Liputan Konser “World Magnetic Tour” Metallica

23 Sep 2010 | Cetusan

Satu dari dua rencana konser yang akan kudatangi tahun ini terlaksana sudah sabtu malam yang lalu.
Bertempat di Acer Arena, Sydney Olympic Park di Homebush, NSW, bersama ribuan orang lainnya aku menikmati sajian musik kelas dunia “World Magnetic Tour” yang dibawakan oleh God of Heavy Metal, Metallica!

Bagus? Jelas!
Hebat? Tiada tandingan!
Tapi lebih dari semua itu, tak lengkap rasanya segala sanjungan dan betapa rasa syukurku karena aku boleh menonton acara tersebut jika tak kusertai dengan catatan-catatan yang masih sanggup kumasukkan ke dalam bilik otak ketika mata dan telinga menikmati ingar-bingar musiknya.

BESI SOLID

‘Harapanku’ ketika menonton konser Metallica sebenarnya adalah performa yang menurun karena faktor usia para personel Metallica yang menua.
Mereka memang tak lagi bisa dibilang muda karena rata-rata usia personel adalah 47 tahun (yang tertua Lars Ulirch, 48 tahun dan termuda adalah Robert Trujillo, 46 tahun) dan dengan strata usia tersebut sebenarnya adalah sesuatu yang sifatnya permisif jika kita temui tempo/drum beat yang menurun, nada dasar yang diturunkan jauh dari standard atau tingkat akurasi not yang menurun hingga kelincahan aksi panggung yang tak segahar 10-20 tahun silam.

Namun Metallica adalah sebuah besi solid yang kekerasannya ternyata tak lapuk bila hanya dilawan dengan proses penuaan 10 – 20 tahun lamanya.
Aku melakukan sebuah ‘riset’ yang mungkin tak terlalu akurat tapi cukuplah untukku mengambil kesimpulan tentang penampilan mereka.
Dengan menggunakan aplikasi metronom (penghitung beat/tempo lagu) yang kudownload secara cuma-cuma via piranti iPhone, sebelum konser aku menghitung berapa beats per minute untuk sample lagu Enter Sandman dan hasilnya adalah 123 yang artinya dalam hitungan satu menit, ada 123 kali ketukan yang mengikuti irama lagunya. Perlu kalian ketahui bahwa Enter Sandman adalah single pertama dari album Black Album (itself) yang dirilis Metallica pada tahun 1991 atau dengan kata lain, James, Kirk, Lars dan Jason (waktu itu bassist Metallica adalah Jason Newsted sebelum digantikan Robert Trujillo) berusia sekitar 29 tahun (Jason juga kelahiran tahun 1963).
Lalu pada saat Enter Sandman dinyanyikan, sabtu malam yang lalu, aku kembali menghitung sample lagu tersebut dalam skala BPM. Menggunakan aplikasi yang sama, aku mendapatkan angka di kisaran 120 – 124 atau dengan kata lain, mereka tak mengalami sedikitpun penurunan tempo karena meski angka BPM berbeda, namun kita harus pula menyadari bahwa ketika melakukan proses rekaman, mereka mendapatkan bantuan metronom untuk menjaga tempo agar benar-benar tetap sama sementara ketika mereka mengusung lagu secara live, selain menggantungkan tempo pada drummer, mereka tak memiliki pedoman lain.

Dari sisi nada dasar, Metallica juga tidak menurunkan terlalu banyak karena pada dasarnya, kebanyakan group band/penyanyi menurunkan nada dasar sekitar setengah nada untuk keperluan aksi panggung. Jika pada sesi rekaman, Metallica menggunakan nada dasar E minor maka pada saat konser sabtu kemarin, setelah merekam sepenggal lagu Enter Sandman dan mencari nada dasarnya di rumah, mereka menggunakan D#m (dan Fm saat modulasi di reffrein) atau dengan kata lain, mereka benar-benar hanya mengambil jarak setengah nada saja dari versi aslinya.
Tingkat akurasi not mereka juga bisa dibilang tak jauh berbeda terlalu banyak. Aku tak melakukan riset apapun untuk membuktikan ini karena kecepatan permainan Metallica memang terlalu tinggi untuk dicocokkan dengan versi recordingnya.
Tapi satu hal yang menguatkanku untuk mengatakan hal ini adalah karena selama konser aku tak kehilangan feel terhadap lagu-lagu mereka sedikitpun kecuali kesalahan kecil yang mereka lakukan pada lagu ONE yang akan kuceritakan di belakangan, tapi itupun hanya sebentar lalu aku bisa enjoy lagi.
Selain itu, tata panggung yang berbentuk empat persegi dan memiliki access-of-view 360 derajat sebenarnya juga adalah tantangan tersendiri bagi para personel Metallica karena hal itu mengharuskan mereka untuk selalu berputar ke setiap sisi menyapa penggemarnya.
Banyak artis yang menua memilih menggunakan tata panggung konvensional atau bahkan memilih duduk. Uniknya, dengan usia mendekati setengah abad, tiga personel Metallica kecuali Lars Ulrich sang drummer yang tetap harus duduk, mereka begitu mobile dan berlarian ke sana kemari. Sejauh yang kuperhatikan tak ada satu lagupun yang memaksa seorang berada di satu sisi dan seorang lain di sisi lain sepanjang lagu. Mereka bergerak… mereka berlari dan berputar.

LARS ULRICH

Kalau di atas kubilang soal BPM, beberapa dari kalian barangkali sepakat bahwa penanggung jawab terjaganya BPM yang konstan pada saat konser ada pada permainan seorang drummer. Sekali saja ia loss tempo entah karena ‘meleng’ atau kelelahan, BPM akan turun dan akibatnya fatal karena untuk lagu sejenis yang dibawakan Metallica, hal itu akan membawa pengaruh kepada mood lagu. Jadi karena aku sudah membuktikan bahwa tempo Metallica terjaga konstan maka kredit tertinggi harus diberikan dalam hal ini pada Lars Ulrich, penabuh drum Metallica yang juga sekaligus adalah pendiri Metallica 29 tahun silam.
Penampilan drummer bertinggi tubuh 170 cm ini begitu memesona. Tak seperti ketika ‘muda’ yang acapkali tampil telanjang dada dan bercelana pendek, malam itu Lars tampil dandy dengan tak meninggalkan kesan ‘metalnya’; rambut cepak, kaos hitam ketat menempel di badan berlengan panjang yang digulung hingga ke siku tangan serta celana jins ketat dan sepatu sneakers. Set drum yang diletakkan di tengah panggung persegi itu juga seakan menjadi simbol betapa gebukan drumnya adalah pusat dari permainan Metallica itu sendiri.
Meski ‘hukumnya’ seorang drummer adalah duduk, Lars beberapa kali mengelak dari aturan tak tertulis itu.
Pada saat dimana ia tak butuh menabuh snare misalnya, ia bisa-bisanya menyempatkan diri untuk berdiri dengan kaki tetap menginjak pedal bass drum dan tangannya memainkan cymbal. Pada saat lagu selesai ia juga tak butuh menghela nafas; terkadang ia seperti lompat dari kursinya lalu menyapa penonton sembari minum bir dari gelas plastik sebelum akhirnya melemparkan sisanya ke penonton yang tentu saja ditanggapi dengan gegap gempita.
Hal menarik yang perlu kuceritakan dari penampilan Lars malam itu adalah bagaimana ia mensiasati stamina yang jelas tak bisa dibandingkan ketika ia masih muda.
Nyaris setiap selesai menyanyikan tiga lagu, ia buru-buru turun ke bawah panggung untuk mendapatkan pijatan. Hal itu berlangsung kira-kira lima menit lamanya, Uniknya, kita tak merasakan jeda waktu yang terlalu lama karena setiap masuk menit kedua dari jeda itu, intro lagu berikut telah dimulai. Lalu di mana letak ‘rahasia’ pengaturan waktu tersebut? Kuncinya, Metallica memilih menggunakan lagu-lagu berintro tanpa permainan drum di bagian awal seperti misalnya One dan Nothing Else Matters sebagai lagu pembuka set berikutnya. Alhasil, ketika penonton dibius dengan intro yang dibesut kawan lainnya, Lars masih bisa melanjutkan pijatannya hingga beberapa saat sebelum drum masuk, ia telah berlari penuh enerjik ke arah drum set dan memainkan serta menjaga tempo pada lagu berikutnya.

JAMES HETFIELD

James, sang vokalis sekaligus gitaris adalah ‘singa’. Kemampuannya untuk bernyanyi bernuansa gahar namun tak lantas menjadi seperti penyanyi-penyanyi trash khas ‘Sepultura’ bernyanyi adalah warna tersendiri pada Metallica dibandingkan dengan god of heavy metal lainnya yang tak jarang juga mereka, para vokalisnya, jatuh ke suara yang melengking tanpa ‘greget’ lalu jatuhnya malah ke sweet metal.. ngggaak banget :)
Selain itu, tongkrongannya yang tinggi besar juga memberi bobot yang semakin bagus dalam setiap penampilan Metallica.
Meski ia telah mencukur habis rambut gondrongnya, tapi seperti menjadi sebuah identitas baginya, ia tetap memelihara kumis dan jenggot. Apalagi dipadu dengan kaos singlet hitam plus celana jeans hitam ketat plus boots yang dikenakannya malam itu; ah lengkap sudah, ia memang pantas dijadikan front man untuk sebuah band besar, Metallica.
Satu hal yang kukagumi dari James dan selalu membuatku tak percaya adalah bagaimana ia bisa bernyanyi sebaik ia bermain gitar. Bermain dalam arti di sini tak hanya memainkan ritem tapi juga melodi yang kadang dibesut super cepat itu.
Semula aku selalu berpikir bahwa setiap interlude, Kirk Hammet yang memang adalah lead guitarist selalu mengambil alih, tapi ternyata tidak. Malam itu aku membuktikan bahwa bahkan pada saat interlude lagu Master of Puppet dan Nothing Else Matters, James Hetfield lah yang pegang kendali.
Gaya reportoar yang diberikan James pada setiap penggal lagu juga menawan. Ia tahu bahwa ia gahar, maka meski dalam bahasa-bahasa sederhana seperti misalnya “Sydney, are u alive?” atau “Sydney, do you feel good?” itu sudah membuat ribuan penontonnya riuh-rendah berteriak menyambut reportoarnya itu. Dua reportoar yang paling kusuka yang sanggup kuingat malam itu adalah demikian,
We are not that band any more. The band you see in that movie, we have not been for five years or so now. We have a better relationship with each other.
Dan satu lagi:
“Sydney, do you feel better?”
“Yeahhhh!” gemuruh penonton.
“Good… because we feel better if you feel better!”
Yeahhhh!” gemuruh pentonton terdengar lebih keras lagi.

KIRK HAMMET

Kirk, hmmmm ia adalah mutiara-nya Metallica.
Perangainya kalem ditambah lagi dengan wajahnya yang tak terlalu bule serta berambut ikal hitam kecoklatan.
Ia hanya lincah berjalan ke sana kemari tanpa harus menggoyangkan kepala dan rambut (headbang) ketika mencabik dawai gitarnya, tapi permainannya adalah sesuatu yang berbeda, garang! Ia yang meski pernah dituduh Dave Mustains (Megadeth) sebagai plagiat beberapa riff lagu di album pertama, Kill Em All, tapi mau tak mau, Kirk pulalah pemberi warna dalam instrumen melodi di Metallica sejak awal berdirinya. Ia seperti selalu punya karakter permainan dengan membangun riff-riff yang kokoh ditambah dengan pilihan nada melodi dengan penguasaan tapping technic yang handal. Belum lagi permainan Wah-Wah nya yang seperti jadi trade mark Kirk dalam menggarap melodi.
Malam itu, ada dua hal yang patut kucatat dari seorang Kirk. Yang pertama, setelah sekian lama tak pernah lagi melihat gitaris yang melengkapi gitarnya dengan handle/stang, Kirk memakai dan memanfaatkannya untuk beberapa ruas melodi yang dibawakan.
Kedua, seprima-primanya penampilannya, kucatat pada intro lagu ONE dimana James memetik ritem dan Lars mulai masuk memainkan drum dengan pattern yang ‘unik’ itu, beberapa saat meski tak sampai satu bar, Kirk terdengar salah mengikuti tempo yang dibangun dua rekannya.

ROBERT TRUJILLO

Mungkin ini agak subyektif dan jatuhnya malah pada pembandingan, tapi bagiku pemain bass yang paling kugiran di Metallica adalah almarhum Cliff Burton yang meninggal di Swedia pada saat promo album Master of Puppet, 24 tahun silam. Jadi, aku tak bisa memberikan penilaian yang cukup obyektif untuk member Metallica yang paling baru ini kecuali bahwa aksi panggungnya brillian dan dengan kostum pemain basket dan celana pendek serta gaya mencabiknya yang mengingatkanku pada bassist KORN itu, Robert menjadi pembeda dari rekan lainnya.

DEMOGRAFI PENONTON

Metallica adalah satu dari sedikit group band lama yang bisa bertahan hingga sekarang berbeda dengan beberapa band yang pernah besar lalu vakum sekian lama lalu melakukan aksi ‘come back’.
Alhasil, Metallica memiliki strata usia penggemar yang begitu komplit dan merata karena tak satupun kategori usia yang tak menikmati suguhan musiknya. Sepenglihatanku selama persiapan maupun saat konser diadakan, penonton datang dari berbagai usia mulai dari ABG, dewasa menjelang setengah baya hingga setengah baya menjelang tua. Uniknya, meski tak seratus persen apa yang kukatakan benar, penyebaran mereka ditunjukkan oleh dua hal:
Harga tiket / Posisi duduk dan berdiri penonton
Rata-rata penggemar Metallica berusia dewasa hingga tua, mereka (dan aku hahahaha) memilih duduk di bangku yang harga tiketnya dijual lebih mahal ketimbang yang berdiri (GA – General Admission).
Mereka yang muda-muda kebanyakan memilih untuk mengambil tiket GA karena selain murah, ya usia mereka memang masih tepat untuk ber-moshing, ber-head bang sesuatu yang 15 tahun silam sering kulakukan ketika menikmati konser (OK, silakan menghitung usiaku saat ini dari clue perhitungan itu!)
Lagu yang dihapal
Seperti aturan yang tak tertulis, daur hidup Metallica seperti memiliki dua fase yang berbeda. Fase pertama adalah sejak pendirian 1981 hingga awal 90-an ditandai dengan keluarnya Black Album (itself) dan fase kedua adalah fase Load album dirilis hingga album yang terkini Death Magnetic. Kebanyakan para penggemar lama (termasuk aku) tak terlalu suka dengan apa yang dibawakan Metallica pada fase kedua meski aku harus jujur mengakui bahwa barangkali ini bukan karena mereka yang menjadi buruk tapi melainkan kita.. eh kami yang semakin menua dan cenderung mematok bahwa apa yang dibawakan Metallica saat kami muda dulu adalah sesuatu yang lebih brillian ketimbang apapun dan bagamanapun hebatnya mereka membawakan lagu-lagu masa kini.
Nah, malam itu, beberapa penggemar uzur bisa ditengarai dengan bersemangatnya mereka (kami) ikut bernyanyi menyanyikan lagu-lagu Metallica tapi lantas memilih terdiam, mencheck handphone serta Twitter ataupun keluar untuk ke toilet ketika lagu-lagu baru dari album-album baru dilantunkan. Sebaliknya, di deretan GA yang bisa kulihat dari tempat dudukku, para penonton usia muda itu tampak lebih impresif ketika Metallica memainkan lagu-lagu masa kini.
Dan berikut adalah song list yang dibawakan malam itu:
That Was Just Your Life (Death Magnetic Album)
The End Of The Line (Death Magnetic Album)
Ride The Lightning (Ride The Lightning Album)
Fuel (Reload Album)
Fade To Black (Ride The Lightning Album)
Broken, Beat And Scarred (Death Magnetic Album)
The Four Horsemen (Kill Em All Album)
Sad But True (Black Album)
Welcome Home (Sanitarium) (Master of Puppets Album)
All Nightmare Long (Death Magnetic Album)
One (…And Justice For All Album)
Master Of Puppets (Master of Puppets Album)
Fight Fire With Fire (Ride The Lightning Album)
Nothing Else Matters (Black Album)
Enter Sandman (Black Album)
Encore:
Breadfan (Garage Inc Album)
Hit The Lights (Kill Em All Album)
Seek & Destroy (Kill Em All Album)

TATA PANGGUNG, SOUND DAN LAMPU

Jujur harus kuakui, meski sederhana karena hanya berbentuk kotak persegi, aku sangat suka dengan tata panggung Metallica concert ini.
Bagiku bentuk panggung yang persegi dan diletakkan di tengah-tengah venue sehingga bisa diakses 360 derajat adalah bentuk terbaik untuk Metallica karena bentuk panggung seperti itu membuat para personil mampu berinteraksi dengan bebas tak sebatas gerak kanan-kiri tapi juga bisa depan dan belakang meski sebenarnya bentuk panggung yang seperti ini tak mengenal istilah mana yang depan mana yang belakang dan mana pula yang kiri juga kanan, kan?
Kesederhanaan bentuk persegi bagi Metallica juga sangat cocok. Aku tak bisa membayangkan bila mereka diberi tata panggung seperti 360 claw-nya U2 yang bulat yang lebih kaya pernak-pernik di sana sini, barangkali Metallica akan sedikit kehilangan kegaharannya. Entah kenapa tapi asosiasi pemikiranku (dan kupikir kalian juga setuju) mengindikasikan bahwa kotak dengan sudut-sudut yang tajam adalah lebih ‘metal’ ketimbang sesuatu yang berujung tumpul bahkan bundar.
Penggunaan laser serta api dan aneka warna gun smoke juga merupakan poin tersendiri.
Teristimewa pada lagu ONE, saat intro yang ditingkahi suara senapan dalam peperangan, api yang dikobar-kobarkan di panggung sungguh mendukung makna lagu yang bercerita tentang bagaimana penderitaan seorang veteran perang yang mengalami cacat fisik permanen itu.
Satu catatan kecil yang bagiku agak sedikit membingungkan karena aku tak menemukan ‘poin’ nya adalah pada penggunaan delapan peti mati yang dipasang di atas panggung.
Empat darinya diletakkan di sudut terluar panggung, tergantung sekitar 10 meter di atasnya dan digunakan untuk tempat meletakkan penyorot laser sementara empat lainnya diletakkan agak sedikit lebih dekat ke panggung, sekitar 5 meter di atasnya dan pada beberapa lagu keempat-empanya digerakkan oleh tangan mekanik ke bawah, mendekat ke panggung.
Aku tahu bahwa peti mati adalah gambar yang digunakan untuk cover album terbaru mereka sekaligus bandrol konser tour mereka, Death Magnetic akan tetapi apa poin dari penggunaan delapan peti mati itu, entahlah?
Adalah lebih baik barangkali jika porsi ke delapan peti mati yang menurutku ‘kurang bermakna’ itu digantikan dengan penempatan sebuah giant screen yang bisa membantu penonton di barisan belakang untuk melihat keadaan panggung dan ekspresi setiap personel yang tak kan dapat dilihat dengan kasat mata itu.
Dari sisi sound, tak dapat diragukan lagi bahwa tata suara yang digunakan dalam konser itu brilian. Aku tak tahu berapa kapasitas pastinya, tapi yang jelas rasanya seperti kamu berada dalam kubangan ear phone dengan voulme maksimum, bisa dibayangkan kan?
Suara dapat keluar secara utuh meski hanya saja, ini tetap sangat subyektif, aku agak sedikit kurang sreg dengan sound untuk bass si Robert. Terdengar terlalu bulat dan butuh sedikit dinaikkan di sisi high dan medium serta crunch levelnya, bakal lebih indah.

BAND PEMBUKA

Aku hendak memberi catatan khusus pada band pembuka pertunjukan ini.
Seperti beberapa konser yang kutonton sebelumnya, band pembuka, bagi gelaran konser dunia bukanlah sesuatu yang sifatnya hanya tambahan. Ada dua band pembuka, yang pertama The Sword dan dilanjutkan dengan Fear Factor. Penampilan keduanya memukau, utamanya Fear Factor bagiku. Musikalitas Fear Factor sangat identik dengan apa yang dulu pernah disajikan Sepultura dan kawan-kawannya yang mengusung panji Trash Metal. Bedanya, Fear Factor membubuhkan beberapa unsur digital music seperti yang pernah kita rasakan pada sajian Limp Bizkit atau RATM. Musikalitas mereka kugiran dan aksi panggung yang menawan.
Sebagai catatan tambahan, berdasarkan info. untuk konser bulan November mendatang, bintang pembuka malah lebih menyenangkan lagi karena akan ada Lamb of God mengganti Fear Factor dan Baroness menggantikan The Sword.
Kawan-kawan yang di Indonesia tentu sangat familiar dengan Lamb of God karena dengar-dengar band ini sedang sangat hype di sana. Benarkah?

KESIMPULAN: KENAPA ROCK?

Itulah beberapa hal yang bisa kujadikan catatan dalam pengamatanku dari seorang awam yang sangat mencintai musik rock dan heavy metal.
Beberapa waktu menjelang konser, hampir setiap sore di kantor aku selalu memutar lagu-lagu Metallica yang ingar-bingar itu. Salah satu teman kerjaku pun bertanya kenapa aku begitu menyukai musik rock ketimbang musik-musik lain atau setidaknya british rock/pop maupun seattle sounds a la 90-an, jawabku adalah karena musik rock adalah penyegar pagi-pagi dan malam-malamku sebelum serta sesudah berangkat kerja.
Sepanjang perjalanan dari rumah ke train station, lalu dari train station ke kantor serta sebaliknya, aku manfaatkan betul untuk menikmati alunan musik rock dari piranti pemutar musik digital yang kupunyai. Ia, musik rock, bersama kopi dan doa pagi, bagiku adalah adonan yang tepat untuk bekal mengalahkan hari!

Sebarluaskan!

15 Komentar

  1. mbois tenan Don….
    ini review musikal keren yang aku baca

    Balas
  2. Fotonya kurang banyak, Don! :)
    Apalagi masih ditambah foto terakhir itu… Mengganggu :))

    Balas
    • eeaaa bagaimana kalau mas Ben diajak mejeng pasti ngak menggangu.
      after all ia deh kayaknya foto terakhir kalau ngak ada akunya agak menggangu (ngarepdiajak.com)

      Balas
  3. koyo ngopo rasane nek nonton dewe dab

    Balas
  4. wedyan reviewnya panjang banget dab.
    BTW, aku juga lebih seneng dengerin lagu2 dari album fase pertama, album-album terakhir rasa metallica-nya sedikit berkurang.
    Huh! membikin iri sangat :(

    Balas
  5. Lamb of Gob, pernah dengar sih mas DV tapi rasanya ngak begitu kuat aroma boomingnya mereka disini. Atau mungkin nanti mereka akan tampil di java rock in land baru aku tau bagaimana animo Indonesian terhadap mereka.
    After all, meskipun aku ngak tau banyak musik (hanya sekadar penikmat) rasanya memang hentakan drummer jadei leader yg tak disadari penonton yah. Karena umumnya biasa di dominasi singer.

    Balas
  6. Mungkin kalau boleh aku ingin minta cupliakn rekaman audio mas DV. :) rasanya pasti seru mendengar crowd yg bergemuruh disana

    Balas
  7. biar tua tapi kalo jebule metal tetep mantep di telinga lah, apalagi khan ada teknologi yang bisa mengimbangi…mateepp

    Balas
  8. salam kenal ….ini merupakan kunjungan perdana saya di tempat ini, wow keren sekali nih blognya dan informasinya sangat bagus……kalo ada waktur mampir ya ke tempat aku…..

    Balas
  9. Waw kerennnn :D jan mantap bener konsernya (worship)

    Balas
  10. wah, sayang g mampir Indonesia, ngomong2, saya komen sambil lagi dengerin some kind of monster nih :D

    Balas
  11. Membaca review ini, menunjukkan betapa Donny memang memahami dunia musik….thanks ya Don.
    Karena selama ini saya hanya tahu menikmatinya….

    Balas
  12. Bicara tentang Metallica memang gak akan habis ya Don.
    Luar biasa mereka bisa menjaga stamina tetap seperti masa-masa mereka muda. Artinya, saat mereka berjaya dulu, sama halnya pula dengan kejayaan mereka sekarang. Benar-benar sang Bintang, legenda sepanjang masa.
    Aku mengagumi keseriusan banyak musikus luar yang sangat menjaga profesionalitas dan ketahanan fisik dan kualitas musik sekaligus. Tidak mudah kan, karena seperti katamu, semakin tua manusia, seyogyanya perangkat tubuh kita juga semakin aus hehehe…
    Ah kamu beruntung, Don, bisa nonton Metallica. Kalaupun dia live di Jakarta, aku harap aku bisa nonton…. dgn harapan Vaya bisa kutinggal.

    Balas
  13. ulasan nya aseek banget.. seperti di suguhi.. menu komplit dari menu pebuka sampai penutup..di sertai resep nya..dan di ajak menikmati rasanya bersama2.. jos gandos..

    Balas
    • Sip! Bagusan mana dengan ketika mereka manggung di Jakarta?

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.