Kabar Baik hari ini adalah tulisan pertama Matius (Matius 1). Ia membentangkan garis keturunan/silsilah Yesus dari Abraham hingga Yoseph dan Maria, kedua orang tuaNya. Total jendral ada 42 keturunan dan dalam hitungan tahun, menurut situs Hebroots.com jarak dari Abraham hingga lahirnya Yesus kira-kira adalah 2052 tahun! Dari kenyataan diatas, apa yang bisa kita renungkan? Yang utama adalah betapa Allah Bapa itu sangat setia pada janjiNya oleh karenanya sangat bisa dipercaya. Keselamatan abadi yang diberitakan turun-temurun oleh para nabi melalui berbagai macam perjalanan hidup manusia yang naik turun, pada akhirnya menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus.
Yesus adalah jawaban
Yesus menjadi jawaban atas penantian 42 generasi sebelumNya. Ia juga akan menjadi jawaban penantian atas entah berapa generasi lagi hingga akhir zaman, ketika Ia datang sebagai raja agung.
Yesus yang sudah turun ke dunia dan meski sudah kembali ke Surga, tapi melalui kuasa Roh KudusNya, Ia hidup dalam hati kita, umat yang percaya.
Permasalahannya sekarang adalah percayakah kita pada hal tersebut? Percayakah bahwa Yesus yang dijanjikan secara turun-temurun itu sudah hadir dan hidup serta berdiam di dalam diri kita?
Percaya? Bagus! Dipercaya? Belum tentu!
Percaya? Bagus!
Tapi persoalannya sekarang, bisakah kita dipercaya olehNya? Dipercaya bahwa kita ini adalah bagian dari orang yang sudah menerima Yesus dalam iman dan hidup?
Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam diri kita harus dinyatakan melalui perbuatan-perbuatan nyata. Itulah resep supaya kita pun dipercaya.
Beberapa hari yang lalu aku dibuat merinding oleh sebuah cerita dari seseorang yang berasal di seberang samudra. Ia kutemui di sebuah kedai kopi di siang hari yang terik.
Ia lahir bukan dari keluarga Katolik. Meski sejak kecil bertekun dalam agama yang diajarkan oleh kedua orangtuanya, menjelang kuliah, ia memutuskan untuk tak beragama. Ia berubah jadi seorang agnostik, sebutan untuk mereka yang percaya pada Tuhan tapi memilih untuk memeluk sebuah agama.
Keputusannya itu berasal dari ketidakpuasan serta kekecewaan terhadap agama lamanya.
Setelah menjadi agnostik beberapa lama, terbitlah sebuah kerinduan akan perlunya sosok Tuhan yang lebih ?definitif? dan bisa ?didekati.? Ia merasa terperangkap oleh idenya sendiri untuk menjadi seorang agnostik. ?Aku butuh sosok Tuhan yang bisa kujadikan kawan curhat saat tak ada lagi yang bisa kucurhati, DV.? ujarnya menerawang.?
Maka ia ?berkenalan? dengan Yesus.
Belajar tentang riwayatNya dan ia pun membuka diri untuk jatuh hati pada Anak Allah satu-satunya itu. Beberapa buku kristiani dibaca lalu setelah siap, ia memberanikan diri datang ke Gereja ikut katekumen dan dua tahun sesudahnya ia dibaptis.
Perjalanannya tak berhenti di situ.
Karena terpanggil untuk memberi kesaksian tentang bagaimana ia diselamatkan Tuhan, pada satu acara keluarga ia mengumumkan dengan bangga bahwa ia telah menjadi seorang kristiani.
?Seluruh ruangan jadi sunyi. Beberapa saat lamanya tak ada yang berkomentar sama sekali, DV!? Dan seperti yang sudah diperkirakannya, hampir seluruhnya kecewa dengan keputusan itu. Ada yang marah, ada yang terus membujuknya untuk kembali bahkan kedua orang tuanya pun mengusir dan tidak lagi menganggapnya sebagai anak.
Ia telah berkorban lebih dulu
Aku bertanya, ?Kamu tak menyesal??
Ia menggeleng. ?Keputusan untuk ikut Yesus adalah keputusan terbaikku, DV. Untuk itu aku mau dan rela berkorban apapun. Karena apapun pengorbanannya, Yesus sudah lebih dulu menggantinya dengan keselamatan abadi yang kuterima kelak!?
Tiba-tiba tenggorokanku kering. Aku tercekat dan tak bisa berkata apa-apa. Aku Katolik sejak lahir tapi membayangkan diriku ada di posisinya, aku tak yakin punya nyali sebesar itu. Bahkan tak seujung kelingkingnya sekalipun!
Sydney, 17 Desember 2019
0 Komentar