Lie Fock Kuang kupanggil Kuang. Aku mengenalnya sejak kami sama-sama duduk di TK Maria Assumpta Klaten, 35 tahun silam.
Kuang anak pemilik Bakso Anda, warung bakso legendaris yang dulu terletak di sebelah Bioskop Rita Klaten di seberang alun-alun. Sekitar dua puluh tahun lalu, atas nama ?peremajaan dan tata kota? warung Bakso Anda bersama beberapa tempat usaha lain termasuk bioskop Rita dirobohkan lalu Bakso Anda pindah ke rumah pemiliknya, dekat Kali Jalidin tepat di depan kampung ?Klaten Desa?.
Sejak TK, Kuang seorang yang pendiam. Ia lebih banyak tertawa ketimbang bicara. Dalam sebuah drama Natal 1983, aku dan Kuang ditunjuk untuk main drama. Aku jadi ?pemain figuran?, seorang gembala yang mengantar Maria serta Yusuf menuju ke tempat penginapan tempat Yesus dilahirkan sementara Kuang jadi salah satu dari Tiga Raja dari Timur.
Tapi perjumpaan yang singkat dalam Drama Natal itu membuat bukan hanya aku dan Kuang tapi juga almh. Mamaku dan almh. Mamanya bersahabat. Malah, saat akhirnya aku dan Mama harus pindah ke Kebumen untuk tinggal bersama alm. Papa, 1984, kami diundang secara khusus ke rumah Kuang, sebuah rumah bertingkat empat yang kala itu sudah tampak mewah di kota sekecil Klaten.
Dalam acara itu, Mama-nya Kuang memberi kami sebuah jam dinding dan tengkorak kepala babi. Tengkorak kepala babi? Untuk apa? Katanya untuk dipasang di frame pintu masuk rumah bagian atas sebagai tolak bala. Lalu ketika akhirnya kami pindah ke Kebumen, jam dinding hadiah dari almh. Mama-nya Kuang memang kami pasang dan tengkorak kepala babi itu juga diletakkan di rongga frame pintu masuk ruang tamu di rumah kontrakan kami, Jl Bengawan No. 32 Kebumen.
Sejak pindah ke Kebumen, aku tak lagi bertemu Kuang. Kalaupun pulang mudik saat libur Natal, jarang sekali kami pergi ke warung Bakso Anda, sekalinya pergi yang kutemui adalah pegawainya yang begitu setia menghidangkan bakso yang ciamik rasanya!
Lalu kami bertemu lagi di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Aku begitu gembira saat tahu Kuang kembali satu sekolah denganku. Pertemuanku dengan Kuang kala itu membuatku mengingat-ingat kembali siapa-siapa saja kawan saat TK dan dimana mereka berada. Dari Kuang aku jadi ?kenal lagi? dengan Dandung dan Ukki yang sama-sama kawan TK dan ketemu lagi di De Britto.
Tapi meski satu sekolah, kami tak jadi teman dekat. Ia punya ?lingkaran pertemanan sendiri? dan demikian juga aku. Pernah beberapa kali perjumpaan dengan Kuang meninggi frekuensinya karena aku berteman akrab dengan seorang kawan yang tinggal di satu rumah kost bersama Kuang. Sesekali aku menyapa saat Kuang sedang sibuk membaca buku komik! Hahahaha untuk yang satu ini memang unik, Kuang penggemar fanatik buku komik! Pernah satu kali aku bertemu dengannya di toko buku Toga Mas Jl Gejayan/Affandi Yogyakarta saat kami sudah kuliah dan ia sedang asyik mojok di antara deretan buku komik.
Satu hal yang agak menggelikan tentang hubunganku dengan Kuang saat SMA adalah saat EBTA/EBTANAS. Kuang termasuk orang pertama yang keluar dari kelas setiap ujian mata pelajaran diadakan. Waktu baru berjalan separuh, tiba-tiba sesosok keluar dari ruangan, dari tampak punggung dengan rambut gondrong dan langkah gontai menuju ke kantin?itu pasti Kuang!
Beberapa waktu kemudian, ketika kutanya kenapa ia dulu selalu keluar pertama kali saat EBTA/EBTANAS, jawaban Kuang selalu satu, ?Lha timbangane mumet ra iso njawab, arep nyonto kanca kok kancaku yo ketoke ra dong, arep ngepek gurune ngawasi, aluwung metu wae to! (Lha daripada pusing nggak bisa kerjain soal, mau nyontek kawan kok sepertinya kawanku juga nggak ngerti, mau nyontek buku tapi guru mengawasi, ya lebih baik keluar -jw)?
Hahaha, dia nggak tahu efek yang muncul setiap kali melihat punggungnya! Perasaan jadi nervous sambil berpikir kok Kuang cepet banget keluar? Jangan-jangan soalnya terlalu gampang untuknya tapi sulit untukku?
Perkawananku dengan Kuang malah akrab saat aku pindah ke Australia. Blog ini adalah penyebabnya! Kuang adalah pembaca setia blog ini! Pernah dalam satu perjumpaan ia bilang, ?Kayaknya boleh dibilang semua tulisanmu sudah kubaca?? Ia tak pernah memberikan sanjungan atau kritik, ia adalah penikmat, bukan pengkritik, bukan pula pemuji.
Hampir setiap kali pulang ke Indonesia aku mampir ke warung Bakso Anda yang dikelolanya sendiri bersama seorang bapak pegawai setia yang sudah membantu di warung itu sejak aku dan Kuang masih kecil.
Juni 2016, aku pulang ke Klaten dalam rangka peringatan 100 hari wafatnya Mama, seperti biasa aku mampir ke warungnya. Kami ngobrol ngalor-ngidul setelah aku menyantap dua porsi hidangan baksonya.
?Aku lagi mikir untuk nutup warung ini, Don?? tuturnya dengan raut muka serius. ?Oh? kenapa, Kuang?? tanyaku kaget.
?Aku pengen dekat dengan anak dan istriku di Jogja. Sekarang ini aku ketemu mereka seminggu cuma dua hari, itupun terbatas waktunya?? jawabnya.
Kami sama-sama terdiam.
Aku egois waktu itu. Aku yang sebenarnya sempat tak rela kalau Kuang sampai menutup Bakso Anda, warung kenangan dan lebih daripada itu, kalau warung ini tutup lantas dimana lagi aku bisa menemuinya, sosok kawan lama yang begitu setia?
?Kapan?? tanyaku lagi.
?Hmmm, bukan dalam waktu dekat sih? tapi kepikiran aja, pelaksanaannya entah kapan ?? jawabnya.
Aku segera beranjak. ?Yo wes, dipikir sing mateng. Tutup nggak tutup yang penting kamu sehat dan keluargamu bahagia, Kuang!? jawabku.
?Eh, Don??
?Ya??
?Sebenarnya sejak aku tahu kamu mau pulang, aku sudah kepikiran untuk menyiapkan sup kaki babi karena aku tahu dari blogmu kalau kamu doyan banget babi. Tapi sayang? kolesterolku sedang tinggi jadi harus kubatalin??
Aku tersenyum tapi dalam hati begitu terharu dengan niatannya itu. Siapalah aku ini selain kawan lama yang boleh singgah dalam kepingan masa lalunya. Kami berfoto bersama. Pegawai yang begitu setia itulah yang memotret foto di bawah ini.

Pertemuan siang itu adalah kesempatanku terakhir bertemu dengan Kuang.
Pagi tadi, adik iparku, Ayok mengabarkan berita yang begitu mengejutkan, Kuang, kawan lamaku itu meninggal dunia. Ia ditengarai terkena serangan jantung karena beberapa tahun sebelumnya ia pernah terkena serangan jantung ringan.
Sejujurnya ada sejumput penyesalan yang tersimpan di dada hingga tulisan ini kurawi. September 2018 silam ketika pulang, dua kali aku meliat Kuang tapi tak sekalipun sempat mampir atau lebih tepatnya tak menyempatkan diri untuk mampir dan menemuinya.
Dari balik kaca mobil, aku melihat Kuang sedang melayani pembeli bakso di warungnya. Lalu pada kesempatan kedua, sehari sebelum aku kembali ke Jakarta, aku melihatnya berjalan pulang dari warung baksonya. Aku tak sempat melihat wajah tapi hanya menatap punggungnya yang berjalan dengan langkah gontai persis sama seperti dulu melihat punggungnya di hari-hari ujian EBTA/EBTANAS.
Dua puluh dua tahun lalu, saat di SMA, aku panik dan nervous melihat punggungnya karena dalam pikiranku Kuang begitu mudah mengerjakan soal ujian EBTA/EBTANAS. Dua bulan lalu, saat melihat punggungnya aku mendadak nervous dan panik seperti ada pesan yang tak tersampaikan saat itu dan kepanikanku terbukti hari ini, kesempatan itu adalah kali terakhir aku melihat tanpa menyapa sahabat lama yang selamanya akan kukenang, Lie Fock Kuang.
Kuang, melihat punggungmu dulu di SMA membuatku nervous dan panik berpikir kenapa kamu begitu cepat keluar dari ruangan ujian! Dua bulan lalu, melihat punggungmu ada isyarat sama yang aku tak bisa mengartikan hingga semuanya terbaca hari ini, bahwa kamu begitu cepat keluar dari dunia ini!?!
Beristirahatlah dalam damai, Kuang!
Maaf, tak sempat mampir September lalu tapi suatu waktu nanti ketika semua tugasku selesai di dunia ini, kita pasti akan bertemu. Pada saat itu nanti kita tak perlu tunda-tunda lagi untuk menyantap sop kaki babi buatanmu tanpa pernah takut tinggi-rendahnya kolesterol!
Salam dinggo Papa, Mamaku juga untuk Iwan!


Kuang meninggalkan banyak kenangan pada kita.Kepikiran Bakso Anda siapa yang neruskan.
Matur nuwun doni bathuk tulisannya.
RIP Lie Fock Kuang
Saya juga merasa kehilangan sosok Fu Kuang yang biasa sering lewat dia di depan warungnya. Seperti orang kesepian butuh teman, saya ndak berpikir negatif hanya merasa gimana. Selamat jalan saudaraku Fu Kwang, salam kenal dari saya Don
I would like to know more stories about LFK. Tq