Orang ramai bicara soal LGBT karena dua pejabat publik beropini dan diungkap media.
Yang pertama adalah Menristek, pada pernyataan pertamanya tanggal 23 Januari 2016 mengatakan, “Masa kampus untuk itu? Ada standar nilai dan standar susila yang harus dijaga. Kampus adalah penjaga moral,” Hal ini dikatakan dalam rangka menanggapi berita gerakan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di kampus Universitas Indonesia yang menawarkan konseling bagi kelompok LGBT. Sumber dari Rappler.
Lalu melalui akun @menristekdikti, ada pernyataan baru pertanggal 25 Januari 2016, “Larangan sy (saya -red) terhadap LGBT masuk kampus apabila mreka (mereka -red) mlakukan (melakukan -red) tindakan yg (yang -red) kurang terpuji seperti bercinta, atau pamer kemesraan dkampus (dikampus -red).?
Sementara itu, Ridwan Kamil, Walikota Bandung, mengutarakan pendapatnya terkait polemik LGBT sebagai berikut, ?Bahwa sebagian dari kita berbeda, saya enggak tahu, itu urusan masing-masing. Tapi saat dia ke publik membuka diri kemudian mengajak secara tidak langsung (untuk bergabung), menurut saya itu sesuatu yang melanggar etika, norma, dan pasti saya tindak.” Sumber dari Okezone.
Statement-statement tersebut menurutku justru hanya akan membuat isu LGBT semakin tak terkendali dan berpeluang merembet ke soalan-soalan lainnya.
Potensi represi
Potensi represi dari mereka yang kontra terhadap kaum kelompok LGBT menjadi lebih besar lagi karena mereka seolah mendapat angin segar dari penguasa untuk menjalankan aksi.
Sebelum para pejabat itu mengeluarkan statemen, pun aksi sweeping atas nama agama sudah berjalan marak di sana-sini. Dengan adanya pernyataan yang tersiar di publik, bisa jadi mereka seolah mendapat restu untuk melanjutkan aksi.
Padahal sejatinya, sweeping dan aksi represif oleh ormas itu sangatlah absurd. Apa hak mereka untuk melakukan itu terhadap warga negara lainnya yang sama-sama membayar pajak hanya karena preferensi seksual mereka yang berbeda?
Kalaupun lantas diberi hak, atas dasar apa mereka lantas bisa mengkategorikan seseorang adalah kaum LGBT? Untuk transgender mungkin lebih mudah karena secara fisik tampak beda, tapi bagaimana dengan yang Lesbian, Gay dan Biseks?
Tekanan yang menimbulkan ketakutan ini justru akan menyulitkan pemerintah untuk mendata kaum LGBT karena mereka akan memilih untuk menutup diri dan meneruskan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan melalui cara-cara ?bawah tanah?.
Bekal untuk generasi penerus bangsa
Tapi yang paling memprihatinkan sebenarnya adalah aksi yang kalian lakukan saat ini dilihat dan dipelajari lalu ditiru anak-anak yang adalah generasi penerus bangsa.
Kesampingkan soal LGBT-nya, tapi pola melarang, mengecam, sweeping, represi terhadap mereka yang berbeda bisa diikuti oleh anak-anak yang sepuluh dua puluh tahun lagi akan menjadi orang dewasa dan pemimpin komunitas, perusahaan bahkan negara dan bangsa.
Kita tak tahu tantangan dan karakter jaman waktu itu nanti. Apakah masih relevan dengan pola penanganan masalah seperti itu atau tidak.
Bagaimana kalau mereka hidup dalam lingkungan yang sudah benar-benar majemuk tak hanya dari ras tapi dari hal-hal lain termasuk soal perbedaan orientasi seksual?
Bagaimana kalau bos tempat mereka bekerja adalah seorang homoseksual? Akankah hal ini membuat kendala untuk bisa bekerja sama, misalnya?
Bagiku, kita harus menunjukkan pada anak-anak bahwa perbedaan itu hadir untuk disikapi secara dewasa dan manusiawi dengan tetap menaruh pandangan moral, tapi tak berarti perbedaan itu harus dieliminasi dengan kasar dan seolah tanpa perhitungan.
Dirangkul, jangan dipukul
Pemerintah harusnya merangkul kaum LGBT karena mereka adalah warga negara yang tak boleh dibedakan dari warga lainnya . Jika dianggap melanggar norma-norma kesusilaan, mereka seharusnya didampingi bukan dilarang. Beri penyuluhan dan usahakan semaksimal mungkin untuk membuat mereka sembuh jika kalian berpikir LGBT adalah sebuah penyakit dan epidemi.
Berjuanglah di tingkat peraturan perundang-undangan. Jaga supaya tidak terjadi pengesahan pernikahan sejenis, ajukan rancangan undang-undang untuk melarang LGBT dan segala bentuk aktivitasnya melalui cara-cara yang beradab dan berdemokrasi; jangan asal main larang, asal main tindak tanpa adanya kejelasan hukum.
dirangkul, jangan dipukul.
memang kadang dipikirnya orang lebih mudah membersihkan langsung daripada melihat akarnya dari mana.