Love Jawa and You

15 Jan 2008 | Cetusan

Beberapa malam yang lalu, saya dikejutkan dengan kedatangan Tunggonono, penjaga malam saya, dalam “bentuk” yang agak sedikit tidak seperti biasanya.
Sepatunya sneakers baru warna putih, jeans hitam, kaos hijau pupus berdesign ala distro, serta hooded sweatshirt warna dark blue lengkap dengan jumper-nya.
Eh iya, satu lagi… rambutnya ber-jelly yang meski sudah lepek tergilas helm yang dikenakan tapi saya sudah bisa membaca niatnya yang ingin membuat rambutnya terlihat jabrik, nyerodhok ke atas.

“Wah, mbois[1] tenan kamu Nggon! Njanur gunung[2] jhe?”
“Heheheh Mas Don, jadi malu! Ini tadi dari mall, Mas, ngeliat artis-artis Jakarta pada pentas…” jawab Tunggonono sambil mencari kursi untuk bersama saya menonton televisi 14 inch yang dulu kubeli khusus untuk menemaninya berjaga malam.

“Weh. Kamu yang ngeliat artis tapi malah artisnya yang kayaknya kalah dandannya dari kamu lho ?”

“Ah! Loe nggak gaul dech! Secara, Mas… secara kita kan anak gaul pengen keliatan up-to-date juga dong!”
Mak jenggirat!
Saya sangat terkejut dengan cara jawabnya yang betul-betul lain dari kebiasaan putra Sleman ini, setidaknya selama bekerja untuk saya.

“Wealahhhhh kamu itu abis minum apa jhe kok sudah kenal istilah loe, SECARA, dech segala macem?”

“Lha emang ndak bole tho Mas…?”

“Hehehe ya piye ya…” Saya tersenyum sambil terus memperhatikan televisi, tak menghiraukan bagaimana reaksi dirinya.

“Kamu itu kadang aneh, Mas Don. Jadi bikin saya serba salah. Dulu saya datang pake bahasa jawa mlipis[3] sama njenengan dimarahi katanya kayak di kraton saja.
Lha sekarang saya pake bahasa gaul juga di-elek-ke[4]. Njuk piye jal?”

“Hehehehe… penyesuaian Nggon, penyesuaian!”

“Penyesuaian piye, Mas?”

“Lha iya kamu itu lho…. sekarang tuh apa ya pantes kamu yang lidahnya aja lidah Slemanan, lidah Condongcaturan kok mau ngomong Loe Gue khas Mbetawi itu apa ya pantes? Apa kamu nggak malu dibilang
Jawir Masuk Kota cuma gara-gara logat medhokmu yang memaksakan diri berujar Loe Gue gitu?”

“Halah! Lha wong ya panjenengan lidah Klatenan saja kok, Mas!” Tunggonono membalas saya secepat kilat. Urat-urat dilehernya mulai tampak sekelingking besarnya, pertanda bakat kepremanannya tak jauh lagi tampak.

Melihat arah pembicaraan yang mulai memanas, saya pun berpaling dari televisi dan sekarang berhadapan dengannya.
“Lho justru! Justru karena aku lidah Klatenan ya aku pergunakan Bahasa Indonesia yang biasa dan baku saja. Jadi kalaupun terdengar aksen Klaten
saya ya ndak papa. Klaten klaten gini kan tetap Indonesia!”

Tunggonono terdiam. Dari matanya bisa saya lihat dia ingin bicara tapi karena keterbatasan ide maka ia pun memilih terdiam.

“Coba saya tanya, Nggon. Kenapa tho kamu tadi gitu?”

“Gitu gimana, Mas Don?”

“Ya gitu tadi. Ujug-ujug[5] kamu pake istilah loe, secara, dech ?”

“Heheheh ya variasi, biar gaul dikit, Mas!”

“Halah. Gaul itu apa jhe, Nggon?”

“Gaul itu … hmmm.. apa ya… gaul itu ya pokoknya nggak ndeso dan katro, Mas!”

“Halah! Jadi ndeso kok takut?
Saya ndeso! Dibandingkan kamu mungkin kalau dilihat dari tempat asalnya ndesonan aku lha wong aku Klaten dan kamu Sleman Jogja! Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan kepada mereka bahwa ndeso dan udik sekaligus katro itu bukan berarti gagal bolehnya saya menjadi manusia yang berbudaya dan maju kok!”

“Kayak yang dingendhikake[6] Mas Tukul Arwana itu nggih?”

“Lha iya! Jadi nggak perlu tho kita itu ber Loe Gue supaya dibilang gaul. Terlebih kita ini orang Jawa harus nguri-uri kabudayan[7] Jawa salah satunya dengan tetap memperlihatkan ke-jawa-an kita sekalipun dalam berbahasa!”

“Apa nggak dianggep Primordialisme, Mas?”

“We lhaaa.. dapat bahasa baru darimana kamu. Ya nggak, kok Primordialisme dibawa-bawa. Saya kan tidak sedang mengunggul-unggulkan Jawa, tapi saya sedang menjaga supaya kejawaan saya itu tetap seimbang dari pengaruh-pengaruh budaya lainnya! Kalopun saya dicap primordial ya ndak papa. Saya akan lebih bangga jadi seorang primordial ketimbang orang yang malah mencintai daerah dan suku lain yang bukan jadi identitas nasional. Njajal saya tanya kok kamu tiba-tiba bisa berbicara soal primordial. Primordial itu apa jhe?”

“Hehehe… ndak tahu lha wong saya juga cuma dapet dari tivi jhe Mas!”

“Nah! Kuwi! Tivi kuwi lho yang juga bisa disebut sebagai pangkal perkara!”

“Maksudnya gimana Mas kok sekarang menyalahkan tivi segala?” Tunggonono sudah semangkin preman bolehnya mengucapkan ini.

“Lha sekarang aku mau tanya, siapa yang ngajari kamu ngomong Loe Gue tadi?”

“Ya nggak ada yang ngajari tapi biar keliatan gaul saja!”

“Tau darimana kamu kalo gaul itu mesti ngomong Loe Gue ?”

“Lha itu mbak-mbak dan mas-mas yang ada di sinetron dan infotaintment itu sajaknya kok enak bolehnya ngomong asal pake Loe Gue”

“Nah.. pekokmu[8] kumat. Jadi udah tahu tho kenapa kubilang tivi itu salah satu pangkal perkaranya!”

“Hehehe iya ya.. tapi njuk gimana ngatasinya Mas?” Melihat mulai tersudut, Tunggonono akhirnya melemah lagi.

“Lha ya itu tadi… seperti yang kubilang kamu mesti memfilter diri ketika nonton tivi! Ketimbang saya bilang matikan tipi untuk acara-acara yang nggak baik, nanti kamu malah esmosi lagi soalnya bakalan gak menyalakan tipi hampir sepanjang malam.”

“Lha kok?”

“Lha kok, lha kok! Ya iya lha wong hampir semua acara tipi sekarang banyak nggak baiknya, jhe!”

“Gitu nggih!? Lha njuk gimana yang dimaksud mem-filter tadi itu, Mas?”

“Caranya ya gitu tadi… pertegas dalam diri kamu sopo kowe sebenarnya, jati diri kamu, dan teruslah belajar.”

“Lha kok belajar ?”

“Lha belajar biar pinter! Nek kamu jadi orang pinter kamu nggak akan mementingkan dan pengen berbahasa Loe Gue itu tadi karena bahasa itu sebenarnya cuma jadi media penyampai kepinteranmu saja jadi kamu nggak harus bergaya bahasa A atau B dengan alasan gaul nggak gaul tho!
Nek kamu jadi orang pinter kamu juga akan tahu bahwa mereka yang di sinetron-sinetron dan infotaintment yang kamu bilang gaul dan keren itu lom tentu semuanya pinter dan patut ditiru, tho?” imbuh saya panjang lebar.

“Tapi saya ndak mau jadi orang pinter Mas. Di tivi tadi barusan dibilang soalnya nek orang pinter itu memang lebih menang dari orang bodo. Tapi orang pinter itu kalah sama orang yang beruntung! Jadi aku mau jadi orang beruntung aja!”

“Wes Nggon! Wes males aku ngomong sama kamu!” Saya beranjak dari kursi yang sudah cukup lama saya duduki. Saya tidak merasa menang berbicara dengan Tunggonono akan tetapi justru dengan cara seperti ini maka saya bisa agak unggul sedikit daripadanya.

“Hehehehe.. halah si bos-e gitu aja njuk ngamuk lho!”

Lha piye lha wong ngomong sama kamu itu gak pernah lepas dari omongan tipi, gaul, selainnya itu gak pernah! Wes lah, aku ke kamar dulu. Meh mbaca buku ben pinter!”

“Hehehee… Mas Don ketoke kok jadi keki gitu tho?”

“Nggak! Aku nggak keki, aku mau pinter lewat buku aja ketimbang lewat tipimu ini!”

Aku ngeloyor pergi ke kamar, merebahkan diri di kasur setelah sebelumnya mengambil koleksi lawas yang sudah kubaca berulang-ulang “Saya Terbakar Amarah Sendirian!”[9]
sambil membayangkan PAT berteriak dan berpredato lantang

“Kebudayaan Indonesia yang kaya? omong-kosong, saya tidak setuju! Kebudayaan Indonesia sangatlah miskin. Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir. Apa yang kita kenal sekarang sebaai kebudayaan Indonesia hanyalah kebudayaan lokal dan daerah saja. Apa yang bisa dinamakan kebudayaan Indonesia?” (hal 47)

Sementara itu sayup-sayup di telinga terngiang dari radio yang kuhidupkan pelan-pelan suara seorang penyiar radio kenamaan di Jogja berujar Loe Gue dengan wagunya.
Love Jawa and You!

Zzzz…. zzz… zzzz

  1. berdandan parlente
  2. ungkapan Jawa “Njanur Gunung Mas, Kadhingaren” yang kurang lebih berarti sama dengan “tumben”
  3. halus. Bahasa Jawa halus.
  4. ditegur untuk dilarang
  5. tiba-tiba, sekonyong-konyong
  6. diucapkan
  7. melestarikan kebudayaan
  8. bodoh
  9. Andre Vltcheck & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian! Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira,
    Kepustakaan Populer Gramedia, 2006
Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. mau kursus bahasa gaul sama gw…? secara gw tinggal di jakarta gitu looh….

    Balas
  2. @windy: sorry nggak tertarik. mau kursus pernikahan aja di gereja! :)

    Balas
  3. plesetan slogan radio kie : “Love Jawa and You!” wkwk…
    Hidup Klaten !!! :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.