Hi Takita, terimakasih sudah menyuratiku.
Namaku Donny, dan panggilah aku demikian. Aku dilahirkan dengan nama Donny Prima Verdian, jadi please jangan panggilku Kakak Donny atau Om Donny, karena (alm) Papa dan Mamaku tak mengimbuhi kata-kata itu kepadaku :)
Lagipula, bukannya mau sok ke-barat-barat-an, tapi di Australia, tempatku tinggal saat ini, aku biasa dipanggil Donny bahkan oleh anak umur lima tahun sekalipun. Rasanya menyenangkan!
Aku tahu ini tak terlalu sesuai dengan adat kebiasaan kita yang ketimuran, tapi nanti ketika kamu seusiaku, kamu akan merasakan sensasi ‘awet muda’ dan betapa kita dianggap ‘sepantaran’ ketika dipanggil nama langsung oleh mereka yang bahkan jauh lebih muda darimu.
Takita,
Sesaat sebelum menuliskan surat jawaban ini aku sempat browsing sebentar menyimak beberapa balasan surat yang dituliskan sahabat-sahabatmu.
Terus terang aku iri kepada mereka, sahabat-sahabatmu itu.?Iri karena mereka begitu luwes bercerita, sementara aku tak jago bercerita. Banyak orang bilang aku jago menulis, tapi tulisanku bukanlah cerita yang indah untuk didengarkan.
Tapi baiklah, karena aku tetap ingin membalas surat darimu, inilah ceritaku.
…aku ingin bercerita kepadamu tentang kenyataan hidup yang tak selamanya manis.
Berbeda dengan mereka yang menulis hal yang ‘manis-manis’ kepadamu, Takita, aku ingin bercerita kepadamu tentang kenyataan hidup yang tak selamanya manis.
Ceritaku ini tentang sebuah kehilangan.
Aku dilahirkan dan hingga berumur tujuh tahun tinggal di Klaten, Jawa Tengah.?Tapi sesudah itu hingga tamat SMP, (alm) Papa ditugaskan ke Kebumen, maka jadilah aku bersekolah dan bertumbuh di kota kecil yang berada sekitar 110 km sebelah barat Jogja itu.
Pada tahun-tahun awal di Kebumen, bersama keluarga, aku menempati sebuah rumah kontrakan yang letaknya tak jauh dari sebuah sungai besar, Lukula namanya.
Orang menyebutnya demikian karena dalam bahasa Jawa, Lukula berasal dari kata Luk dan Ula, artinya lekukan ular.
Adapun kenyataannya memang demikian. Alur airnya dari hulu yang ada di pegunungan kapur di utara Kebumen hingga Laut Selatan memiliki karakter mengular, membelok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan dan demikian seterusnya.
Karena termasuk sungai besar, Lukula memiliki arus yang berdaya dan kedalaman yang variatif.
Utamanya ketika musim hujan, meski tak sampai banjir yang semengerikan yang dialami Jakarta, Sungai Lukula terkenal memiliki arus yang sangat kuat pada masa-masa itu. Dulu bahkan aku sering lihat bagaimana arusnya mampu menggelanyutkan pohon pisang dan banyak material lainnya.
Tapi meski demikian, Sungai Lukula sangatlah berguna bagi penduduk di sekitarnya.?Pasir yang dikeruk dari dasarnya terkenal bagus untuk membangun rumah, Takita. Di areal bantarannya juga kerap ditemukan batu yang bila digosok serta diolah bisa dijadikan perhiasan dan kita kenakan.
Lalu ini yang unik dan selalu kuingat, arusnya yang stabil sering dimanfaatkan orang untuk membawa material dari ‘atas’ ke ‘bawah’ dengan memanfaatkan perahu bambu, ‘gethek’ bahasa Jawanya.
Selain musim penghujan, arus Sungai Lukula biasa saja. Airnya pun jernih. Nah, di saat-saat demikian, banyak orang yang tinggal di sekitar alirannya memanfaatkan waktu untuk mandi di sungai.
Demikian pulalah aku bersama kawan-kawan dekat sekelasku. Mereka, Jus, Handi, Feri, Bisma serta Bondan, besama-sama denganku, selama musim kemarau, kami sering menghabiskan sore sepulang sekolah dengan mandi bersama di Sungai Lukula.
Jadi, karena rumahku yang paling dekat dengan sungai, mereka, kawan-kawanku tadi menjadikannya sebagai base-camp sebelum kami berangkat mandi.
Mandi di sungai itu sejatinya mengasyikkan, Takita.
Selain bisa bercanda dengan teman-teman, aku juga bisa berlatih untuk berenang di sana. Hanya saja memang sesudah mandi, kita harus membilas tubuh dengan mandi air bersih dan sabun anti kuman yang tokcer.
Namun meski boleh dibilang ‘aman’ untuk mandi di Sungai Lukula, aku selalu ingat perkataan Pak Yusman, tetanggaku yang sejak kecil telah mengenal seluk-beluk Sungai Lukula. Begini katanya, ?Kalian boleh mandi di sungai… tapi, jangan sekali-kali kalian mandi di tempat di bawah pohon bambu yang letaknya agak ke utara itu.”
Ketenangannya itu justru karena arus yang sangat kuat ada di bawahnya, memutar-berpilin ke bawah menuju ke dasar sungai yang sangat dalam!
Aku sempat bertanya, ?Kenapa?”
Dan Pak Yusman melanjutkan penjelasannya, ?Kalian lihat, di sana tak ada arus sama sekali, tampak tenang. Ketenangannya itu justru karena arus yang sangat kuat ada di bawahnya, memutar-berpilin ke bawah menuju ke dasar sungai yang sangat dalam!”
Hiiii… akupun ngeri mendengarnya, Takita! Maka sejak saat itu, omongan Pak Yusman itu selalu kujadikan sebagai pengingat untuk tak melanggar aturannya.
* * *
Acara mandi bersama dengan teman-teman dekatku tadi berlangsung hingga tahunan. Ada banyak teman lain yang akhirnya juga ikut gabung bersama kami untuk bermain-main di Sungai Lukula.
Hingga akhirnya, ketika aku duduk di bangku kelas V sekolah dasar, ada sebuah kejadian yang membuatku berhenti untuk meneruskan kebiasaan mandi tersebut untuk selama-lamanya.
Hari itu Jumat siang.
Seperti biasa, sebelum pulang sekolah, Jus, Handi, Feri, Bisma dan Bondan sepakat untuk kami mandi di sungai bersama.
?Jam tiga ya!” Seru Jus semangat.
Aku mengangguk mengiayakan. Tapi ketika sampai di halaman depan sekolah, Widi kawanku yang lain beserta Dani, kawanku yang lainnya lagi, mereka mengajakku untuk bermain tenis meja. Kamu tau tenis meja kan, Takita? Ping-pong untuk mudah-sebutnya.
Nah, aku yang memang sedang ingin belajar main ping-pong, pun mengiyakan ajakan itu.?Maka jadilah aku membelokkan arah sepedaku ke tempat permainan ping-pong yang letaknya tak jauh dari sekolah.
Aku bermain ping-pong sampai lupa waktu.?Hingga tak terasa, waktu merambat diam-diam menuju lebih dari jam tiga sore. ?Waduh, aku harus pulang dulu, Dan! Wid! Aku ada janjian!” akupun menyudahi permainan ping-pong nan mengasyikkan itu.
Aku mengayuh sepedaku sekebat mungkin karena tahu kawan-kawanku pasti sudah menunggu di rumah, atau barangkali.. mereka telah mandi ke sungai.
Dan benar saja, ketika sampai di rumah, halaman depan rumah telah penuh dengan sepeda Jus, Handi, Fer, Bisma dan Bondan.
“Kamu disuruh ke sana kalau sudah sampai rumah, Don!” kata Mamaku menyampaikan pesan mereka.
Wah, aku langsung makan siang secepat mungkin untuk segera mandi menyusul mereka, Takita.
Bayangan untuk segera bersenang-senang di air yang bening Sungai Lukula membayang di kepala.
Setelah ganti baju dan memohon ijin Mama, aku berlari menuju ke tepian sungai.
Tapi ketika sampai di bibir sungai, secara tiba-tiba aku berpasasan dengan Jus, Handi, Feri dan Bondan menaiki bantaran sungai dengan wajah pucat.
“Don!”
“Eh! Kalian udahan?”
Mereka hanya menunduk.
“Lho, kenapa kalian diam? Jus, kenapa kamu menangis? Eh? eh.. mana si Bisma?”
Mereka tetap terdiam.
Aku mulai panik, Takita! Aku tahu ada yang tak beres dengan mereka dan.. ah kemana si Bisma?
Hingga akhirnya Bondan, kawanku yang rumahnya paling dekat denganku itu mengangkat muka ke arahku. Dengan mata yang basah dan suara terisak, ia berkata, “Bisma meninggal, Don! Ia tadi masuk ke pusaran di bawah pepohonan bambu itu”
Sejuta topan badai, Takita.
Lututku tergetar hebat! Aku tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi pada Bisma, salah satu sahabat dekatku itu. Setahuku sebelum siang itu, kata ‘meninggal’ hanyalah digunakan untuk mereka yang berusia tua, tidak seusiaku waktu itu.
Bisma, kawan dekatku meninggal, masuk ke pusaran yang dikatakan Pak Yusman sebagai tempat ‘tenang’ yang tak berarus itu.
Kami lalu terisak bersama di pinggir sungai, Takita. Dan siang itu adalah siang terakhir untukku diperbolehkan Mama untuk mandi di sungai lagi.
Bisma, kawan dekatku meninggal, masuk ke pusaran yang dikatakan Pak Yusman sebagai tempat ‘tenang’ yang tak berarus itu.
* * *
Beberapa waktu berselang setelah itu, rasa kehilanganku terhadap Bisma masih kerap menggelanyuti. Bahkan hingga kini, Takita, setiap pagi dan ketika aku ke gereja, aku selalu berdoa untuknya.
Aku percaya ia telah berpulang ke sebuah tempat yang begitu indah yang keindahannya tak pernah bisa terlukiskan dengan kata-kata yang diucapkan pujangga paling ternama sekalipun.
Saking indahnya, ia, Bisma, dan mereka saudara-saudara serta para leluhur yang telah meninggalkan kita, mereka menjelma menjadi bintang yang sinarnya berpendar-pendar pada malam hari yang pekat.
Itulah cara mereka berkomunikasi dengan kita, Takita.?Seolah mereka ingin bercerita betapa indah tempat yang mereka tinggali itu.
Jadi Takita, bolehlah coba sekali waktu, ketika malam tiba dengan cuaca yang cerah, melongoklah ke atas dan pandanglah mereka, bintang-bintang itu dan ingatlah mereka yang telah mendahului kita dan untailah sebaris doa bagi ketenangan jiwanya. Niscaya sesudahnya kamu percaya bahwa sejatinya ‘kehilangan’ hanyalah sementara, karena sesudahnya kita tahu mereka hidup dalam keabadian.
Takita yang manis,
demikianlah ceritaku. Barangkali tak seriang cerita-cerita kakak-kakak yang lainnya ya, tapi percayalah, pelajaran barusan yang kuceritakan semoga membuat hidup ini justru harus kita hadapi dengan riang selalu baik itu saat kita sedang mengalami kesukacitaan ataupun ketika kita mengalami masa-masa yang tak menyenangkan.
Peluk cium untukmu, dan salamku untuk orang-orang terdekatmu.
Rest in Peace Bisma….
saya jadi merasa muda membaca surat balasan untuk takita :)
seperti biasanya Donny selalu piawi bercerita :)
Selamat Jalan Bisma
mendadak aku teringat peristiwa beberapa hari yang lalu. dari masjid dekat rumahku, dini hari, dikabarkan ada bocah 4 tahun meninggal. usia orang tak bisa ditebak ya.
semoga Bisma menjadi cahaya terang di sana :)
cerita yang luar biasa Don.. Selamat Jalan Bisma…
Jadi ingat pengalaman jaman dulu ketika kelas 3 SD
Kehilangan sahabat sebangku
Terima kasih sudah mengingatkan
Best of the best writing…
Like This!
Eh yg lain pada nulis cerita buat takita yak? aku kok gak.gitu.. malah nulis bagusnya bercerita.. Hahahaha..
auk ah gelap :P
Ternyata kamu msh terbayang-bayang juga ya Don?
Tp ‘bayang-bayang’-mu itu tak sekalah hebatnya dengan yg kualami. Soalnya sampai detik ini pun aku tidak bisa melupakan kejadian kelam itu. Aku dalam posisi yg serba salah, bagaimana tidak pada detik2 terakhir posisi akulah yg paling dekat dengan mendiang.
Masih kuingat tatapan wajahnya dengan penuh harap agar aku bisa menyelamatkannya dari “kedung” jahanam itu. Namun apa daya, aku tak kuasa meraih gapaian tangannya…
Biarlah waktu yang akan mempersatukan kita lagi dengan Bayu “Cilik” di kehidupan abadi nanti. -In Memoriam- (*cari jejak saksi lainnya bisa nggak ya? Nugroho Panca Kartika dan kenalannya, Ipung.*)
Ihh celitanya ceyem, Ucha atut Don (manggil dengan nama).
Ucha juja dapat culat dali Takita, tapi beyum cempat balec. Huhuhu. maapkan Ucha Takita…
wadu jadi inget waktu masih SD sering mandi di kali.
aduhhh… sedih ceritanya… mengharu biru…
Tapi Bismanya ketemu kan?
Wew… pengalaman yang menyedihkan untuk seorang anak kecil.. Thanks God I not have bad experience like that when I was child.
Menarik cerita n sharenya Don… (manggil nama)