Aksi terorisme, dimanapun dan kapanpun itu haruslah dikutuk karena hal itu sangat tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Akan tetapi, tanpa bermaksud seinci pun membenarkan apa yang telah diperbuatnya, pernahkah kita tidak mengutuk pelakunya dan berdoa ?yang baik-baik? bagi keselamatan jiwa para teroris yang kebanyakan juga mati entah karena aksi bunuh diri ataupun roboh ditembus timah panas polisi?
Sekuntum begini misalnya, ?Tuhan, maafkanlah ia karena ia tak tahu apa yang ia perbuat!?
?No, mate.. No! Not even in thousand F***ckin years!? kata kawanku di sini waktu kutanya soal itu.
Kertas
Piyu, dalam lagunya Harmoni pernah menulis, ?Kita terlahir bagai selembar kertas putih..? dan aku tak bisa lebih setuju lagi daripada itu.
Tak ada seorang yang dilahirkan memiliki harapan bahwa dirinya akan menjadi seorang teroris. Namun dalam kehidupan yang terarungi, ada begitu banyak sisi yang pada akhirnya mengubah pribadi seseorang berbeda-beda termasuk salah satunya menjadi teroris.
Kehidupan lantas menorehkan tinta dan gambaran di atas kertas putih tadi dan sayangnya kertas itu tidak washable! Kita tidak bisa menghapus apa yang telah kita torehkan meski kita mungkin bisa menimpanya dengan sesuatu yang baru.
Pertobatan dan pembenahan diri melalui jalur hukum mungkin membantu tapi ia tak bisa menghapus semua yang telah tertulis.
Kematianlah jalan keluarnya meski mungkin tak juga mengubah sifat yang tidak washable itu, tapi setidaknya kehidupan tak lagi mampu membuat coretan-coretan tambahan…
Selanjutnya adalah urusan Tuhan. Bagaimana Ia akan menerima segala coret-moret di atas kertas. Akankah Ia mempertimbangkannya sebagaimana banyak dibilang dalam kitab-kitab bahwa segala sesuatu yang kita perbuat di dunia ini akan diperhitungkan oleh Tuhan?
Kalau benar-benar demikian adanya, lantas siapakah dari kita yang bisa benar-benar bersih dan lolos dalam pengadilanNya? Ada? Bisa?
Maha Pengampun
Jika kamu merasa bisa, berhentilah membaca artikel ini karena apa yang kutulis di bawah jadi tak penting lagi.?Tapi jika kamu merasa belum tentu bisa, let?s gimme five karena aku bersama dengan kalian.
Seperti halnya Saint Gertrudes pernah berkata, ?Saya adalah seorang pendosa besar!? maka demikianlah kita, pendosa yang tanpa ke-maha pengampunan-nya tak kan bisa masuk ke surga yang kita kehendaki.
Beruntung Tuhan itu Maha Ampun!?Karena meski Ia perhitungan, ia memiliki sifat yang memiliki tingkat tertinggi, maha, dalam hal mengampuni.
Bisa jadi, ketika kita mati nanti, karena Ia adalah Maha Ampun, alih-alih memperhitungkan dosa kita, Ia malah menyambut kita dalam gerbangNya lalu mengajak kita masuk seperti seorang Ayah menyambut anaknya yang pulang ke kampung untuk mudik merayakan Lebaran.
Lalu, kalau kitapun bisa merasakan keberuntungan itu, kenapa kita tidak saling mendoakan saja sebagai sesama manusia untuk bisa sama-sama mendapatkan pengampunan dariNya?
Tak peduli apapun warna kulitnya, tak peduli apapun agamanya, tak peduli apapun kesalahannya kepada kita termasuk? para teroris itu?
Karena setiap orang berhak membayangkan Tuhan, maka akupun dalam hal ini membayangkan begini?
Dengan kita berdoa bagi para teroris supaya mereka diampuni, bisa jadi Tuhan lalu jatuh iba lantas Ia tak hanya mengampuni dosa para teroris tapi juga mencegah segala macam bentuk teroris yang ada di dunia ini terjadi.
Enak kan membayangkan Tuhan yang mudah jatuh iba seperti itu?
* * *
Sebelum menutup tulisan ini, aku hendak menulis ulang cerita yang kudapat dari sebuah buku tentang seorang nenek, anak kecil yang hidupnya berkekurangan dan hadiah Natal.
Ada seorang nenek sedang berbelanja hadiah Natal untuk cucu dan keluarganya. Di balik kaca, seorang anak tuna wisma yang hidupnya berkekurangan memandang si Nenek dengan takjub melihat barang belanjaan tadi.
Si Nenek jatuh iba, ia lantas mengundang si anak masuk ke toko dan meminta si anak untuk memilih apa saja yang ia ingin beli. Singkat cerita, si anak tunawisma tadi lalu membeli kado yang ia inginkan.
Ketika hendak berpisah, si anak bertanya, ?Apakah kamu Tuhan sehingga mau memberikan hadiah ini untukku?? (aku cukup tertarik kenapa ia tak bertanya ?Apakah kamu Sinterklas? mengingat background cerita ini adalah di New York, kota besar di negara sekular yang tentu lebih dekat dengan tradisi Sinterklas ketimbang Yesus).
Si Nenek menggeleng lalu menjawab, ?Aku anak Tuhan.?
Si anak membalas, ?Oh, pantas dan memang benar adanya, kamu anak Tuhan karena aku bisa merasakan relasi antara Tuhan denganmu!?
Dalam perspektif yang sama tapi di persoalan yang berbeda, tentu kita bisa bersikap memaafkan sekaligus mendoakan supaya para aktor teroris itu diampuni segala dosanya untuk memperlihatkan pada dunia bahwa kita adalah anak terang yang memiliki Tuhan yang besar.. Tuhan yang Maha Pengampun.
Tak mudah memang, akupun masih terseok-seok? Tapi setiap aku mengeraskan hati dan terbalut emosi untuk tak mendoakan mereka, aku selalu berpikir kalau aku saja berat lantas seberapa ringan Tuhan mengampuni dosa-dosaku yang tak ringan ini?
Selamat sore!
0 Komentar