Maos Last Dancer adalah sebuah film apik yang sanggup berbicara banyak!
Di dalamnya tercakup banyak hal tapi yang menjadi sumbu ceritanya kurasa adalah tentang ketegaran hidup seorang imigran.
Adalah Li Cunxin, penari ballet yang berasal dari keluarga miskin kota Qingdao propinsi Shandong, Republik Rakyat China.
Semenjak berusia 7 tahun, ia adalah satu dari sedikit anak yang terpilih untuk menjadi penari yang disekolahkan di The Beijing Dance Academy. Menjelang usia 20-an, nasib membawanya pergi ke Amerika Serikat berkat tawaran pertukaran pelajar dari Ben Stevenson, pelatih ballet dari Houston yang berkunjung ke China.
Beberapa bulan berada di Amerika, Lin semakin kerasan seiring dengan berkembangnya karier sebagai ballet dancer dan salah satu puncaknya adalah ketika ia menjadi soloist dancer di hadapan George Bush Sr. mantan presiden Amerika yang kala itu masih menjabat sebagai wakil presiden.
Titik balik nasibnya ternyata tak bermula di situ.
Beberapa waktu kemudian, ketika hendak memperpanjang visa tinggalnya, konsul jenderal RRC menegaskan penolakannya dengan alasan sebagai usaha menyelamatkan Lin dari pengaruh kapitalisme Amerika Serikat, Lin harus pulang ke China. Lin pun berkeras. Ia nekat menikahi Elizabeth Mackey, kekasihnya, lalu memutuskan untuk tidak kembali ke negara asalnya; sesuatu yang lantas berakibat buruk, Lin kehilangan kewarganegaraan RRC dan putus hubungan dengan keluarga asalnya untuk rentang waktu yang lama.
Film ini sebenarnya cukup klasik, tidak mengetengahkan satu plot cerita yang mengejutkan.
Akan tetapi, film yang diangkat dari buku biografi Lin Cunxin dengan judul yang sama dengan judul filmnya ini pandai memanfaatkan ornamen-ornamen yang ada.
Ornamen yang pertama adalah bagaimana luwesnya film ini mengetengahkan perbandingan dua kultur yang berbeda. China yang waktu 70an akhir dan 80an awal masih sarat dengan nilai-nilai ajaran sosialis-komunis diperbandingkan dengan Amerika Serikat, sebuah simbol kebebasan dan kapitalisme. Kedua kultur itu secara nyata tampak menyimbol dalam diri Lin ketika pada awal-awal datang ke Amerika Serikat serta sesudahnya.
Ornamen yang kedua adalah tentang tema tarian ballet yang memang sudah anggun, membuat film ini memiliki karakter yang kuat. Beberapa kali tampak dalam scene, penonton diaduk-aduk emosinya dengan cara menampilkan keadaan hidup yang di-mix dengan tarian ballet yang didukung musik yang berbeda antara ketika suasana riang ataupun galau.
Yang ketiga, sinematografi film ini lebih dari lumayan.
Penggunaan tone warna yang selaras dengan era film ini diceritakan (1970 – 1980an) sangat menyegarkan, seperti menaruh frame dalam rentang waktu yang sudah ditentukan tanpa meninggalkan perasaan kontras, semua seperti berjalan natural, alami…
Kekurangan film ini?
Tipikal film yang diangkat dari buku, Maos Last Dancer banyak dinilai orang sebagai film yang terkesan sepotong-potong. Ia tak sanggup menampakkan satu kompromi yang kokoh lagi kuat ketimbang buku aslinya.
Namun meski demikian, bagiku, film ini seperti kubilang di atas, sanggup berbicara banyak.
Tapi kalian jangan percaya padaku, utamanya dengan kalimat terakhir di atas!
Aku berkata demikian karena aku belum membaca dan tak berencana membeli bukunya demi mengenang sebuah film yang benar-benar membisikkan spirit kepadaku untuk terus dapat hidup baik di tanah rantau.
Gw selalu kagum sama yg namanya penari. Menurut gw, mereka itu orang2 gifted karena punya tubuh yg bisa sejiwa dengan musik dan alam. Mengagumkan.
Dulu gw pengen jadi penari kayak modelnya GSP itu hahahaa.. Cuma waktu gabung di sanggar di Medan, sanggarnya gak berkembang. Sayang gw ga besar di Jkt, di Jkt kan banyak yaa…
*hiks malah curhat…. hahahaa…
kayaknya menarik, diputar di bioskop di denpasar nggak ya? semoga saja kalau diputar saya sempat nonton :-)
Heheheh betul Bung Wira… kayaknya main juga kok di Bali.. Tunggu saja :)
@Zee: makasih :)
Akhirnya….
PERTAMAX.. pertama menikmati sajian WP di blog donny.
sip sip, semoga makin kreatif dan makin eksis menjadi blogger huehuehue.
@Ray: hehehe suwun, Pak Kost :)
Mas…pertama aku mo ngucapin selamat untuk kemenanganmu di ajang kompetisi XL ;) congratulation…memang hebat seorang DV ini!!!
btw…untuk film2 sepert ini aku suka apalagi menampilkan kepiawaian penari…aku suka mas…karena dulu memang sewaktu kecil aku suka menari :D *menari membuat badanmu lentur dan singset hehehehe*
dan mengenai Film yang di ambil dari sebuah buku suka bikin kesel apalagi udah baca bukunya dulu…habis banyak adegan yg tidak dapat menandingi bukunya sendiri :D.
oot : hari minggu kemaren aku nonton film The Kingdom *setelah sekian lama ngendap di externah HD* hehehehe dan keren…aku suka semuah persahabat yg tidak terbatas pada agama, suku dan kewarga negaraan…*lohhh kok tumben commentku panjang bener ya :D….maap*
Makasih, Ria… :))
Saya hanyalah manusia yang selalu belajar :)
kalo di kamboja gak ada film beginian, kudu beli bajakannya kayaknya..
Hehehehehe, nggak ikut-ikut deh kalo mbajak gituw (ikut-ikut menikmati aja) Bwababababababa….
Kapan ya masuk HBO? wkwkwkwkwk…
Udah jarang beli DVD :D
aku tak terlalu suka menonton. Apalagi sejak disibukkan dengan dua pangeran kecilku, tambah gak ada waktu untuk diri sendiri. Membaca tulisanmu, aku seperti nonton filmnya. Bagoes !!
@Riris: Heheheh, orang aneh, nggak suka nonton hahaha :))
Kayaknya asik buat ditonton nie film-nya… ^^
@Toto: he eh! :)
selamat malam bang
selalu kagum bue pada postingan abang
salam hangat selalu
@dobleh: Ah mas Dobleh berlebihan.. saya baru belajar, Mas :)
Wah … pangling dengan wajah baru blogmu Don. Kok nggak ada fotomu lagi? Itu yang bikin kangen je (halah!).
Selamat juga atas kemenanganmu di kompetisi XL (ngelirik komen Ria). Semoga prestasi ini memacu semangat untuk terus meraih yang terbaik (kok koyo petuah bu guru ya .. :D )
Tentang filmnya, aku nggak bisa komentar, lha wong belum nonton, nggak ada fotonya juga. Tapi kalau soal tari, pasti aku seneng banget, wong aku juga suka nari (meskipun nariku kayak kucing mabuk … hihihi)
@Tuti: Halah, Bu Tuti memang lebay…. yang ngangeni dari aku kan ngga cuma fotoku tapi semuanya.. hahahaha.. Matursuwun ucapan selamatnya tapi sebenarnya ini bukan kompetisi XL, rabu besok saya release soal kemenangan ini….
Soal film? Makanya nonton, Bu :))
tak hanya musik, mas donny ternyata piawai juga bikin resensi atau review film. china memang cenderung kekiri-kirian. sungguh masuk akal kalau pada akhirnya Lin dibredel hak tinggalnya sbg wn china. namun, saya menduga, ada konflik batin hebat dalam diri lin begitu dia diperlakukan seperti itu. btw, apa pun engine blog yang mas donny gunakan, tampilan dan isinya tetap menarik. sekarang pakai wordpress pun load-nya tetep enteng.
@Sawali: Wah Pak Sawali ini bisa saja..;) saya sedang belajar menulis dan selalu belajar kok, Pak ;)
Makasih bimbingannya waktu itu, saya sekarang mantep pakai WordPress!
Salam hangat kagem keluarga di Kendal, Pak!
Kalau ada film yang diangkat dari novel, maka sikapku adalah: bila aku belum baca novelnya, aku akan tonton filmnya, tapi bila aku sudah baca novelnya, aku gak bakal tonton filmnya. Sebaliknyapun demikian, bila aku sudah terlanjur tonton filmnya dulu, novelnya gak bakal kubaca… :D
Film yang berlatar tari, termasuk salah satu yang aku suka. Dari ceritamu di atas, sepertinya film ini tidak sekedar “menari”, tapi juga “berbicara”. Ini harus jadi sesuatu yang bakal ditonton nih…
btw, welcome to WP. sekarang rss feed-mu sudah bisa dibaca di google reader. mantap!
@Uda: betul, uda… novel dan film itu pilihan yang sulit. Aku bersikap sama sepertimu… :)
Hore, akhirnya menjejak di rumah baru DV. Make over-nya lumayan ya Don…
Jadi bertanya-tanya, dapat ide dari mana ini?
Tentang film yang diulas di sini, aku belum menonton, belum membaca bukunya.
Seandainya aku membaca bukunya lebih dulu, mungkin aku tidak akan menonton filmnya lagi, atau jika menonton aku akan siap-siap kecewa. Media film sangat terbatas dalam mengeksplor kekayaan cerita sebuah buku.
Jika menonton lebih dulu, sepertimu, aku kemungkinan besar nggak mau baca bukunya lagi. Pencitraan di kepalaku bisa rusak…
Thanks resensinya Don, film ini akan masuk lis-ku. :)
@Yoga, hehehe makasih Yog. Idenya.. ide design dari sekenanya aja, ide pemakain wordpress as main engine ya untuk memudahkan sinkronisasi dengan ‘dunia luar’ :)
apaaaa?? kamu bilang aku orang aneeeehhhh??…wek..bukan kamu aja..suamiku sewaktu pacaran dulu jg bilang gitu..kok bisa sih cewe ga suka diajakin ke Bioskop?? FYI, gw sering tidur kalo nonton, kan sayaaang duitnya..heheh..(gak usah diposting ah, komen gak penting!)
@Riris: Luwih parah kuwi!!! :)) Artinya kamu emang anehhhh :)) hahahahahah
Wah, jadi pingin nonton juga nih.
Gak bisa berkomentar apa2 tentang filmnya, maklum belum tahu :-D
Wah…rumah baru, Don…keren..keren..
Tapi mana karikaturmu yang lagi pupi? hehehe… :-D
Soal film yang diangkat dari novel, saya setuju dengan komen Uda Vizon. Kalau udah baca novelnya, sebaiknya jangan nonton filmnya, karna seringan jadi kecewa.. Kalau udah nonton filmnya, ya udah…ngga usah baca novelnya.. hehehe
Resensimu bikin aku pengen nonton filmnya, karna aku belum baca novelnya dan belum nonton filmnya..jadi bebas memilih :-D
Thanks, Bro!
thx resensinya.. suatu saat klo bertemu dengan wujudnya (ntah dvd atau puteran bioskop, terutama klo gratisan -ditraktir temen) bakal masuk pertimbangan utama..
eh.. tar dulu..
happy ending ga? klo gak, ya ga jadi.. :D
Bwahahahahahahhaa…. happy ending kok!
Don, gue gak pernah menetap di negeri orang, paling banter sebulan doank krn tugas kantor. Dan itu asli kangen sama tanah air dgn segala hiruk pikuknya itu menyiksa banget. pilem or whatever bisa membantu memang :)
tapi drpd liat dia menari, mending gue nari depan laki gue deh hahhahaa
Hehehehhe… jadi, kamu biasa nari di depan suami? Kayak pemain film india donwwkkk :)