Masih baguskah fungsi Tuhan dalam hidupmu?

28 Mei 2023 | Cetusan

Tadi siang aku mengantarkan anak bungsuku ujian kenaikan tingkat kursus pianonya. Satu tahun ia mempersiapkan ujian yang lamanya tak sampai dua puluh menit itu. Dalam tiga bulan terakhir, secara intens ia tekun berlatih. Sehari bisa tiga kali. Sekali pagi sebelum berangkat sekolah, sekali siang sepulang sekolah dan sebelum tidur, ia berlatih lagi.

Tapi meskipun begitu, rasa panik tampak dalam diri anak berusia sepuluh tahun itu. Menjelang masuk ke ruang ujian, dia tampak grusa-grusu mencari lembar partitur dan sibuk membuka-buka untuk  menghapalkannya. 

Aku mendekatinya dan berusaha menenangkan, “It’s ok, Elo! Doa dulu yuk!”

Dia menjawab singkat, “Doa gak berfungsi dalam hal seperti ini! Mending aku baca partiturnya saja…” Tentu semuanya kami komunikasikan dalam Bahasa Inggris karena ia memang tak bisa berbahasa Indonesia.

Aku kaget!
Sempat ingin naik pitam karena betapa kurang ajarnya dia menolak anjuranku, mengecilkan arti doa!  Jangankan urusan ujian piano, alam semesta aja bisa berubah arah kalau Dia berkehendak, bukan?

Tapi untung aku menahan nafsuku dan menyimpan perkara itu dalam hati…

Beberapa jam selanjutnya aku memutar ulang kejadian itu dalam benak mencari tahu kenapa ia bisa menjawab seperti itu. Dan betapa aku bersyukur ketika sadar bahwa barangkali… barangkali justru bukan dia yang salah tapi aku yang pongah!

Aku pongah karena mungkin meletakkan Tuhan sekadar menjadi fungsi selayaknya sebuah alat.

Bahwa karena anakku mau ujian, dengan berdoa, kupikir Tuhan kufungsikan sebagai pelancar ujian! Bahwa karena melihat anakku panik, dengan berdoa, kurasa Tuhan bisa kuperalat sebagai penenangnya!

Aku malah bersyukur anakku menolak berdoa dengan sebuah alasan. Bayangkan kalau kemudian ia berdoa tapi tetap tidak tenang dan ujiannya tidak lancar, bukankah ia jadi makin tak percaya tak hanya pada doanya tapi juga pada Tuhan!

Kegundahanku sirna di malam hari, beberapa jam sebelum aku merawi tulisan ini.

Dalam doa malam rutin keluarga sebelum tidur, kami biasa berdoa secara spontan. Malam tadi, anakku berdoa, “Tuhan, terima kasih tadi aku sudah boleh ikut ujian piano. Nggak sempurna tapi aku bersyukur boleh melaluinya!”

Aku lega!
Anakku tak sepertiku yang memperalat Tuhan. Anakku menempatkan Tuhan sebagai sumber dan tujuan syukur atas hidup dan pergumulan yang ia boleh lalui hari ini…

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Beautiful and deep insight the next generation how they think their relationship with God.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.