Mas Don, Koh Don

1 Mar 2009 | Cetusan

Waktu masih di Jogja dulu, aku pernah mengganti nama panggilan salah satu temanku yang semula kupanggil, katakanlah, Slamet, lalu karena satu hal yang akan kujelaskan pada kalimat berikut ini kupanggilah ia kemudian dengan sebutan Munyuk, anak kera.

Masalahnya sederhana, bagiku ia adalah seorang yang sangat munafik!
Di depanku ia manthuk-manthuk memanggil aku “Mas Donny” dengan logat yang sangat kental Jawanya, tangan yang ngapurancang serta senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya seakan aku ini masih darah biru keturunan keraton dan ia seperti keturunan kuli angkut Pasar Beringharjo saja. Tapi sebaliknya, di belakangku ia tak segan memanggil aku dengan “Donny” bahkan pernah sekali aku mencuri dengar ia berbicara denganku “Asu Donny kae… lha wingi bla bla bla!” sambil berkacak pinggang!

Aku bukan orang yang gila hormat!
Karena tanpa aku menjadi gila pun orang sudah banyak yang menghormatiku!
Tapi aku gila konsistensi dan gila keterbukaan!

Bagiku, orang seperti Munyuk itu adalah orang yang tak sanggup untuk gigih terhadap konsistensi dan jauh dari yang namanya terbuka. Untuk satu alasan yang aku sendiri tak tahu, ia bisa memanggilku Donny di muka orang lain, tapi ketika ada di depan batang hidungku, secepat kilat ia bisa menyertakan awalan “Mas” begitu saja.

“Lha saya kan pengen menghormati Mas Donny tho!” demikian belanya yang tak kutanggapi selain menggumam “Munyuk! Munyuk! Munyuk!”

Ia juga tak terbuka!
Ia lebih memilih menutup permukaan hatinya dengan segala yang terkesan hormat, ngajeni dan baik!

Orang munafik itu tak ada tempat dalam kamus persahabatanku, sampai ke lorong tinja di WC ku yang tercinta pun ia akan kukorek habis jika kutemukan. Kenapa demikian, karena aku sendiri sudah kepalang munafik adanya hahahahah!

Itulah dulu, dan dulu berbeda dengan sekarang.
Teman kantorku yang bule semua (hanya aku seorang yang Asia, dan hanya aku seorang yang tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu) selalu memanggilku “Donny!” Mereka pun juga tak mau kupanggil “Sir”, “Mister” atau apalagi “Mas” lha wong mereka bukan orang Jawa meski kadang aku ingin memanggil mereka dengan sebutan “Paklik” dan “Bulik” karena usia mereka rata-rata adalah sepantaran adik orang tuaku.

Aku sendiri senang dipanggil nama saja, sesenang aku memanggil orang yang tertinggi di perusahaan ini pun dengan sebutan nama pula. Seperti tak ada tedeng aling-aling untuk bilang A kalau A dan B jika B tak peduli siapa dan apa kedudukannya!

Dan konon adat seperti itu memang tak hanya di kantorku saja tapi nyaris menyeluruh ke semua daratan negeri, mereka sangat jarang memanggil seseorang dengan kata sandang.

Dengan Bahasa Inggris terbata-bata, aku pernah menanyakan satu hal kecil terkait soal panggil-memanggil ini pada teman buleku. Begini ceritanya,

“Kamu kemarin kemana pas weekend, Jack?”
“Oh, fishing ama girlfriendku trus abis itu pergi ke rumah John…”
“Oh, John, siapa itu?”
“Bapakku.”

Modharrrr!
Aku langsung terbayang seandainya nanti aku dianugerahi anak dan yang pasti anak itu dibesarkan di sini lantas memanggilku “Don! Donny! Minta uangnya Don!”

Waduh, kalau si Slamet saja kupanggil Munyuk yang berarti anak kera, mungkin berat bagiku untuk tidak memanggil anakku dengan sebutan Krete, yang dalam Bahasa Jawa berarti anak buaya, bukan karena Papanya dulu buaya tapi lebih karena kekurangajarannya memanggilku, bapaknya dengan nama saja!

Nah kalau sudah begini, di mana aku harus berpijak?
Di dunia yang memandang bahwa memanggil nama saja terlebih pada yang lebih tua itu haram, atau di dunia yang banyak orang bilang modern hanya karena kita bebas tanpa tedeng aling-aling memanggil siapapun dengan nama saja?

Aku memilih di tengah saja!
Dalam banyak hal, posisi tengah adalah yang paling menyenangkan dan menyelamatkan!
Ketika kuingin dipanggil nama oleh mereka yang lebih muda, aku tentu akan berpihak ke budaya sini karena jelas itu akan membuatku merasa sedikit lebih muda ketimbang orang memanggilku dengan sebutan “Pak Donny”
Ketika kuingin dipanggil “Sir (wangun ora yo?!?)” atau “Mas” maka aku akan senang juga karena mereka kuanggap menghargaiku.

Ah, aku tiba-tiba jadi kangen dipanggil “Mas Don” atau “Koh Don”
Dulu banyak wanita di sekeliling memanggilku demikian… Dulu, ya dulu … :)

Sebarluaskan!

29 Komentar

  1. Mas Don….
    Kenapa tetap ada tulisan tinja di tulisanmu ini?!?!?!?!?
    Ini tulisan tentang munyuk apa tulisan tentang dirimu kangen sama cewek cewek itu? ;)..Mmmmm..???…kekekekek

    Balas
  2. Lain Ladang Lain Belalalng,lain lubuk lain ikannya.
    Dimana Bumi Dipijak DIsitu Langit di junjung.
    Pake Aja yg paling sreg mas eh koh hehehehe.

    Balas
  3. Kalau pengen terlihat akrab, daku sih senang aja dipanggil atau memanggil orang lain pakai nama saja. Tapi kalau orang tua sendiri mah, dipanggil namanya saja..malah nggak tega. Hehehe..
    Tapi karena budaya masih2 negara aja kali , mas Don…

    Balas
  4. Hihihi…sama seperti Yessy aku ingin bertanya : Apakah TINJA merupakan salah satu OUTPUT favoritmu, Mas Dony?
    Terus satu lagi : gampangan mana ngajarin anak bayi berenang sama ngajari Buaya Berenang?

    Balas
  5. Mas Don…. (eh di belakang juga tetap manggilnya mas Don kok)
    Koh Don….dalam hati siy pernah terlintas manggil mas Don dengan sebutan itu. Hehehe
    Kangen Jogja…mumpung ada kopdaran tuh
    pulang…..pulang……

    Balas
  6. ya mas… ada yang bisa saya bantu ???

    Balas
  7. Ih, kalian kan orang Indonesia, bukan?
    Ngebesarin anak ala Indonesia aja Koh Don, di sini juga disaraninnya begitu kok…hehe ntar deh kalo dah lahir anaknya, bakal dapet deh tuh bejibun bahan bacaan (termasuk websites)dari gov, RS, early chilhood centre, etc.
    Busway Mas Don , ga jadi pindah ke Lalor Park, tapi ke Blacktown 2 or 3 minggu lagi…

    Balas
  8. wah saya baru lewat ya pertama kesini….mampir dulu ya

    Balas
  9. Salam kenal dulu dah, Mas Don | Don | Koh Don…
    :D
    *jadiingetnggembirolokojamansemono*

    Balas
  10. numpang lewat ya koh… :-)

    Balas
  11. “Tapi aku gila konsistensi dan gila keterbukaan!”
    setojooo…. but some people dont agree with me … mungkin krn gw malah cenderung sinis kali yaa don…

    Balas
  12. walah, sapaan itu biasnaya juga sangat erat kaitannya dg adat dan budaya itu, mas donny. seperti aku misalnya, selalu ingin menyapa seseorang dg sapaan “mas” utk lelaki, dan “mbak” utk perempuan, meski usianya lebih muda ketimbang saya, hehehe …. jadi repot juga, yah, hiks. tapi insyaallah saya konsisten dg sapaan itu, loh, mas/

    Balas
  13. Itu tergantung caramu mendidik anak.
    Dosenku, nama panggilannya pak Bastol…anaknya kalau panggil langsung Bastol aja…mungkin karena beliau banyak hidup di luar negeri…ini tahun 70 an lho.
    Dosen satunya, walau anak-anaknya lahir dinegara paman Sam, membuatku kaget karena bisa berbahasa Jawa halus, dan menghormati ayah ibunya seperti kehidupan di Jawa.
    Anak-anakku, semua memakai bahasa Indonesia kalau berbicara dengan ayah ibunya…soalnya bahasa Jawaku kurang bagus…dan ini yang suka bikin kesel suami…hahaha

    Balas
  14. Pertama, begitu baca tulisan ini, mendadak teringat falsafah blangkon, yang katanya “mbendol mburi” itu. Eh, betul kan, cara nulis mbendol-nya?
    Kedua, Apa kabar mas DV? :)

    Balas
    • Kabar baik Mbak Agoy :) Heheheh aku jadi inget dulu kamu manggil aku Mas DV :)
      Hahahahaha

      Balas
  15. hahaha … untuk mengantisipasi jenjang pemanggilan itu makanya kubuat branding name ku “mascayo”.
    Maksudnya biar siapa saja nggak muda, nggak tua panggil aja mascayo.
    gimana mau coba cara saya masdonnyverdian.net ?

    Balas
    • Saya? Panggil saya Donny, Donny Verdian :)
      Cukup itu :)

      Balas
  16. wah saya memiliki cerita yang hampir mirip ini mas kadang memang hal seperti itu membuat kecut dalam benak
    awake ndewes kan rak butuh di mas mas ke yen akhire nang mburi do ngece yo kang

    Balas
  17. repot ngundang sampean mas opo koh
    sampen ki koyo cino ning koyo jowo opo malah ora loro lorone hahahaha
    nek aku malah di undang peang mergo sirah ku mas
    ning kancaku ono sing di undang manyun ono sing di undang dobleh ono sing di undang BATHUK hahaha sampean seneng di undang Donn wae ya kang hahaha

    Balas
    • Aku Jowo, tur nek mabuk ngaku cino.:)
      Jowo tenin Mas :)

      Balas
  18. mas don, ke lik adi yuk!

    Balas
    • Yo, ayo! Remon dijak ra? Helm siji wae yo wani ra? Liwat dhalan tikus, IAIN ngidul lewat mBaciro, nrabas-nrabas tekan Kotagede!
      Jancuk! Kangen Jogja, aku!

      Balas
  19. Anu boss, numpang nanya. mau menanggapi masalah kantor aja.
    kalo dikantor, Sydney masi bisa “Muni-Muni” kyk dulu gak??
    Hehehehehe

    Balas
    • Oh jelas! Tambah malah..:) Soalnya di sini nggak ada yang tau arti kata pisuhanku. Paling hanya aku dan Tuhanku..
      Tapi Tuhan kucari-cari di kolong meja dan di CD Rom ku tak nongol juga.
      Berarti makin asyik buat misuh, kan.. Huhuahuahua!

      Balas
  20. Jan#####k!!!
    A#####u!!!
    Ko#####t!!!
    Wakakakakakakka….
    Jadi pengen tau reaksi/ raut wajah temen kerja,boss, kayak apa ya ? pasti *ter-plonga-plongo melihat tingkahmu, boss.

    Balas
    • Hahahaha, nek ngomongnya karo ngotot yo mereka pasti tau, tapi coba diucapkan dengan seolah-olah kita memuji dia as “You re great!” dan kata “great” diganti kata-kata saru kita, luwih wangun tho!
      Hahahahah!

      Balas
  21. bajinguk jogja panase puol!
    kangen jogja mas don? ah tenane?
    kayanya mas don udah ga cocok dengan lembab dan gerahnya jogja huahahaha …
    *ditulis dari bangku angkringan lik adi, lengkap dengan wedang jahe asem, dibantu oleh dinosat!*

    Balas
    • Tenan, Su! Kangen aku!

      Balas
  22. Wah..Wah..Wah..Ada peluang bisnis!
    Buka angkringan di Sydney
    sudah ada calon pembeli pertama
    Wakakakakakaka…..

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.