Gara-gara bau ketek, RS harus kehilangan kebebasannya karena masuk bui terkait kasus pembunuhan terhadap Tata. Demikian juga dengan Tata, ia terbunuh hanya gara-gara selama berhubungan intim, mengeluhkan bau ketek si RS sambil terus menutup hidungnya.
Berita ini menjadi bubble yang cukup besar dalam perbincangan di social media di Indonesia minggu lalu.
Sebagai manusia yang pernah berhubungan intim, bagiku ini perkara yang wajar tapi sekaligus tak wajar.
Kewajarannya terletak pada bau ketek.
Setiap orang hidup punya hak untuk memiliki bau ketek dan ia sebenarnya tak wajib untuk menggunakan deodoran ataupun parfum kelas wahid. Penggunaan alat bantu kamuflase bau badan tersebut (menurutku sih begitu) itu hanya ada dalam batas anjuran, tak lebih.
Adalah juga wajar bagi seseorang untuk menghirup bau ketek orang lainnya seperti halnya saat ia menghirup bau masakan kesukaannya, karena kita memiliki indra pembau, hidung. Perkara interpretasi, itu urusan masing-masing dan selama yang buruk tak diutarakan, tentu akan aman-aman saja.
Di sisi lain, ketidakwajaran yang pertama dalam kasus ini adalah, proses pembunuhan itu terjadi saat RS mengalami periode setelah ejakulasi (titik klimaks dalam hubungan seksual).
Dalam Bahasa Perancis, saking menenangkannya keadaan pasca ejakulasi tersebut (lemas, tapi damai, kira-kira begitulah.. eh begitu, kan?) , hal ini diistilahkan sebagai la petite mort atau sebuah kematian kecil.
Nah, aku benar-benar tak bisa membayangkan sebagai RS, betapa pendek sumbunya dan betapa ia mau mengorbankan sisa kenikmatannya untuk bersicepat mengambil kabel, mencekik leher Tata lalu menyumpal mulutnya dengan kaos kaki hingga mati kehabisan nafas. Aku sama sekali tak bisa melogikakan kejadian ini!
Ketidakwajaran yang kedua ada pada sisi Tata. Apakah ia menikmati hubungan tersebut dengan RS? Kalau iya, bagaimana mungkin hanya karena bau ketek lantas menjadi trigger untuknya bereaksi yang agak berlebihan yaitu menutup hidung dan mengeluhkannya kepada RS?
Ya! Ya! Aku tahu kalian spontan bilang, ?Jangan sok bego, Don! Si Tata kan PSK!?
OK, media memang mengabarkan demikian meski aku tak tahu. Tapi katakanlah itu benar, tindakan menutup hidung selama ?bekerja? dengan jenis pekerjaan yang memungkinkan seseorang mengonsumsi bau ketek secara terus-menerus, bisakah dianggap profesional?
Lagipula, masih konon, malam itu adalah kunjungan kedua RS kepada Tata. Harusnya kalau memang benar bau ketek RS dianggap bermasalah, sejak kunjungan pertama hal itu sudah diketahui.
Harusnya ketika RS mengirim DM (direct message – karena konon pola prostitusi di socmed memang diawali dengan mention lalu berlanjut pada DM untuk transaksi sebelum akhirnya eksekusi) untuk melakukan RO – repeat order, si Tata yang konon berpenghasilan 50 juta per bulan ini bisa mengajukan term and condition bahwa kamu boleh berkunjung, kita boleh berhubungan tapi please mandi dulu!
Wajar nggak sih begitu? Atau kamu malah menilai aku yang tak wajar?
* * *
Ah tiba-tiba aku teringat cerita seorang teman lama dulu.
Ia bercerita suatu waktu, saat berkencan dengan PSK, karena saking bernafsunya, ia ingin berciuman bibir ketemu bibir. Ajakannya ditolak mentah-mentah dengan alasan unik, ?Karena kamu nggak merokok, Mas!?
Ketika kawanku tadi menceritakan hal ini kepadaku, pujian kusampaikan pada Si PSK.
Bagiku, ia, Si PSK tadi, lihai betul!
Ia tak mau menyakiti hati kawanku misalnya dengan bertanya, ?Kamu bau nggak? Kalau bau, aku nggak mau!?.
Di sisi lain, kawanku tentu jadi bingung apa kaitannya antara perokok-tak perokok dengan bau-tak bau dan mau-tak mau berciuman. Nah, daripada kebingungan berlanjut dan beradu dengan nafsu yang juga meninggi, mungkin kawanku menerima begitu saja yang penting show must go on!
Lalu iseng aku menganalisa, kenapa PSK tadi menggunakan kriteria perokok atau non perokok dalam kaitannya untuk menerima-menolak ajakan berciuman kawanku?
Bagiku semuanya terpecahkan pada kesimpulan ini: non-perokok memiliki bau mulut yang beraneka ragam, bisa wangi, bisa busuk. Sedangkan perokok memiliki bau mulut yang kurang lebihnya sama di seluruh dunia: nikotin.
Akan lebih mudah bagi si PSK tadi bereaksi terhadap satu macam bau saja daripada membiarkan indera penciumnya untuk ?belajar? bau yang baru lagi entah itu bau pete, sayur lodeh atau bau busuk khas comberan seperti abab kita waktu bangun pagi dan belum tersentuh sikat gigi?
Cerdas nan masuk akal, kan?
Saya nggak ngikuti perkembangan penyidikan kasus ini. Ketika soak bau keringat ini muncul, pertanyaan saya adalah apakah di kamar kos Tata nggak ada kamar mandi (syukur kalau menyatu dengan kamar) sehingga bisa meminta konsumen mandi. Handuk tersedia, untuk sekali pakai, urusan selanjutnya ditangani laundri tetangga. :D
Betul, Man.
Seperti kutulis di beberapa para sebelum para terakhir tulisan ini, seharusnya memang si Tata bisa kasi term and condition bahwa ia berhak meminta pelanggannya mandi dulu… tapi aturan ini agak susah sepertinya karena si RS dan pelanggan lain, i believe, sudah sangat kebelet bahkan ketika sedang ngeslah starter motor menuju ke kost-kostannya Tata sekalipun! :)
Mungkin seperti saya yang sudah ngeces-ngeces mbayangin ayam goreng Suharti deket nJanti ketika pesawat Jakarta – Jogja sedang akan take off dari Cengkareng sekalipun! :))
haha..kebelet emang bikin ribet.
Sebagai pekerja profesional harusnya Tata bikin term and condition yang harus dipatuhi customer jika deal. Selagi tidak ada term and condition maka harusnya dia menerima itu sebagai konsekwensi pekerjaan, haha…
Tapi RS juga keterlaluan sampai membunuh begitu. Kalo Tata mati beneran, -bukan la petite mort- nah si RS bisa mati juga kalo ditunutut jaksa dan diputuskan hakim.
Ribet gara2 “burung” gak dipelihara dengan baik jadi sengsara.