Lumrahkah kita?

4 Des 2014 | Cetusan

blog_lumrah

Kadang aku membayangkan kalau tiba-tiba Yesus datang padaku dalam wujud yang berbeda dari yang selama ini dilukis-bayangkan orang-orang. Barangkali aku akan menganggapnya sebagai orang gila.

Kalau lantas dia membuat mukjizat di hadapanku untuk menyatakan ke-ilahi-anNya, pun aku akan menganggapNya sebagai orang gila yang pandai bermain sulap.

Lumrah?

***

Beberapa hari yang lalu beredar video seperti di bawah ini.

Seseorang berdandan seperti layaknya Yesus kerap digambarkan lalu melakukan ?mukjizat-mukjizat? seperti yang sering diceritakan dalam Injil seperti berjalan di atas air, mengubah air jadi anggur, memulihkan orang lumpuh dan melipatkangandakan uang setelah seseorang menyumbang ke dalam sebuah kotak.

Tentu saja semua itu dilakukan dengan menggunakan alat bantu yang tersembunyi.

Yang menarik adalah reaksi orang-orang yang ditemui ?yesus?.

Beberapa saat awal, mereka tampak kaget, takjub yang ditandakan dengan bola mata yang membesar tanpa kedip dan dagu yang jatuh ke bawah seolah bicara ?Oh my god? Are you f***kin kidding me??

Tapi sesaat kemudian, perubahan terjadi.
Mereka tak lagi kaget tapi tertawa meski ada pula yang mencibir dan sinis. Mungkin mereka menertawakan diri sendiri karena merasa ?dibohongi?, mungkin ada pula yang merasa kesal karena bisa ?dibohongi?.

Tapi pertanyaanku, bagaimana kalau ternyata mereka bertemu dengan Yesus yang sebenarnya, akankah sama reaksinya atau beda?

Kalau sama, lumrahkah?

***

Mari kita meluncur ke dua ribu tahun silam, melongok pada apa yang terekam dalam benak tentang kejadian-kejadian yang terjadi menurut Injil.

Anggaplah Yesus benar-benar ada meski aku tak memaksamu untuk meyakininya demikian. Anggaplah Ia benar-benar melakukan mukjizat, berkarya dan mati di kayu salib untukku, mu dan semua, anggaplah mukjizat yang Ia lakukan pun tak sekonyol yang dilakukan yesus-yesusan jaman sekarang di video itu yang menggunakan alat bantu, maka bagaimana reaksi orang-orang saat itu terhadapNya?

Bagaimana reaksi murid-murid yang selalu bersamaNya dalam tiga setengah tahun terakhir masa hidupNya di dunia?

Pada kenyataannya,
bahkan Thomas, muridNya tak percaya bahwa Sang Guru telah mati tapi bangkit lagi hingga ia mencucukkan jari ke lubang luka paku di tangan dan mencucukkan tangan ke lubang luka tombak di lambung Yesus…

Bahkan Petrus tak percaya bahwa hanya dengan bermodal percaya ia pun sebenarnya bisa berjalan di atas air seperti gurunya?

Bahkan Yudas Iskariyot, orang yang dipercayaNya lebih mudah diperdaya oleh tiga puluh keping uang perak yang ia terima untuk mengkhianatiNya…

***

Bahagia itu sederhana yaitu ketika kita mampu percaya meski tanpa harus melihatnya. Tapi pada prakteknya memang tak pernah bisa begitu sederhana…

Ketidakpercayaan kita adalah penanda ketidakberdayaan kita lalu kita menutupinya lewat cibir, sinis, tawa, pengkhiatan dan penolakan.

Lumrahkah kita?
Mea culpa, mea maxima culpa…

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.