Ketika masih tinggal di Jogja dan bersama kawan-kawan dipercaya duduk di tampuk pimpinan sebuah perusahaan, aku selalu menyiapkan pertanyaan andalan bagi para calon karyawan yang melamar kerja dan ku-interview. Pertanyaan itu adalah, “Menurutmu loyalitas itu apa?”
Dari sekian puluh kali kesempatan meng-interview selama delapan tahun, aku tak pernah sekalipun mendapat jawaban yang tak menyenangkan dari pertanyaan tersebut. Tapi itu bukan akhir dari segalanya, setelah manggut-manggut menimpali, aku melanjutkan dengan pertanyaan kedua, “Begini… kalau tiba-tiba jam 1 malam ada kebakaran di kantor dan kamu diminta datang untuk bantu, kamu mau datang atau tidak? Atau pura-pura sudah tidur dan tak mau angkat telepon?”
Nah, dari sini biasanya jawabannya mulai beragam. Ada yang masih mencoba menjawab dengan manis, “Mau, Pak! Saya kan harus siap setiap saat untuk kantor yang menggaji saya!” Untuk yang menjawab seperti itu, biasanya aku lantas memutuskan menyudahi sesinya dan melupakan bahwa hari itu aku pernah bertemu dengan seorang penjilat.
Ada yang menjawab, “Wah, nggak Pak! Saya nggak mau!” Untuk yang satu itu, nasibnya sama. Meski lebih ‘gentle’ tapi itu tak cukup.
“Loyal? Tergantung, Pak!”
Hari-hari ini, utamanya setelah aku mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja selama 2.7 tahun terakhir karena mendapatkan pekerjaan di tempat baru, seseorang seolah seperti mengingatkanku dan bertanya kepadaku, “Apakah loyalitas itu menurutmu, Don?”
Ada sebagian orang menganggap loyalitas itu layaknya tentara yang rela mati di medan laga demi tanah air dan rajanya. Orang seperti ini adalah orang yang dicari oleh begitu banyak perusahaan dimanapun dan sampai kapanpun; permasalahannya, si tentara itu perlu mati duluan untuk mengetahui kadar loyalitasnya kan?
Loyalitas adalah kesia-siaan, maka tak perlu ada! Demikian kata sebagian yang lainnya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang tak akan dicari perusahaan dimanapun dan sampai kapanpun. Persoalannya, orang-orang seperti ini biasanya tak berani jujur membawa pemikirannya; mereka adalah pengecut yang sangat loyal pada kemunafikan dan kebohongannya sendiri!
Bagiku, loyalitas itu ada, tapi ia bukan sesuatu yang ajeg dan instan.
Loyalitas bukanlah hasil akhir, ia adalah proses yang bisa disimpulkan ketika semuanya berakhir. Layaknya balon udara, suatu saat ia menggelembung ketika ditiup, statis ketika tak lagi ditiup tapi dimatikan jalan udara di lehernya, dan suatu kali ia mengempis ketika kita tak lagi meniup dan membiarkan udara dari dalamnya lolos lepas.
Loyalitas dibangun dalam saat ke saat. Seorang kawan dekatku melukiskannya dengan sangat apik, “Loyalitas adalah sesuatu yang terbit dalam pemikiran pada setiap kamu membuka mata di pagi hari; Kamu masih butuh uang? Anak-istrimu perlu makan? Kalau begitu, ayo bekerja!” Tak ada yang tak lebih semu dan tak ada yang tak lebih emas daripada itu. Atau dalam bahasa yang paling ringkas, yang pernah kutemui keluar dari seorang yang saat itu adalah calon karyawan yang sekarang duduk di kursi yang dulu kududuki di Jogja sana, “Loyal? Tergantung, Pak!”
Loyalitas itu pada spirit atau gagasan
Selama spiritnya masih sama, selama itu pula aku loyal
Sayangnya, seringkali organisasi mudah puas diri dan meninggalkan spirit awal pendiriannya
Loyal itu intensi, tak pernah kosong. Seperti kesadaran, tidak ada kesadaran yang nol. Jadi kalau ngomong loyalitas, pasti ada pertanyaan, loyal terhadap apa? Loyal akan apa? Karena pertanyaan inilah, ada seorang teman wartawan mengatakan, “Aku loyal terhadap profesi (wartawan), tapi tidak pada institusi”. Artinya si kawan ini bisa bekerja dimanapun selama tetap sebagai wartawan. Hal ini berarti, ada juga orang yang memang loyal terhadap institusi. Itu variasinya.
Loyal di era pra sejarah, jaman berburu dan berpindah, jaman agraris, era industri, era informasi dan terakhir era kreatif, itu pasi juga berbeda. Dulu kantor kita ada di gedung tempat kita bekerja, sekarang kantor kita sudah bergeser ke laptop dan gadget, dan terakhir kantor kita ada di diri kita.
Loyalitas itu pilihan, mengada dalam ruang dan waktu. Bisa berubah di sebuah tempat dan pada perbedaan waktu
“saya siap ke kantor jam 1 pagi utk menyelamatkan semua file sebelum terbakar habis pak. tapi tergantung juga sih, kantor siap menolong saya ketika kecelakaan kerja, istri melahirkan, atau orangtua sakit di kampung gak?”
kalo jawabannya kayak gitu, aku diterima jadi karyawan gak Don?
saya biasanya jadi silent reader blognya mas Donny, tapi sekarang gatel mau komen :).
saya sendiri berpendapat, “there’s no such things called Loyalty”. yang ada hanya komitmen. jika bicara komitmen, kemudian hubungan antara pengusaha dan karyawan adalah 2 arah, berbeda dengan loyalitas yg biasanya diidentikkan dengan sisi karyawan saja (satu arah).
bagus pak, perenungannya.
oh… pindah kerja lagi to, Don? :)
sebagai pekerja serabutan yang tidak punya kantor, aku cuma bisa bilang, loyalitas itu berarti loyal pada profesionalisme. maksudnya, ya kerjakan tugasmu sebaik-baiknya sesuai dengan peranmu. kalau di tempat yg lama kita tidak bisa berkembang, atau kita melihat di tempat baru kita justru lebih maju, apa salahnya berpindah tempat?
ya… loyalitas itu tergantung Pak… itu yang bener jawabannya.. setuju banget sama yang ini…
Tergantung apa…? ya apa saja yang bisa membuat kita bergerak dan bekerja.
ada yg menarik kl bicara loyalitas dalam perspektif manajemen SDM. para bos-bos ternyata lebih suka bawahan/staff yg ga terlalu pinter, tp loyal. alasannya, karyawan loyal dan manut, bisa dikasi tahu/diajari apa aja, ora ngeyelan. kl pinter, biasanya ngeyelan dan susah dikasi tau. perusahaan udah invest mahal2 utk training gitu2, eh si bawahan pinter ini ‘mencuthat’. perusahaan jadi rugi kan? hehehe
secara umum sih, loyalitas tergantung kompasnya apa sih. kl yg jadi sumber loyalitas seperti materi, yaaa….mmmm….
tapi kl yg jadi panduan loyalitas adl value2 spt kemanusiaan, keadilan, ya silakan jd hero. *eh lho*
Loyalitas pada satu kantor itu salah.
Menurutku loyal memang harus, tapi pada profesi yang kita sandang.
Wah selamat ya Don. Semoga sukses di tempat kerja baru…
loyalitas itu tergantung
loyal pada kantor dan mengorbankan anak-istri?
loyal pada istri/anak dan mengorbankan kantor?
loyal pada cinta dan mengorbankan orang tua dan agama?
tergantung sekali, dan jawabannya case by case
but, soal kebakaran itu, hampir pasti kalau suamiku yang dapat telepon, dia sebisa mungkin berangkat pergi ke kantor. Sama spt dia berangkat ke kantor, persis dua tahun yang lalu sehari sesudah gempa Tohoku, dengan cara sebisanya (bensin di mobil tinggal sedikit) untuk bisa sampai di kantornya. Lalu kutanya, “Pasti sedikit pegawai yg kerja kan?”. Jawabnya, “Cuma ada 1 pegawai yg tidak masuk, yang lain semua bahkan sudah di kantor wkt aku sampai”.
Jepang oh Jepang… (dan aku tidak menyalahkan dia yang pergi ke kantor meninggalkanku di rumah, karena aku tahu rumah bisa aku handle, perfect! hehe)
Kebakaran jam 1 malam di kantor? Selamatkan file? Folder cute on kushadi yang bakal jadi prioritas pertama :D
loyal aku timbul saat perusahaan juga menghormati kehidupan pribadi. kalau gak ya kerja itu bagaikan 7-3. masuk jam 7 pulang jam 3.
Pertanyaan tentang loyalitas sangat menarik bagi seorang PNS atau lebih kerennya abdi negara. Tapi seperti apa bentuk loyalitas itu, mungkin benar, tergantung. Tapi bagi saya, loyal yang diperlukan adalah dalam tahap kewajaran saja.