbahi dewe terutama celana dalamku kuwi…(Lho Mbak In, kamu itu nyuci kok nggak pakai mesin cuci? Tahu gitu kan aku nyuci sendiri terutama celana dalamku itu -jw)”Mbak In

Dia hanya tertawa dan menggoda, “Pokokmen awas ya! Kalau kamu nanti sudah sukses, kamu jangan lupa sama aku ya, Don!”

Aku nggak tahu apakah sekarang ini aku sudah sukses atau belum tapi aku bersyukur tak pernah melupakan Mbak In. Catatan ini kujadikan pengingat bahwa pernah ada sosok yang begitu baik, begitu bersahaja, menerima apa yang harus dilakukan dan dijalani seberat apapun itu atas dasar iman yang penuh kepada Yesus dan orang itu bernama Mbak In.

Aku bersyukur pada Tuhan secara bertubi-tubi karena pernah diberi kesempatan untuk mengenalnya secara pribadi pada sebuah penggalan hidupku di masa lalu.

Mbak In, sejauh Chrisye kepada U2, serentang ‘Malam Pertama‘ ke ‘With or Without You‘ aku mengenangmu.

Beristirahatlah dalam damai Tuhan. Salam dinggo Mama dan Papa ya…

 

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.