Aku ingat ketika masih tinggal di Indonesia, salah satu permasalahan yang kian hari kian tampak adalah modernisasi di kota-kota kecil dalam wujud pembangunan pusat-pusat pertokoan modern.
Keberadaannya, di mata sekian orang dipercaya menjadi awalan bagi matinya industri lokal, pedagang-pedagang kecil serta yang paling tampak adalah menyurutnya nasib baik para pedagang di pasar-pasar tradisional.
Pada waktu di Jogja, yang sekarang sudah tidak bisa disebut sebagai kota kecil, dibangun beberapa pusat pertokoan modern secara nyaris bersamaan, sedikit banyak akupun juga bisa membayangkan betapa akan semakin beratnya hidup para mbok-mbok kuli angkut yang dulu sering kulihat geliat kerjanya di Pasar Beringharjo menjelang fajar tiba. Ketika penduduk perkotaan sudah tidak terlalu memiliki hasrat untuk pergi ke pasar tradisional, berarti akan mengurangi komoditi yang harus digendong oleh simbok-simbok kuli tadi dan alhasil rupiah yang sejak dulu sudah tidak terlalu banyak dimilikinya pun harus semakin berkurang didapatnya.
Ah, Tunggonono!
Ya! Tiba-tiba aku ingat sosok satpam kantor yang selalu setia padaku dulu itu. Pernah pada satu saat, Tunggonono dengan gayanya yang khas itu berkata padaku bahwa ia dan keluarganya sekarang lebih senang untuk pergi belanja ke supermarket superbesar yang letaknya tak jauh dari kantorku dulu.
“Lha abis pripun, Bos! Kalau belanja di pasar itu ya kotor, apalagi pas musim hujan gini pasti becek. Tapi nek saya belanja di supermarket situ kan beda. Lantainya keramik, yang belanja ayu-ayu dan harganya itu lho.. bolehnya mahal ya nggak semahal yang dibayangkan, malah kadang lebih murah dari harga pasar tradisional lho…”
We lha…
Jumat malam sesudah pelayanan di komunitas sel, istriku bertanya padaku “Kamu besok mau ke Parklea Market?”
“Heh? Tempat apa pula itu, Hon?” tanyaku.
“Parklea Market kayak pasar tradisionalnya di sini. Itu tempat jualan barang-barang murah meriah. Ada buah-buahan, sayur-sayuran dan banyak lagi. Barang-barangnya kayak di supermarket tapi murah-murah!”
Akupun manggut-manggut tanda mengerti sekaligus setuju untuk besoknya pergi ke sana.
Maka jadilah! Sabtu, 15 November 2008, sekitar pukul 10.00 am ditengah cuaca yang tak menentu, bersama istri aku menuju ke Parklea Market, pasar tradisional Australia, yang letaknya tak sebegitu jauh dari tempat tinggalku.
Dari sisi bangunannya, Parklea Market menyerupai gudang besar dengan atap yang tinggi dengan rangka baja yang terlihat kokoh dan dibiarkan telanjang tanpa plafon yang menutupinya. Nah, tepat! Tepat seperti kalau kalian membayangkan bangunan Alfa Store di seberang jalan Hotel Jayakarta, Yogyakarta. Lalu di dalamnya, hamparan penjual beserta jualannya tampak di sana.
Apa yang dijual? Macem-macem!
Mulai dari buah-buahan, sayur mayuran segar hingga produk-produk kosmetika, perlengkapan binatang peliharaan serta wow, aku menemukan tukang jualan laptop-laptop bekas di sana! Apa yang dijual di sini rata-rata memiliki kisaran harga yang lebih murah ketimbang harga toko. Sebagai contoh deodorant Rexona semprot yang di toko dijual 6.40 di situ cukup ditebus dengan uang lima dollar!
Belum lagi buah-buahan yang kata istriku bisa irit hingga 5 dollar, sungguh menyenangkan!
Makanya, ide paragraf pertama itu tadi muncul ketika aku sedang berada di Parklea Market.
Bukan dalam rangka membandingkan, tapi barangkali kalau antusiasme warga dan sekaligus kegigihan para penjual di pasar tradisional dalam menjaga kualitas barang dan layanan itu sama dengan apa yang kulihat di Parklea Market pagi ini, kekawatiran banyak orang seiring dengan dibangunnnya mall-mall akan redup begitu saja. Atau barangkali mall-mallnya yang tidak akan jadi masuk ke kota-kota kecil? Wah bagus sekali kalo itu!
So, anyway, siang itu, aku dan istriku di Parklea Market membeli mangga, sayur untuk dimasak olehnya, beberapa deodorant dan sabun mandi serta dua potong kaos untuk Simba yang kita dapat dengan harga masing-masing 20 dollar atau separuh harga ketimbang pet shop yang berada di shopping center-shopping center terkemuka di sini.
Satu jam lebih kami berdua berkeliling ke sana kemari dan setelah puas berbelanja di Parklea Market kami lantas pergi ke Windsor untuk makan siang.
Windsor adalah sebuah kota yang terletak sekitar 70 kilometer ke arah barat laut dari Sydney. Dengan mobil pribadi, dari Castle Hill aku dan istri menempuhnya dalam waktu 30 menit berkecepatan sedang.
Dari sumber yang kudapat, Windsor adalah tempat tertua ketiga yang didiami pada awal-awalnya di benua Australia ini oleh kaum kolonial. Awalnya bernama Green Hills hingga akhirnya diganti menjadi Windsor oleh Governor Lachlan Macquarie pada 15 Desember 1810. Oh ya, sudah barang tentu nama Windsor diilhami oleh nama tempat yang sama di Inggris sana.
Australia gitu lochh, hampir semuanya serba ke-Inggris-inggrisan lah!
Di Windsor, aku dan Joyce menyantap fish and chip, makanan yang rasanya menggemaskan dan dihidangkan dengan porsi Australia yang sejumbo besarnya. Dalam tradisi Katolik kuno, makan ikan memang dianjurkan pada tiap hari Jumat, dan mungkin oleh karenanya maka di Australia sini ada begitu banyak orang berjualan fish and chip dan salah satu yang terlezat ya yang kumakan di Windsor itu.
Hidangan utamanya sudah barang tentu sesuai namanya yaitu ikan dan kentang. Kentangnya kami pilih digoreng kering ditemani dressing mayonnaise dicampur dengan saos yang asam-asam gitu, entah apa namanya aku lupa serta sepotong fillet ikan yang rasanya… hmmmmmh… sedapnya bukan main. Untuk menghilangkan kerinduanku pada sosok sambel, akupun meminta ditambahkan tabasco pada bubuhan dressingnya.
Usai bersantap kami lantas berjalan menyusuri kota Windsor.
Kota ini sungguh menyenangkan.
Ada begitu banyak bangunan tua yang masih dipertahankan keasliannya serta dipergunakan sebagai pertokoan, perkantoran dan rumah-rumah biasa. Dan yang lebih menarik lagi adalah pada bagian yang tampaknya menjadi pusat pertokoannya, disitu keseluruhan badan jalan diplester dan dikhususkan bagi kaum pejalan kaki saja.
Aku dan Joyce sempat masuk ke beberapa buah toko-toko antik. Joyce begitu tertarik ketika masuk ke sebuah toko yang menyediakan beraneka macam beads, bahan baku pembuat perhiasan-perhiasan imitasi. Sementara aku begitu tertarik ketika kami masuk ke leather shop. Wow! Aku benar-benar terbuai dengan hasil kerajinan dari kulit yang begitu menarik itu. Lalu pada salah satu sudut toko itu kutemukan kulit yang sangat antik dan cantik yaitu kulit buaya.
“Hon, ini bagus ya?” ujarku ke Joyce yang tak jauh daripadaku sambil menunjukkan kulit buaya itu kepadanya.
“Ih cakep ini, Hon!” matanya berbinar.
“Aku mau beli ah dibuat gelang keren yah?”
“Emang kamu bisa bikinnya?” tanya Joyce.
“Bisa dong!”
akupun ngeloyor pergi ke kasir untuk menanyakan berapa harga kulit buaya yang sebenarnya dipajang untuk dijadikan ikat leher itu.
Setelah mengeluarkan beberapa dollar (beberapa puluh dollar tepatnya hihihi) kulit buaya itupun kubawa pergi. Lalu ditengah jalan ketika kami hendak kembali ke areal parkir tiba-tiba Joyce dengan nakalnya bertanya “Hayoooo! Kamu kok tadi keliatan antusias banget sama kulit buaya?”
Aku hanya senyam-senyum saja, “Ah, enggak kok…”
“Halah.. hidungmu aja kembang kempis gitu pasti lagi nahan boong ya!”
Aku pura-pura bingung dan tidak bergeming menjawab pertanyaannya.
“Hayo ngaku… pasti kamu pengen pake gelang kulit buaya karena kamu dulu buaya ya..?”
Lalu tak bisa kutahan lagi tertawaku, dan kamipun terbahak-bahak berdua mengenang masa-masa yang telah lalu hihihihi …
Sesampainya di areal parkir kami tak jadi langsung pulang.
Kota ini terlalu nyaman untuk dilewatkan begitu saja, maka aku dan Joyce sepakat untuk mampir dulu ke warung kopi membeli segelas espresso sambil meminumnya di taman, ah pasti membahagiakan!
Tak terasa waktu telah berlari hingga ke pukul 2 siang, kamipun bersicepat kembali ke mobil dan melarikannya ke rumah. Sepanjang perjalanan dari Windsor hingga ke rumah, di kiri-kanannya dipenuhi dengan pemandangan yang indah. Langit yang mulai membiru setelah nyaris setengah hari dihiasi mendung akibat cuaca yang tak menentu, ladang-ladang rumput yang hijau serta sapi-sapi peliharaan yang dibiarkan merumput begitu saja oleh pemiliknya, pepohonan besar-besar yang angkuh berdiri sendiri-sendiri serta rumah-rumah yang memiliki jarak cukup jauh di antaranya… Dan membayangkan para penduduknya yang berdiam disitu dalam damai dan jauh dari riuh rendah aroma kota adalah hal yang menyenangkan….
Setengah jam kemudian kami telah sampai di rumah. Kami segera bergegas bersih-bersih diri lalu beristirahat di kamar sejenak. Jadwal kami masih cukup padat sore nanti karena ini adalah minggu kedua dan pada setiap minggu kedua, kami bersama Jaya, Irna, Paul, Rinda dan beberapa teman lainnya harus berlatih koor untuk misa hari minggu keesokan harinya di Gereja St. Joseph Newtown.
Dunia terhenti ketika kami terlelap hingga tiba-tiba kami terbangun ketika alarm kamar kami nyaris ngambek minta berhenti berdering saking capeknya membangunkan kami dan tak bisa-bisa. Pukul setengah lima dan kamipun jadi terburu-buru untuk secepatnya mandi dan mengejar sampai ke tempat latihan sebelum pukul 6.
Sementara ini adalah malam minggu, sudah barang tentu kami akan berhadapan dengan kemacetan yang luar biasa di jalan-jalan di kota sana. Aku dan Joyce lantas memilih untuk menempuh jalan yang agak sedikit memutar menggunakan mobil untuk mencapai apartment Jaya dan Irna yang digunakan sebagai tempat latihan.
Kami tiba di tempat latihan nyaris-nyaris pukul 6. Ketika matahari telah semakin condong ke arah barat, ketika jalan-jalan di kota mulai ditumpah-ruahi oleh kaum muda yang mengenakan baju sekenanya asal menutupi aurat tapi tetap tidak menghilangkan lekuk-lekuknya dan ketika para anggota koor lain sudah mulai datang berkumpul.
Dan.. oh tidak, ini adalah kali pertama aku berlatih koor bersama dengan mereka, teman-teman Joyce yang lebih baru lagi ketimbang Irna, Jaya, Paul dan Rinda yang sudah kukenal baik pada minggu-minggu sebelumnya.
“Hoi kenalin… ini suami gw!”
tukas Joyce keras-keras ke arah teman-teman yang sudah berkumpul di dalam.
Lalu akupun mengedarkan tangan ke … hmm nyaris sebelas orang, dan semuanya orang Indonesia, yang datang kepadaku dengan senyum terkembang, mereka adalah manusia-manusia yang menyenangkan!
Latihan koor berlangsung dengan serunya!
Dua jam lebih sedikit kami berlatih beberapa lagu untuk misa esok harinya. Sesudahnya, kami yaitu aku, Joyce, Jaya, Irna, Rinda dan Paul pergi untuk makan malam bersama sementara yang lain memilih untuk pulang.
Malam itu kami membeli nasi goreng, cap cay, kwee tiaw dan bihun babi dari Fajar Restaurant. Kami memilih untuk membungkus semua makanan itu dan dibawa pergi ke unit milik Paul dan Rinda untuk menyantapnya di sana.
Wah, suasana seperti itu sungguh suasana yang sangat menyenangkan!
Aku merasa seperti tak terlalu jauh berada dari Indonesia karena semua serba Indonesia.
Dua jam lebih kami bercengkrama di sana mengobrolkan tentang banyak hal mulai dari makanan, karaoke, gosip-gosip artis Indonesia hingga Amrozi dkk yang hingga saat itu kami herankan kok ya belum ditembak mati.
Malam semakin pekat sementara angin kota telah berdesir kencang ke sana kemari di luaran.
Kami lantas beranjak pulang setelah pamit karena besok pagi kami harus bangun pagi untuk pergi ke gereja.
Kami mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, menyusur jalan-jalan yang semakin malam tampak semakin ramai saja. Berderet-deret orang-orang pada sibuk mengantri masuk ke diskotik dan pub, sementara banyak lagi pasangan yang asyik masyuk berpelukan hingga berciuman di tepian jalan. Tangan si pria ditangkupkan ke pinggung pasangannya sementara wajahnya seolah dilengketkan ke wajah pasangannya dengan bibir saling berpagutan.
Aku mengintip mereka dari sudut mata sementara perhatian utama tetap kufokuskan di jalan.
Meski tak berjalan terlalu cepat seperti ini namun kami tak boleh lengah sedikitpun karena para remaja yang sedang asyik menghabiskan malam itu bisa saja menghabiskan kedamaian hati kami malam itu dengan tingkahnya yang tak menyenangkan misalnya dengan menyeberang seenak jidat mereka.
Dan benar saja!
Tak lama sesudah aku berpikir demikian tiba-tiba seorang remaja wanita berpakaian minim masuk ke badan jalan hendak menyeberang yang membuat kami harus mengerem kendaraan dengan sangat mendadak lengkap dengan rem yang berdecit dan kata-kata mutiaraku!
“Munyuk!”
teriakku emosi dari dalam mobil sambil memelototkan mata kepadanya.. emosi kepadanya bukan karena pakaiannya tapi karena kegeblekannya!
Buaya!
Gelang kulit (dan gigi) buaya di tangan seorang mantan buaya? Walah boong banget, orang kok mantan buaya, mana bisa?!?
DV, gelangnya bagus sekali….
Dulu Yogya terkenal dengan tas kulitnya, termasuk kipas, gelang dll dari kulit dan kulit buaya.Saya satu tahun (1980) pernah tinggal di Yogya, sebelum ditempatkan di Jakarta.Teman saya banyak yang suka pesan.
Hmm kalau ke Yogya, saya masih suka mencari pecel pincuk di pasar Beringharjo, makan gempol (dari beras dikepal, dimakan sama kuah santan asin) atau dawet di depan pasar Beringharjo… lha kalau Mal udah bosen kan isinya gitu2 aja. Di Jakarta pun saya masih suka ke pasar tradisional, pake sandal jepit, cari rempeyek, jajan pasar, juga pecel pincuk.
Wah.. kalimat terakhir menyinggung saya, soalnya saya kanbuay darat, hihihi
Gelangnya seru! *kok seru sih?*
Btw, Don, di pasar Parklea ada yang jual kerupuk? ;)
Jual kerupuk di sini dimanapun ada, Yoga :)
Aku biasa nyari di Parramatta nebus dengan harga 1.5 dollar dapet seplastik gede.
Atau kalau mau sedikit mewah ya beli kerupuk gede2 khas Indonesia di Indonesian Groccery, White Lotus seharga 4 dollar cuman dapet lima :)
munyuk….buaya….hah, postingan kali ini benar2 kebun binatang, hahaha….
dab, orang bule mbok pisuhi munyuk apa mudeng ? tapi bener ding, kita bisa bebas misuh di sana dengan perbendaharaan yg mereka gak mudeng ya. seperti munyuk tadi, terus…wedus, sapi… :D
apalagi ngatainnya sambil senyum, mesti mereka tambah gak mudeng, dikira kita say hello dan mereka akan mikir bahwa wong Indonesia itu sabar2 banget dalam menghadapi masalah, hehehe…
eh, amrozi wis dut kok nda
Waktu cerita ini dikisahkan Amrozi durung dut, Nda :)
DV mantan buaya? ohh…gitu tah…baru tahu…..
Ah masa tampak seperti itu ?
Saya bukan mantan buaya, saya manusia! :)
[sorry kalo ga sesuai konteks…] don i got dump for real…. :(
Hari keberapa ini, buaya, eh, Don?
cerita yang seru ..Boss