Ketika lelah belum sepenuhnya hilang setelah nyetir selama kurang lebih tiga jam Canberra-Sydney, semalam, aku dikejutkan dengan kabar keadaan Kristupa yang memburuk. Seorang kawan dari WAG Alumni De Britto mengabarkan hal tersebut.
Kristupa Saragih, Senin silam terserang stroke saat sedang memotret di Pulau Bali. Sejak saat itu keadaannya turun naik. Sekitar setengah jam kemudian, kabar duka kuterima. Kristupa Saragih, tokoh muda dunia fotografi Indonesia itu wafat.
* * *
Aku mengenal Kristupa dari adiknya, Pittor Saragih.
Aku dan Pittor adalah kawan seangkatan di SMA Kolese De Britto. Kami masuk tahun 1993. Kristupa kakak kelasku selisih dua tahun.
Nama besar Kristupa seolah sudah menempel di dinding kampus SMA yang terletak di Jl Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta itu. Pintar, tampan, penulis lepas majalah remaja pria Hai, dan seorang fotografer ulung.
Yang kuingat dari style-nya waktu itu adalah rambut panjang terurai (Ya, De Britto memang memperbolehkan kami untuk memiliki rambut panjang), tindik telinga sebelah kiri dengan anting silver berukir, sepatu DocMart, berkacamata agak turun mirip cara Pittor, adiknya, mengenakan.
Tapi aku tak pernah berhasil mengenalkan diri kepadanya meski waktu itu pernah ia sempat duduk memperhatikanku melatih ilmu beladiri Shorinji Kempo yang jadi kegiatan ekstrakurikuler di Debritto. Hanya beberapa saat memang karena sesudah itu ia pergi begitu saja manggut-manggut…
Persinggunganku yang kedua dengan Kristupa adalah di mIRC, sebuah wahana percakapan antar pengguna internet berbasis teks yang begitu populer saat internet sedang bertunas di bumi Indonesia.
Angka tahun menunjukkan sekitar awal 1999. Aku bergabung di channel debritto (#debritto) yang didirikan oleh Valens Riyadi, akhirnya aku berkenalan dengan kristupa yang waktu itu menggunakan nickname ‘letjen’.
“Halo Kris, aku Donny Prima Verdian. Kawan seangkatannya Pittor. Pittor dimana sekarang?” tanyaku berbasa-basi di channel.
Tak kusangka Kristupa ternyata ramah juga. Kami makin akrab di ‘channel’ yang kebanyakan berisi para alumni, siswa-siswa dan teman-teman lainnya. Lalu ketika bersama Valens Riyadi (De Britto 92), Riza Tantular (De Britto 94) dan almarhum Iwan Santoso (De Britto 94), aku mendirikan Citraweb Nusa Infomedia, Februari 2000, hubunganku dengan Kristupa menghangat erat.
Kristupa waktu itu adalah teman yang hampir kutemui setiap malam. Selepas kerja, aku yang tinggal di kantor, jaga gawang bersama alm. Iwan Santoso, sering bertemu Kristupa.
Ia mendatangi kantor, ber-say hi dengan Iwan dan Riza karena mereka satu angkatan di De Britto (Valens Riyadi waktu itu bermukim di Amerika Serikat) lalu mengajakku pergi.
Mengendarai mobilnya, kami membelah kita Jogja di malam hari.
“Kemana kita?” tanyaku.
“Kemana enaknya? Java Kafe? Jogja Kafe? atau… internet cafe? Hahaha….”
Kebanyakan memang kami lebih sering ke internet cafe karena kalau terlalu sering main-main ke kafe-kafe yang kusebut di awal bisa bikin jebol kantong untuk membeli tiket tanda masuk dan minum-minuman, waktu itu aku sudah mulai berhubungan dekat dengan Joyce Taufan, pacarku yang akhirnya jadi istri yang juga dikenal Kristupa. Jadi hampir tiap malam aku selalu chat dengannya.
Internet cafe atau warnet langganan kami kalau bukan ‘BumiNet’ yang letaknya di Samirono, DeJava (diurus alumni De Britto juga, Chacha 1989 dan Pambudi, 1994) ya di satu warnet yang sayangnya aku lupa namanya tapi terletak tepat di belakang SMA 3 Padmanaba di kawasan Kotabaru sana.
Kami biasa nongkrong sejak jam 9 malam dan baru pulang sekitar jam 2 pagi setelah sebelumnya bersantap (larut) malam di warung nasi pedas Pak Dul depan Pasar Demangan.
Kami ‘berdua’, aku dan Kris, tak terlalu lama sebenarnya karena sesudahnya muncul sosok lain, Carlos Yuwono, eks De Britto 2001 yang kini tinggal di Kanada.
Bertiga kami melepas malam-malam di penghujung dekade 90an dan awal 2000an dengan internetan, ke kafe, nge-beer dan curhat. Hahaha, yang terakhir ini tentu biar aku, Carlos dan Kristupa yang tahu dan tak baik untuk kukupas di sini…
Sekitar pertengahan 2000, Kristupa Saragih mendapatkan tawaran kerja di perusahaan minyak besar dunia, Schlumberger dan praktis frekuensi pertemuanku dengannya pun memupus.
Ia dikirim ke pedalaman Australia, lepas pantai Vietnam lalu tiba-tiba mengirim kabar sedang ada di Alexandria sementara aku jaga gawang di Jogja.
Tapi kami tak hilang kontak. Terlebih setelah aku dan kawan-kawan di Citraweb Nusa Infomedia mendirikan GudegNet, Gudang Info Kota Jogja, Kristupa kami ajak untuk turut berkontribusi mengingat pengalamannya dalam dunia jurnalistik dan fotografi yang amat mumpuni.
Awalnya ia kami beri kolom opini. Dalam tulisan-tulisannya, Kristupa kami bebaskan untuk menulis apapun terkait isu-isu di Jogja. Sekitar pertengahan tahun 2000, Valens Riyadi menggulirkan ide cemerlang, menghadirkan aneka rubrik di GudegNet.

foto diambil dari laman facebook Kristupa Saragih
Kristupa Saragih kami jadikan pengasuh Rubrik Fotografi GudegNet dan rubrik itu adalah rubrik paling ramai waktu itu. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan terkait dunia fotografi yang waktu itu masih didominasi oleh manual dan belum digital yang dijawab secara elegan oleh Kristupa.
Banyak orang yang sepakat denganku bahwa Rubrik Fotografi GudegNet adalah cikal bakal berdirinya FotograferNet, situs portal fotografi terbesar tak hanya di Indonesia tapi juga Asia Tenggara yang didirikan Kristupa bersama Valens Riyadi, mantan bosku sekaligus kolega di Citraweb Nusa Infomedia, pada akhir tahun 2003.
Kristupa tak lama berada di luar negeri, kalau tak salah tahun 2001 ia sudah kembali dan menetap di Tanah Air. Interaksi kami jadi lebih sering meski saat itu tak lagi terbatas padaku (dan Carlos sudah pindah ke Kanada) tapi juga dengan kawan-kawan lainnya, Valens, Riza, alm. Iwan Santoso, Adit Omphonk dan banyak lagi.
Ada banyak kerja sama yang kami lakukan mulai dari pemotretan klien hingga motret model ‘Mas dan Mbak’ Jogja di bawah payung GudegNet; Kristupa memotret, aku menulis narasi para model yang dipotretnya.
Hubunganku dengan Kristupa, terlebih setelah FotograferNet, FN, semakin mengudara, tak seerat dulu lagi meski kami tetap saling berhubungan. Terlebih saat aku memutuskan untuk pindah ke Australia, Kristupa termasuk satu orang yang cukup terkejut dengan keputusanku untuk meninggalkan perusahaan, Jogja dan Indonesia.
“Kenapa loe nggak bilang-bilang, Don?” begitu tanyanya di akhir Juli 2008, sekitar tiga bulan sebelum keberangkatanku ke Sydney.
Setelah aku pindah ke Sydney, aku hanya bisa mengamati Kristupa melalui social media. Aku mengikuti linimasa-nya dan sebaliknya. Aku menikmati karya-karya dan movement-nya sementara entah ia mengikutiku atau tidak tapi pernah suatu waktu kami melakukan video conference dengan rekanan bisnisnya dan caranya memperkenalkanku begini, “Ini Donny! Designernya FotograferNet (aku sempat mendesign wajah FN edisi tahun 2004 dan 2010 -red), sekarang tinggal di Sydney. He is a blogger!”
Momentum pertemuan antara aku dan Kristupa sebenarnya bisa terjadi pada 2014 silam.
Waktu itu ia pergi ke Sydney untuk pemotretan tapi sayangnya jadwal kami tak pernah bisa saling luang dan kesempatan itupun tersia-siakan begitu saja.
Senin pekan silam, dalam sebuah WAG yang di dalamnya juga ada Kristupa, Valens Riyadi mengabarkan Kristupa terserang stroke. Kagetku bukan kepalang. Sejak saat itu aku mengikuti perkembangannya dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Kondisinya sempat cukup stabil bahkan konon ketergantungannya untuk menggunakan mesin penopang hidup dikurangi secara drastis yang membuatku berpikir bahwa ini akan jadi kesempatan kedua Kristupa untuk kembali hidup.
Tapi rupanya Tuhan punya kuasa dan jalan yang tak selamanya sama dengan kita; Ia direngkuh Tuhan, pulang ke rumah tempat semua dari kita juga akan berpulang!

Tahun 2002, ki-ka, Aku, Valens, Riza dan Iwan. Photo by Kristupa Saragih
Selamat jalan Kristupa Wicaksono Saragih!
Aku lebih suka memanggilmu Kris seperti halnya kamu memanggilku Donny meski aku pernah bilang bahwa ‘nama panggungku’ sekarang adalah DV!
Perkawanan kita tidak selamanya mulus, aku tahu itu dan aku yakin kamu juga sepaham denganku.
Ada banyak kerikil-kerikil runcing yang mungkin pernah melukai hati kita masing-masing. Tapi, Kris… aku harus bilang kepadamu kalau aku belajar begitu banyak darimu!
Malah, adanya beberapa ketidaksepahaman dalam beberapa hal antara kita justru menjadi tanda bahwa sejatinya dengan menjalani interaksi yang unik, kita saling menajamkan diri atau setidaknya aku tertajamkan olehmu menjadi pribadi yang kritis, berusaha untuk memiliki karya dan kompetensi, menjadi insan yang ‘De Britto’ sesuai nama almamater kebanggaan kita itu!
Kini kamu sudah ada di tempat yang menyenangkan. Bersama Iwan Santoso, sahabat kita yang sudah mendahului, 2015 silam.
Beristirahatlah dalam keabadian, titip salam untuk Papa dan Mamaku. Kalau mereka tanya kamu siapa, bilang saja, “Saya Kristupa… letjen. Temannya Donny!”
Kris, di minggu sore nan temaram di pertengahan musim dingin ini, aku tertunduk mengenangmu…
Aku mengamati Kris dari kejauhan. Sama halnya denganmu, Iwan atau Valens dan Riza.
Perjumpaan terakhirku dengannya di Medan, kami makan BPK Tesalonika. Obrolan kami soal makanan, bagaimana kami masing-masing menikmati hidup kami. Meskipun demikian tak ada pembicaraan pribadi, dan tak lama saja selesai menghabiskan sekilo babi panggang, kamipun bubar. Bersapa kembali di dunia maya dengan komentar khasnya “sukseeeeesssssssss”
Iya, dia orang yg selalu sukses dan kita tahu semua perjuangan untuk mencapainya itu.
Suksessss selalu Letjen !!!
Kami akan selalu mengenangmu.
Sugeng kondur, Letjen yang tak pernah menjadi Kolonel ataupun Kapten.. Damai bersama Bapa di Surga, dab!
selamat jalan Mas Kris!
Turut berduka cita mas Don. Saya pengamat karya beliau… Sungguh kehilangan tokoh Photography yang fenomenal itu. Selamat jalan mas Kris.
Yang terbaik untuk om Kristupa..selamat beristirahat dgn tenang.. Salam untuk Iwan disana yaaa!!