Ratusan pelajar kusaksikan melalui layar televisi berbondong-bondong menuju ke kantor walikota di sebuah daerah yang tak perlulah kusebutkan namanya.
Mereka berdemo karena sebab yang akupun juga tak tertarik untuk menceritakan. Tapi tuntutan mereka lah yang gatal ingin kutulis di sini; putuskan hubungan diplomatik dengan Amerika sekaligus boikot semua produk yang terkait dengan Amerika.
Lucunya lagi, mereka berdemo dengan tetap main jepret sana-sini menggunakan kamera handphonenya dan ada juga yang asik berketak-ketik entah itu facebookan, twitteran, BBM-an ataupun SMSan, hal-hal yang nyaris semuanya berbau-bau Amerika.
Demo-demo mereka yang serba menentang Amerika itu tipikal sekaligus usang.
Tipikalnya karena seolah Amerika dijadikan sasaran akhir kemarahan ketika tak mampu mendefinisikan siapa yang harusnya dilawan
Tipikalnya karena seolah Amerika dijadikan sasaran akhir kemarahan ketika tak mampu mendefinisikan siapa yang harusnya dilawan. Usangnya karena selalu itu dan itu melulu yang diangkat sebagai tema, padahal kalau mau jujur, dengan cara berdemo menuntut sikap atas Amerika itu adalah tanda bahwa mereka tak kunjung mampu mendapatkan pelunasan tuntutan; karena kalau mampu bukankah mereka akan menuntut sesuatu yang baru? Logisnya kan demikian!
‘Untung’ lah, di tingkat ‘kakak-kakak’ mereka, demo anti Amerika sudah lebih halus. Entah itu tanda mereka semakin pintar, atau justru karena mereka sadar bahwa menuntut untuk ‘cerai’ dari Amerika adalah sesuatu yang tak realistis karena di satu sisi mereka pun semakin lekat dengan produk-produk Amerika. Kecuali kalau mereka siap untuk lepas dari internet lengkap dengan facebook dan twitternya, mereka siap untuk tak bergadget ria, dan tak menikmati makanan-makanan restaurant yang ber-brand Amerika, itu lain perkara…
Hehe, inti persoalan ini sebenarnya bukan di Amerika-nya atau Indonesia-nya. Persoalannya adalah, kita telah terlanjur membuka diri terhadap pergaulan luas dunia yang mau-tak-mau, suka-tak-suka berimbas pada hampir segala aspek hidup kita.
Bahkan negara kuat macam China dan Russia saja akhirnya tak kuat untuk hidup ‘solitaire’ sejak akhir dekade 80-an dan tumbang untuk selalu menutup pintu untuk lantas membuka diri terhadap dunia luar, apa kita mau dan sepakat untuk hidup tak tergantung pada negara lain sama sekali termasuk Si Digdaya, Amerika Serikat?
Kalau kita bisa lebih kuat dari Korea Utara, satu-satunya yang masih bisa bertahan dari terpaan globalisasi, bolehlah demo-demo seperti di atas patut kita dukung, tapi sungguhkah kalian mau untuk hidup seperti mereka itu?
Aku tak bilang bahwa demo-demo seperti itu adalah satu wujud kebodohan karena mengungkapkan pendapat dan protes adalah hak azasi kita. Tapi takutnya, di tengah arus global ini, di tengah semua orang bicara masa depan, hal-hal yang ditunjukkan para pelajar (yang harusnya belajar untuk menjadi lebih pintar dari kita) itu malah menjadi kontra-produktif, dituding menjadi gerakan yang bodoh.
Padahal, siapa yang mau dibilang bodoh??Bukan cuma soal harga diri yang melorot karena dibilang demikian, tapi takutnya kita eh mereka jadi benar-benar bodoh!
Dan kebodohan itu takutnya lagi menjalar.
Taruhlah 200 orang ikut berdemo. 10 orang dari mereka kemudian ‘insaf’ dan menjadi tak bodoh, masih ada 190 lain yang siap menawarkan kebodohan kepada pasangan hidupnya kelak, dan kepada anak-anak yang mereka hasilkan meski anak-anak tadi tentu tak diciptakan untuk mewarisi kebodohan orang tuanya sendiri. Hasilnya akan meningkat tajam, bahasa matematisnya, sangat eksponensial!
Tapi taruhlah mereka memang benar-benar bodoh, maka aku tak tahu lagi harus membahasakan bagaimana bodohnya si raja dangdut yang baru-baru ini merilis pendapat betapa malunya ia mendapati ibukota dipimpin seorang cina yang kristen.
Ah, letakkan dulu identitas kristen-nya. Aku kristen tapi sedang tak ingin bicara soal kekristenan. Kita omongin soal ‘cina’ nya saja meski aku bukan seorang cina.
Kenapa demikian kusebut lebih bodohnya ia daripada para pelajar yang berdemo (dan bodoh) tadi?
Simply karena kalau ia bilang malu dipimpin oleh China, lebih malu mana untuknya untuk mempertahankan pendapat tersebut atau untuk tak berbusana dan melepaskan semua produk yang hampir sebagian besar adalah buatan China itu?
Aku hanya berdoa semoga si Bang Raja Dangdut itu tak terpeleset juga ngomong ‘Anti Amerika’ karena kalau demikian, layaknya jatuh tertimpa tangga, karena tanpa Amerika dan China, mau jadi seperti apa dunia ini adanya?
Aku tahu ada sedikit logika yang ‘melenceng’ dalam beberapa kata yang kutulis di atas, tapi tak mengapa karena untuk membicarakan hal-hal yang bodoh, janganlah menggunakan kepintaran yang keterlaluan tingginya…
“I love the United States, with all its faults. I consider it my second country.”
Susilo Bambang Yudhoyono
(International Herald Tribune, Aug. 8, 2003)
Klo indonesia udah bisa buat sejenis iphone, atau seenak aw dan kcf, atau yg paling ptg bisa buat film sekelas avatar atau paling gres resident evil seh boleh lah mas.. namanya juga usaha..
Itu wajib belajar 9 tahun mana hasilnya?
Alokasi apbn 20% untuk pendidikan mana hasilnya?
Dari dulu permasalahan pendidikan selalu jadi isu utama untuk peningkatan kesejahteraan, ketika masyarakat sejahtera, generasi penetus mereka bisa dapat pendidikan dan punya wawasan yg luas, ga cuma asal mbengok spt skrg…
Lha inj masalahnya memang bangsa negara kita dijual oleh polytikus…
Kadang terpikir lebih baik Indonesia ini gabung saja ke Amerika Serikat jadi federasi negara sirkum pasifik, plg tidak semoga kesejahteraan rakyatnya diperhatikan oleh pemerintah yg profesional, bukan cuma segerombolan polytikus rakus….
kaya ga bisa dech mas, hahahahahhahah
Kalau SBY ngomong kayak ngono ya jelas kita tidak bisa hidup tanpa Amerika. Tapi jangankan kedua negara itu, Mbah, tanpa Malaysia pun kita tidak bisa.
Banyak lho’ yang asal ceplos,…. anti A anti B, apalagi mempertimbangkan segi agama. Yang sekecil-kecilnya, bahkan cara berfikir juga masih berkiblat ke Barat.
Setahu saya, tuntutan2 demo mahasiswa kan memang selalu lebay..
baca tulisanmu ini aku jadi ingat kata-kata seseorang yang lama tinggal di amerika. dia cerita, di sana dia ketemu orang-orang dari golongan yang suka demo menentang amerika itu. orang-orang dapat beasiswa sekolah di amerika, dan di sana mereka malah sengaja punya anak biar anak mereka jadi warga negara amerika. haha. itu lebih memalukan daripada menjilat ludah sendiri, kupikir.
yang sebetulnya mengerikan itu bagiku adalah jika kebodohan mereka menular ke semakin banyak orang, sampai ke keturunan-keturunan mereka. :(
sebenarnya sih tidak perlu sampai demo demo gitu saja. Saya pribadi sebenarnya bukan anti amerika atau negara negara lain. Tapi lebih anti orang Indonesia Oon yang selalu dibodohi mereka demi uang yang tidak seberapa itu saja.
wah gue idem sama applaus anti orang Indonesia OON>..sayangnya jumlahnya banyak hahahaa
dalam dunia yang semakin global, aku rasa kita tidak bisa utk hidup tanpa A, tanpa B, tanpa C, dan seterusnya. Merekapun tidak bisa hidup tanpa Indonesia.
Jadi ingat tulisan Mbak EM dulu, bukan tentang menjadi warga Indonesia atau warga Jepang, (ataupun negera lain), tapi menjadi warga dunia, warga bumi
Salam,
ga setuju juga klo pake demo2 segala, masih banyak hal yang harus dilakukan, sayang waktu habis cuma buat nuntut orang lain ^^
tanpa Singapura saja pun kita tidak bisa hidup hehe
Mbokya gak perlu nyindir-nyindir agama Don..
Saya sih sedang tidak menyindir agama sama sekali, Rusa. But, thanks for comment anyway…