Lutut

19 Okt 2015 | Cetusan

Seorang anak remaja di Philipina dilaporkan marah-marah karena tak dibelikan iPhone oleh ibunya. Mungkin maksudnya untuk menebus rasa salah, sang ibu pun berlutut memohon ampun.

Kejadian itu direkam kamera dan tersebar cukup luas di ranah social media. Mungkin kalian sudah menyaksikannya? Kalau belum carilah di sini. Aku enggan untuk menayangkannya secara langsung, terlalu memilukan!

Aku setuju dengan penilaian khalayak terhadap si anak. Bagiku ia biadab karena memperlakukan orang yang melahirkannya serendah itu. Tapi bagiku tanpa mengurangi rasa hormatku padanya, si Ibu juga ikut urun salah bahkan memiliki andil terbesar dalam rangka terjadinya peristiwa nan memilukan itu.

Kesalahannya ada dua.
Pertama, ia tak mampu mendidik anaknya untuk memaklumi keterbatasan orang tua.

Kedua, ia memperburuk poin pertama dengan menunjukkan kepada si anak bahwa dirinya pantas untuk berlutut dan minta ampun.

Setiap orang tua harus menyadarkan pada anak bahwatak semua hal yang ada di dunia ini bisa dan perlu dimiliki serta dibeli!

Memang benar, tugas orang tua adalah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga termasuk keperluan si anak. Tapi sayang, atas nama ?naluri orang tua? atau ?namanya juga anak sendiri, masa nggak kita belikan sih?? kita terkadang lupa memilah mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan.

Memiliki celana dalam itu kebutuhan, tapi hasrat untuk memiliki celana dalam ber-merk A, B atau C itu keinginan.

Memiliki telepon genggam, bisa jadi kebutuhan. Tapi keharusan untuk memiliki merk handphone tertentu adalah keinginan kalau tak disadari asas-asas kebutuhan.

Persoalan klasiknya, berdasarkan pengalaman pribadi, kita terbiasa memberikan apapun keinginan si anak asal harganya murah lalu ketika tak sadar keinginan mereka mulai beranjak banyak dan mahal, kita mendadak merasa harus membuat keputusan frontal menolak kemauannya padahal selama itu si anak sudah terlanjur berpikir bahwa selama ini kita selalu memberikan apa yang mereka minta.

Untuk itu, ada baiknya kita berusaha untuk melatih mereka (dan diri sendiri) berpikir bahwa meskipun harga barang yang ia maui murah, kita tak bisa membeli lantas memberikannya begitu saja. Harus ada alasan yang kuat kenapa kita harus membeli!

Memang ini perkara yang tak mudah apalagi menyangkut dua hal tadi ?naluri orang tua? atau ?namanya juga anak sendiri, masa nggak kita belikan sih??

Tapi camkan ini dalam-dalam?
Ketika kita ingin membelikan segala sesuatu yang diinginkan anak, tak ubahnya hal itu seperti kita yang bernafsu ingin dianggap sebagai orang tua terbaik di seluruh dunia dengan cara yang salah!

Lalu kembali ke soal ibu-ibu yang berlutut itu, akankah ia telah berhasil mendidik anaknya dengan baik? Kalau sudah, fotonya sedang berlutut di depan anak tentu tak?kan mem-viral seperti sekarang!

Menyangkut poin yang kedua, hal yang paling fundamental yang menjadi kesalahan si ibu adalah dengan lutut yang ditekuk itu ia seolah melakukan pertunjukan bahwa hingga serendah itu ia layak dipersalahkan oleh anaknya!

blog_ortu

?Tapi bisa jadi si Ibu memang sudah terlanjur berjanji untuk membelikan iPhone Don??
?Bisa jadi! Lalu sampai tenggat waktu yang diberikan ia tidak bisa melunasi janji itu? Begitu??

?Benar!?
Kalaupun benar, harusnya ia tak perlu sampai berlutut. Permintaan maaf itu penting dan itu bagian dari pelajaran bagi si anak bahwa ketika kita menciderai janji, kita harus minta maaf. Tapi berlutut di depan si anak itu adalah merendahkan derajat sekaligus membuka peluang bagi si anak untuk menyandera rasa bersalah si Ibu di masa yang akan datang.

Bagaimana jika suatu saat si anak iseng minta kawin atau mogok sekolah?

Akankah si ibu berlutut lagi karena ia tidak ingin meluluskan permintaannya?

?Ya beda lah, Don! Itu kan perkara besar! Mereka nggak akan segoblok itu…??Hehehe, dalamnya laut kita bisa tahu, dalamnya hati si anak dan ibu, kalian mau sok tahu?

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Tidak bisa dibayangkan jika terjadi pada saya.

    Balas
  2. Aku seperti menemukan sedikit diriku di sini, yang kadang (atau sering?) mudah mengabulkan permintaan anak. Tapi aku pun cukup keras agar anak tidak kurang ajar.

    Eniwei, tulisanmu sejak dulu selalu “gigit” Don! Tak berkurang sedikit pun.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.