Maling tetaplah maling

16 Jan 2012 | Cetusan, Indonesia

Seorang berteriak, “Bebaskan maling sandal! Kalau koruptor saja bisa bebas kenapa dia tidak? Dimana letak keadilan kita?”
Pernyataan itu spontan kubalas, “Kenapa harus dibebaskan, justru kalau dibebaskan, dimana adilnya?”
“Tapi koruptor maling berjuta-juta lipat ketimbang sandal!?”
“Itu urusan lain!” tangkisku. “Koruptor ya koruptor, maling sandal ya maling sandal!”
“Nggak bisa dong! Harusnya koruptor dihukum berlipat-lipat lebih kejam ketimbang si maling sandal, Don!”
“Benar? Kalaupun benar itu tugas pengadilan dan itu tidak menghilangkan esensi bahwa si maling sandal juga harus dihukum kan?” balasku.
“Iya, tapi… ini maling sandalnya masih anak-anak lho, Don… Coba kalau anakmu yang dibegitukan… Bagaimana reaksimu? Apa ya tetap tega bilang begitu?”
“Anakku maling? Ya kuhukum!”
“Ah, tak percaya! Kau pasti akan tak terima kalau anakmu dimejahijaukan!”
Pembicaraan kuhentikan disitu karena ia telah menjadi bias dan tak menarik lagi.

* * *

Bagiku maling adalah maling…

Bagiku maling adalah maling terlepas dia maling sandal, baju, software, waktu, kekuasaan ataupun uang, atau yang biasa disebut sebagai koruptor, ia tetaplah maling. Mau ‘bayi’ umur delapan tahun, dua belas, lima puluh ataupun sembilan puluh tahun, kalau dia mengambil barang milik orang lain tanpa ijin tetaplah ia maling. Yang namanya maling, haruslah dihukum dan hukum inilah yang harus disesuaikan berat-ringannya tapi intinya, ia harus tetap dihukum.
Malah, menurutku, hukuman diperlukan oleh si maling itu sendiri sebagai sarana untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat. Maling tanpa hukuman akan membuat ia selamanya menjadi maling, sebaliknya, ketika seorang maling telah menjalani hukuman, ia berhak untuk hidup lebih baik lagi meski kalau maling lagi ya, dihukum lagi.
Tanpa hukuman atau status terhukum, esensi kesalahan terhadap tindakan maling takutnya juga akan kabur dan masyarakat semakin rabun mana yang baik dan mana yang benar karena keduanya tak ada yang membedakan. Kalau pada akhirnya tiap hukuman itu berbeda ya tak mengapa selama setidaknya tak men-ciderai konsep ‘maling tetaplah maling” itu sendiri.
Baiklah aku setuju bahwa dalam kasus maling sandal dimana pelakunya masih anak di bawah umur barangkali memang tak pantas dimejahijaukan. Tapi justru ini adalah momentum untuk kita menuntut pada negara bahwa ia harus memfasilitasi keadaan jika ada kejadian seperti ini; maling di bawah umur.
Baiklah aku setuju pula bahwa anak-anak adalah tanggung jawab orang tua. Tapi kalau demikian adanya, apa bentuk pertanggungjawaban orang tua kalau anaknya maling? Ada yang berani menyeret orang tua ke muka hakim karena anaknya maling? Padahal kalau mau fair, karena anak adalah tanggung jawab orang tua, maka ketika si anak melakukan kesalahan dalam hal ini menjadi maling, maka orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan si anak.
“Ya maksudku, anak jadi tanggung jawab orang tua itu si anak dididik dengan cara orang tuanya masing-masing!”
Ok, katakanlah demikian, tapi bagaimana cara membuktikan bahwa bentuk didikanmu tak kan membuat anakmu jadi maling? tanyaku.
“Ah… ya pasti bisalah.. Lagipula itu cuma sandal gitu loh.. gimana dengan koruptor yang maling trilyunan kok ga dihukum seberat anak itu!?” balasnya.
Sekarang cuma sandal?
Lalu besok tape dan radio?
Meningkat ke televisi?
Hingga titik itu kamu tetap akan bilang “Ah, cuma televisi!” ?
Lalu besoknya lagi uang, dan kekuasaan lalu uang lagi… semula ribu, juta, milyar, ratus milyar dan terakhir trilyun dan aku akan berkata “Tak terasa waktu berlalu. Dulu anakmu maling sanndal tak kau apa-apakan dan sekarang anakmu maling trilyunan, dan kau… kau sudah tak bisa apa-apa sekarang!”
Begitu?

Sebarluaskan!

40 Komentar

  1. sarujuk. maling ya tetep maling.
    tapi dalam kasus Indonesia, ‘keadilan’ menjadi titik tolak memperbandingkan pencuri sandal dan pencuri duit rakyat. esensinya, ada pada perlakuan hukum yang tak adil. orang cenderung mendesan permaafan, toleransi karena yang dicuri dianggap ‘tak bernilai dibanding…’.
    di dalam praktek hukum, mencuri karena alasan survival akan beda perlakuan dibanding mencuri karena profesi, untuk menambah koleksi pundi-pundi.
    begitulah…

    Balas
    • Hmmm.. tarik garis merahnya berarti infrastruktur hukum yang perlu diperbaiki ya…

      Balas
  2. terkadang hukuman itu harus melihat dari permasalahan atau kasus yang sedang berjalan, kemudian kita ambil kebijakan dengan cara yang bijaksana..
    Untuk itu bagi khususnya bagi Anda mas DV, seumpanya anda adalah seorang pengacara, namun yang anda bela ini sudah jelas adalah orang bersalah, dan anda dibayar dengan sejumlah uang katakanlah tinggi..
    Sesuai dengan apa yang anda tulis diatas, maka anda mungkin saja akan berkata..
    Pengacara yah pengacara, harus membela si klien dan berusaha membebaskannya tanpa harus melihat permasalahan si klien.
    #piss mas Donny:)

    Balas
    • Kalau udah terlanjur sign contract, sebagai profesional tentu aku akan membela klienku… kalo tekanan terlalu kuat ya tinggal mundur tho?
      Tapi yang lebih penting dari itu, sebelum sign contract tentu ada masa pertimbangan apakah sebuah kasus perlu dibela atau tidak dilihat dari semua aspek :)
      Saya rasa yg terpenting adalah konsistensi, itu saja:)
      Anda tak perlu bilang “peace” lah.. Saya slalu menempatkan komentar sebagai ajang diskusi sementara anda, sebagai komentator, adalah sahabat saya:)

      Balas
      • sip mas, blogger seperti ini yang saya cari-cari…
        sebagian blogger nulis konten kan memang untuk memancing Feedback:)
        semoga sukses mas DV

        Balas
        • Sip! Sakseus juga buatmu ya…

          Balas
  3. Maling tetap maling. Dosa kecil tetap dosa. Memang perlakuan untuk anak di bawah umur berbeda dengan orang dewasa. Namun bukan berarti tindakan maling menjadi dibebaskan dari hukuman. Kalau ada ketidak adilan menyangkut kasus-kasus besar mestinya masyarakat dapat memberi tekanan agar hukum dapat ditegakan untuk kasus-kasus kakap seperti itu. Jadi bukan kemudian meniadakan hukuman untuk semua perbuatan permalingan.
    Sejarah mencatat manakala suara masyarakat ke penguasa agar penegak hukum lebih adil dalam menerapkan hukum tidak mendapatkan respon yang baik, maka akan semakin hilang kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan segala organ politik. Kalau hal ini terjadi maka ini merupakan tanda awal terjadinya revolusi.
    Jadi….?
    Jadi…..?

    Balas
    • Reformasi sudah pernah dan gini2 aja… revolusi aja kali ye.. :) Suwun Pak komentarmu!

      Balas
  4. +1 Om,…
    Aku setuju itu, jangan karena maling sendal lantas banyak orang ribut untuk membebaskannya,… tetap maling kan? Lantas si koruptor malah bebas,….. wong dari dulu kita sering membebaskan maling2 kecil, dan membebaskan yang besar tentunya ngga sulit bukan? :D

    Balas
    • Hehehe logikamu bagus! + semilyar :D

      Balas
  5. Ngerti opo kowe soal dunia permalingan, Mbah?

    Balas
    • ???

      Balas
  6. sarujuk dengan pakdhe blontank. *njuk?* :p

    Balas
    • *njik

      Balas
  7. sing nglaporke yo maling,…
    maling nglaporke maling…, sing ngadili, maling opo udu? trus malinge sing endi? wong ming mergo disik-disikan lapor…

    Balas
    • Dadi ingat omongannya Karni Ilyas di iklan indonesia lawyer club.. apa jangan2 kamu adlaah.. Kar… oh no… :)

      Balas
  8. Bukan soal apa yang dicuri, tetapi tentang apa yang sudah diperbuat. Jika kita tidak tegas menangani kejahatan kecil, maka tidak heran jika di masa yang akan datang akan lahir penjahat-penjahat yang besar.
    Mungkin, yang kita butuhkan adalah tingkatan hukuman. Untuk anak di bawah umur rasanya cukup di rehabilitasi, dibina secukupnya.
    PeeR bagi kita semua untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sentausa..supaya tidak ada yang kelaparan dan berkekurangan. PeeR untuk para orang tua untuk menerapkan kejujuran mulai dari dalam keluarga, sehingga keadaan yang sulit tidak akan mengubah anak-anak yang pada dasarnya baik menjadi jahat.
    MERDEKA !!!

    Balas
    • +semilyar, Ris!

      Balas
  9. Saya setuju sama mas Donny, maling tetaplah maling. Mengenai korupsi saya kira beda persoalan. Masalahanya hukum dinegara antah berantah ini sepertinya timpang dan lebih memilih orang-orang berduit yang mau beradu di meja hijau. Selebihnya buat orang tidak berduit jadi momok. Mengenai masalah hukum saya tidak tau, dan bukan kapasitas saya berbicara mengenai hukum.
    Kembali ke mencuri, saya jadi ingat artikel yang sempat saya baca dari tulisan aslaksana “setiap tindakan akan mengilhami lahirnya tindakan-tindakan lainnya, setiap gagasan melahirkan gagasan-gagasan berikutnya. Keong racun melahirkan briptu norman dan nanti melahirkan produk yang lebih maju lagi. Sama seperti tulisan njenengan, awalnya maling sandal lalu radio, televisi, duit 1000, lalu jutaan, milyaran dll. ” Masalahnya jika sekarang kita mempunyai pemimpin yang tidak punya hasrat memberantas korupsi maka tidak akan ada gagasan-gagasan baru yang muncul, maka tidak ada yang akan benar-benar memikirkan korupsi yang menjamur. Untungnya semua ada masa jabatanya. Jadi ya silahkan menunggu masa jabatan habis saja jika ingin negara lebih baik dan hukum tidak timpang. *duh kepanjangan*

    Balas
    • Hmmm tapi kalo kita bisanya menunggu masa jabatan habis seorang pejabat ya akan sampai kapan?
      Hal terbaik barangkali adalah, abaikan pejabat, perbaiki pendidikan dan revolusi hukum :)
      Gimana?

      Balas
  10. sepakat Don… maling cuma satu rupiah, itu tetap maling kan? kalau maling kecil-kecilan dibuat pengecualian, itu malah tidak adil. lalu yang perlu dipertimbangkan adalah jenis dan bagaimana hukuman yang akan dijatuhkan. aku membandingkan dua orang temanku dalam mendidik anaknya. si A, kalau anaknya berbuat salah, dia kasih hukuman atau teguran. misalnya, anaknya di-time out. dengan begitu, si anak jadi sadar akan kesalahannya. temanku si B, paling cuma mengomeli anaknya saat si anak melakukan kesalahan. tidak ada hukuman “yang membadan”. akibatnya anak si B lebih susah diatur. dia tidak menyadari kesalahannya. anak mereka sama-sama berumur kira-kira 2 tahun.
    aku jadi ingat kata-kata seorang teman, hukuman yang efektif adalah hukuman “yg membadan”. bukan berarti harus dipukul, tetapi hukuman itu membuat seseorang jadi sadar bahwa ia keliru. aku ingat, dulu aku pernah dihukum untuk makan bawang. rasanya tidak enak, tapi itu tidak menyakiti sebenarnya kan, karena bawang berkhasiat untuk kesehatan. tapi dengan begitu, aku jadi sadar bahwa aku keliru, dan aku tidak mengulangi kesalahan itu. dalam memberi hukuman pun mesti cerdas… ;)

    Balas
    • +semilyar, Nik!

      Balas
  11. Hukum tertinggi tetap hati nurani… itu menurut saya. Jadi hukumpun harus bisa flexible.
    Adil itu bukan sama rata sama rasa… tapi bagaimana nilai hati nurani terhadap rasa keadilan itu.

    Balas
    • Kalo mau melibatkan iman, hukum tertinggi bagiku adalah kasih.. tapi karena negara tak bisa ditegakkan dengan iman saja maka tata atur hukum adalah yang tertinggi, tentu dengan mengadopsi kasih sebagai dasarnya.
      Aku cuma berpikir kalau fleksibilitas diperbolehkan ada dalam tatanan hukum, ya kita harusnya ngga protes juga kalau ada koruptor besar dibebaskan… toh fleksibel.
      “Lho tapi tak sesuai hati nurani kan, Don!?”
      “Hati nuranimu? OK. Hati nurani hakim?”
      Dalamnya laut siapa tahu, dalamnya hati, gw juga ngga tahu :)
      Anyway, kuhormati pendapatmu, Plaus..

      Balas
  12. hukum tetap hukum.. mungkin disini yg salah adalah perilaku penghukum dan cara penghukumnya.. ditambah lagi pembesaran media yg mengecilkan tindakan malingnya yg membuat rubahan cara fikir masyarakat..
    sekarang dia dibela.. pasti dia berfikir bahwa dia gak salah yak.. dan akan ada berjuta anak kecil yg akan menganggap mencuri sendal itu sesuatu lelucuan..
    aahh… sudahlah.. males..

    Balas
  13. maling walau sekecil apapun tetep maling, ada hak orang lain yang diambil, ada orang yang kehilangan haknya, itu dari sisi kerugian.
    dari sisi ketertiban (karena ini adalah salah satu tujuan adanya hukum) sandal, walo harganya ga seberapa, tapi banyak orang yg pernah kehilangan sandal, dan meski harganya tak seberapa akan timbul rasa mangkel dan jengkel yang terpendam didalam hati.
    banyak kejadian dimana maling sandal dipukuli ramai-ramai, menurutku ini adalah rasa terusik masyarakat baik karena hilangnya rasa keamanan maupun karena adanya rasa ingin balas dendam karena pernah kehilangan sandal juga!
    apakah seseorang yang memukul maling sandal menjadi benar dan tidak bersalah? tidak. apakah seorang maling sandal setelah dipukuli lalu kemudian dia berhak untuk dilepaskan dari tuntutan pencuriannya? tidak juga.
    semua ada koridor dan aturannya, seorang yang DITUDUH mencuri maupun DITUDUH korupsi berhak atas kepastian hukum juga, apakah seorang yang sudah dihakimi massa dengan dipukuli sebagai maling sandal selalu bersalah? bagaimana jika dia ternyata salah ambil sandal? lalu ada orang yang sakit hati kepadanya lalu memfitnahnya?
    Setuju dengan pendapat mas @blontankpoer diatas, alasan mengapa suatu pencurian pun perlu dilihat, apakah dia melakukan pencurian untuk memenuhi hajat hidupnya? atau untuk memperkaya diri sendiri? tentu seharusnya hukuman untuk mereka berbeda sesuai dengan niatannya.
    mengenai masalah bagaimana pertanggung-jawaban orang tua terhadap tindakan pencurian oleh anaknya maka menurutku dalam hal ini pencurian oleh anak harus dikategorikan kedalam delik ekonomi (economische delicten; CMIIW) dimana bentuk pertanggung-jawaban terhadap tindakannya adalah pemulihan atas kerugian yang diderita korban.
    kalau boleh aku bilang undang-undang anti korupsi Indonesia kurang mengakomodasi sudutpandang keekonomian dan rasa keadilan, karena hukuman badan untuk suatu pidana yang mengakibatkan kerugian sedemikian besar terhadap NEGARA dan seluruh rakyatnya (uang yg dimaling itu sebagian besar uang pinjaman CMIIW) sangatlah tidak memenuhi rasa keadilan, kerugian negara harus dipulihkan dan harus ada hukuman atas kerugian harus dibayar oleh terpidana korupsi selain hanya hukuman badan, mungkin apabila memang tidak mau memberikan hukuman mati maka bisa digabungkan antara hukuman badan dan hukuman denda (yang tidak boleh diganti dengan kurungan/penjara) mungkin vonisnya akan menjadi penjara x tahun ditambah dengan pengembalian seluruh kerugian negara sesuai dengan yang terbukti ditambah denda atas kerugian negara sebesar xxx rupiah dan si terpidana harus dipailitkan dan semua hartanya dan harta keluarga intinya diserahkan kepada negara.
    tapi ya kui pendapatku lho ya bro…

    Balas
    • Edan… komentarmu apik tenan, Di! Serius!

      Balas
  14. izin re-post bang,. agar tak jadi maling negara yang hari ini maling sandal. Trims,.

    Balas
    • Silakan repost asal tuliskan sumber penulis dan link ya… :)

      Balas
  15. Gimana ya.. Tapi saya setuju dengan konsep anda Mas. Anak yang mencuri itu tetap harus dihukum, cuma ya hukumannya atau proses pengadilannya harus disesuaikan. Mungkin tidak perlu sampai masuk pengadilan, cukup “pengadilan” dalam keluarga saja, atau cukup dengan pihak yang sandalnya dicuri meminta pertanggungjawaban kepada orang tua si anak. Ya pokoknya apa yang dianggap sesuai lah.. Memang sulit sih ya..

    Balas
    • Pengadilan dalam keluarga itu masalahnya nanti ketika keluar dari rumah apa ada jaminan bahwa hukuman keluarganya juga membuat jera, Bli :)

      Balas
  16. Setuju sekali dengan pemikiranmu Don. Melakukan kesalahan sebesar apapun kesalahannya memang harus dihukum. Tanpa hukuman kesalahan akan terus dilaksanakan. Dan hukuman sebetulnya tidak boleh dicampuri dengan perasaan :) Di Arab sana yang mencuri dipotong tangannya kan? Itu yang terlihat… koruptor? Mustinya dipotong lehernya :D
    Jeleknya di Indonesia, orang sering koar-koar pada masalah orang lain, besar atau kecil. Ganyang koruptor! Ganyang pencuri sendal?! Tapi pernahkah dirinya sendiri TIDAK korupsi? Tidak membesar-besarkan pengeluaran dari yang semestinya? Tidak keluar kantor sebelum jam kerja berakhir? Atau yang barang, tidak mengambil handuk kecil di kamar hotel, misalnya. Alah cuma handuk, cuma sendok maskapai penerbangan :D Keciiiil. Dan kalau dibiarkan ini sebetulnya yang membuat banyak pencuri sendal, curi sedikit-sedikit yang akan menjadi besar. Sendal Emas mungkin :D
    Selama hukum itu tidak dijalankandengan benar, keadilan juga tidak akan bisa didapat.

    Balas
    • Hmmm… iya ya… kenapa kita nggak berkaca pada Arab saja ya? Bukankah bagus begitu ya, Mel? :)

      Balas
  17. bener sekali, mas don. maling tetaplah maling, seberapa pun usia dan apa yang dicurinya. kebetulan saja dalam situasi yang bersamaan, kasus korupsi marak di negeri yang bernama Indonesia. publik pun lantas membanding-bandingkannya. kok enak bener tuh para koruptor, bisa bebas melenggang di lur tembok penjara, sementara hanya anak yang maling sandal saja bisa langsung dijerat hukum. lebih tepat mungkin kalau dibilang sebagai ironi penegakan hukum.

    Balas
    • Sip! Saya sudah menyangka Pak Sawali pasti bisa membaca benang merah tulisan ini! :)

      Balas
    • Sip :)

      Balas
  18. pertama : aku setuju tulisanmu.
    kedua yang agak OOT komentarku : seandainya hukum Indonesia bisa tegas, kayaknya penjara akan makin penuh. banyak pelanggaran-pelanggaran yang memang akhirnya berakhir dengan maaf saja karena kalau diproses hukum malah ribet dan secara nominal akan lebih mengalami kerugian ganda akibat harus bayar ini itu. jadi maling sandal itu bagiku orang yang kebetulan ketiban sial saja, bertindak di waktu dan tempat yang salah plus kondisinya yang lemah. coba kalau dia berduit (eh berduit gak mungkin maling sandal ya hehehe…) atau bertemu dng korban yang males ribet2 urusan polisi (suek banget ya ketemu korban ya pas polisi…) mungkin nasibnya berbeda. ngomong panjang-panjang intinya walaupun harus dihukum maling skala kecil sampai kakap tetap aparat hukum dan peraturan hukum harus jelas, karena kalau tidak akan lebih tidak adil lagi karena banyak maling2 dan korban maling yang bisa ditindas hukum atau menindas hukum.

    Balas
    • Singkat kata, semrawut ya :)

      Balas
  19. Mas DV, saya sangat setuju dengan pendapat mas. Sayangnya MA (mahkamah agung) justru mengeluarkan aturan “maling di bawah 2,5 juta tak boleh ditahan”. Nah lo, akibat mendukung maling sandal, bermunculan-lah maling2 kecil yang baru. Gak sampai 2 tahun saya rasa negara ini akan menjadi negeri para maling.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.