Maafken Saja!

6 Jan 2008 | Cetusan

Wah, berita sakitnya Pak Harto ternyata ikut membuat Tunggonono, penjaga malam saya yang nyentrik itu, megar mingkup [1] naluri politiknya.
Mantan preman di desanya yang tahun ini, katanya, akan segera menikah itu bolehnya berwacana ngungkuli para menteri, mantan menteri, artis, mantan artis, pejabat dan mantan pejabat yang hanya mesam-mesem, no comment atau kalopun ada comment ya cuma irit banget ketika ditanyai wartawan mengenai kondisi Pak Harto sekeluarnya dari RSPP Jakarta.

“Wah. Lha kok kayaknya semangkin byar-pet ya kondisinya Pak Harto, padahal belum sempat diadili sampai tuntas lho kasusnya ?!” Tunggonono membuka pembicaraan malam tadi setelah melihat berita terkini tentang kondisi kesehatan Pak Harto yang memang mengkhawatirkan itu.

“Hush! Jangan gitu tho Nggon! Komentarmu itu ndak enak didengar! Wong ada orang sakit banget kok malah kamu byar-pet kan gitu. Padakan lampu pho ?” jawab saya sambil juga ikut melototi televisi menanti berita-berita selanjutnya tentang beliau yang sedang santer di update setiap waktu oleh beberapa stasiun televisi di tanah air.

“Lho! Gimana tho Mas? Lha ya memang bener tho kasusnya belum selesai… ehh malah sudah byar-pet gitu….” lanjutnya singkat sambil nyengkurengkan [2] kedua alis matanya ke tengah.

“Byar-pet.. byar-pet, gundulmu!.. Mbok pake istilah lain yang lebih manusiawi gitu lho!”

“Wah! Sampeyan kok malah terjebak ke byar pet nya tho Mas? Kok bukan ke intinya persoalan. Kok tumben ndak seperti biasanya. Hehehehhe…”

“Ndak seperti biasanya gimana maksudmu, Nggon?” saya memicingkan mata, mau tak mau, meski dalam ranah obrolan ringan begini saya juga masih sering terpancing jadi penasaran …

“Hehehe, ya gitu deh.. ya pokoknya ndak kayak biasanya aja. Wes ah kembali ke topik… Piye, moso sampeyan nggak setuju tho dengan pendapat saya, Mas?”
Lha, bakat pemaksaan khas preman ndeso nya Tunggonono sudah muncul di permukaan seperti yang kuduga sebelumnya.

“Heh, pendapatmu yang mana yang harus saya setujoni itu, Nggon ?”

“Lha ya pendapat saya supaya Pak Harto itu secepatnya diproses hukum sampai tuntas gitu lho!” Tunggono semakin meledak-ledak sepertinya, terlihat dari terlalu cepatnya kesimpulan itu keluar dari mulutnya yang legam karena nikotin.

“Hehehe… kamu kok pake emosi tho, Nggon? Kamu itu ya ndak bisa gitu juga lho!
Kita itu harus memaafken semua kesalahan yang mungkin pernah dilakukan Pak Harto dan melanjutkan cita-cita baiknya untuk negara kita ini.
Mikul dhuwur mendhem jero gitu lho!”

“Nyakkk! Ya ndak bisa juga tho Mas!
Lalu gimana itu kasus tuduhan korupsi yang merajalela buanyaknya trus kasus pelanggaran HAM selama beliau menjabat terutama korban pembersihan gestapu yang dulu-dulu itu? Kok Mas Don jadi lembek gitu tho. Apa sudah pulang ke tengah setelah pelesir beberapa saat ke dunia kiri?” Tunggonono terus meringsek dan menantang argumen yang lebih terbuka lagi dengan saya tampaknya.

“Halah, kamu ini! Kanan, kiri, tengah, kanan, kiri! Itu ranah ideologi gak usah digagas lagi! Ini cuma demi! Ini demi! Demi roso kemanusiaanku. Aku mau katakan bahwa roso kemanusiaan itu bagaimanapun juga gak boleh kalah hanya karena urusan begitu itu!” Saya kok ya jadi tegang juga bolehnya menjawab pertanyaan dan memberi pernyataan pada si Tunggonono yang jelas sebenarnya bukan pada level serius ini.

Tunggonono lalu terdengar tertawa cekikan barang sebentar. Wah saya jadi makin deg-degan menanti statement dia selanjutnya.
“Udah! Begini saja! Anggaplah Pak Harto mangkat, trus dimaafkan semua kesalahannya yang sekarang banyak diperbincangkan itu. Lalu apa ya uang yang trilyunan rupiah yang denger-denger hilang ndak tentu rimba selama 32 tahun masa orde baru itu apa ya mak bedhundhuk [3] jadi ketemu dan masuk kantong negara lagi? Apa ya keluarga yang kerabatnya ikut ditangkapi, diasingkan dan dilenyapkan gara-gara dituduh melakukan gestapu dulu itu ya bisa mengembalikan sosok kerabat mereka semua begitu saja?”
Dhuarrr! Bener tho, semakin dahsyat dia….

“Hehehehe… lha iya, kamu itu ada benernya juga, Nggon! Samsoyo [4] pinter dan kritis, Kamu! Tapi… tapi apa ya semua itu dilakukan semua oleh Pak Harto tho..? Apa ya sudah terbukti benar? Lha wong diadili secara jelas dan selesai saja belum kok kamu sudah menuduh ini itu! Jadi orang itu yang sumeleh… diperhatikan kasus per kasus jangan hantam kromo, tho! Semua yang kamu omongkan itu tadi kan baru sekedar wacana! Pokoknya sebelum disahkan hukum ya tetap wacana… wacana… wacana!”

Tunggonono manggut-manggut mendengarkan penjelasan saya.
Ia terdiam sejenak meski saya yakin nggak lama lagi ia akan meneruskan argumennya yang semoga semakin tidak wagu.

“Hmmmm, tapi… tapi ini kan mau diangkat lagi tho kasusnya, Mas?” dari nada suaranya yang melirih, Tunggonono tampak mulai gamang kehilangan alur debat yang sudah disusunnya secara gemilang sejak awal sebenarnya.

“Hehe, diangkat ya diangkat tapi ya apa dilanjutkan sampai bener-bener tuntas? Wallahualam tho?”

“Hmmm, memang untuk dituntaskan mesti gimana tho, Mas? Bukannya itu bapak-bapak pejabat yang di tipi itu ya sudah terlihat yak-yako [5] dalam memberikan statement bilang bahwa akan segera mengadili Pak Harto?” Tunggonono menggaruk-garuk kepalanya.

“Yaaaaa.. menuntaskan itu kan banyak jalan, Nggon!
Misalnya, kemarin kamu lihat drama di Pakistan kemarin yang karena kerasnya hidup dan dendam serta intrik yang sudah turun temurun, Mbak Benazir Bhutto yang ayu dan karismatik itu di-dor begitu saja!
Itu juga penuntasan namanya meski sekarang malah mereka mendapatkan masalah baru yang lebih besar, bener ra?”

“Iya, Mas! Trus? Kaitannya dengan kasusnya Pak Harto?” Wah Tunggonono mulai mengejar-ngejar lagi…

“Hmmm.. gini, untuk special case kayak Pak Harto ini miturutku jalan keluarnya hanya satu, memaafken!”

“Lha Mas Don itu gak maju-maju! Dari tadi kok maafken terus maafkan terusss. Mbok diurai, maksudkan memaafken itu gimana ?”

“Gini! Kenapa kok aku bilang maafken, karena yo aku itu sebenarnya khawatir proses hukum itu nggak akan pernah bisa diselesaikan.
Nggak mudah lho Nggon untuk menyelesaikan semuanya masiyo [6] tempo hari di majalah itu saya baca ada orang-orang bule asing yang mau mbantu pemerintah kita kalau mau memeriksa secara serius.
Bukti semangkin susah dicari, saksi-saksi ya semangkin lama juga semangkin terkikis habis karena faktor usia.
Kalaupun yang sekarang ada ya pada susah untuk bersaksi karena selain ada dan banyak yang beralasan lupa, bersaksi itu sendiri juga sesuatu yang berat. Disumpah jhe!
Jadi ketimbang gelar sana, gelar sini, angkat sana, angkat sini, mbok wes dimaafken saja lalu di-peti-es-kan! Beres tho!?”

“Oalah! Jadi itu tho alasannya Mas Don usul untuk memaafken itu tadi?” Tunggonono yang semula serius sekarang tampak tersenyum, cukup sinis.

Tampaknya, dari gelagatnya, ia akan kembali menembakkan mitraliur ke arahku lagi.

“Ho oh! Jadi kan di satu sisi kita sebagai bangsa yang berbudaya dan mempertahankan ketimuran ini akan semakin terkenal pula sebagai bangsa pemaaf sejati, di sisi lain kita juga hemat biaya pengadilan dan investigasi kasus sehingga uangnya bisa untuk dipakai hal-hal lain yang lebih urgen misalnya untuk nyedot air Bengawan Solo yang mbludhak di mana-mana itu.
Bagi Pak Harto sendiri, solusi memaafken ini juga akan bikin dia semangkin lega dalam melanjutkan sisa hidupnya. Rak sama enaknya tho kalau gitu, Nggon?”

“Hihihihi…. Sama penaknya ya sama penaknya Mas, tapi ya tetep aja ada yang lebih nggak penak ketimbang lainnya yang sudah enak.
Lagipula kalau begitu pemaafanmu malah gak bener-bener murni dan ikhlas tho Mas kalau hidden agenda dibalik pemaafanmu itu seperti itu ?”

Nah rak tenan! Mitraliyurnya begitu tajem menghantam wajah dan menyekat pita di leher untuk bersuara.
Saya pilih untuk diam saja ah karena saya melihat simpul lingkaran telah terlihat akan mbulet [7] kesana-kemari tak terselesaikan.
Berharap saja di topik bahasan yang lainnya saya bisa membalas tanpa maaf tembakan mitraliyurnya si Tunggonono edan ini.
Ya, tanpa maaf apalagi memaafken … Oalah!

  1. megar-mingkup: kembang-kempis
  2. nyengkureng: mengernyitkan
  3. mak bedhundhuk: tiba-tiba, sekonyong-konyong
  4. samsoyo: semakin
  5. sumeleh: sabar
  6. yak-yako: meyakinkan
  7. masiyo: meskipun
  8. mbulet: semakin kompleks
Sebarluaskan!

8 Komentar

  1. Aku sedang berpikir : ini cerita yang sungguh terjadi atau hasil imajinasi dari sang penulis? Karena, mmmmm, tokoh dari Tunggonono terlihat cerdas seperti sang penulis yang mahir memainkan kata-kata.

    Salahkah? Maaf :D

    Balas
  2. Dengan ini saya maafken daripada Donny atas tulisannya ini… :-P

    Balas
  3. Cie cie cie… DM dan Qinoy saling tindih-menindih bolehnya berkomentar ahuhuhu… jadian! jadian! jadian! :))

    Balas
  4. Lambemu, Su! :-w

    Balas
  5. mati ga mati diadilin ga diadilin kayanya ga ngaruh sama hidup gw yg di jakarta deh…apalagi hidup lu yg di pedalaman jawir sana ya….:-)

    Balas
  6. *menghitung*.. wah ada Windy, Qq dan DM, THREESOME DONG !!!

    Balas
  7. Lambemu kuwi sing trisam, Su! =))

    Balas
  8. Perlu tukang shooting ra kui sing meh trisam? :))

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.