Kue Lapis

10 Feb 2009 | Cetusan

Kue Lapis

Sejatinya, ketika kemarin beberapa rekan menyelamatiku “Selamat tahun baru ya… Gong Xi Fat Choi” aku tak terlalu terkesiap meski ada sedikit perasaan yang ingin berkata “Kamu salah orang!”

Kenapa demikian, karena aku bukanlah tionghoa, bukan datang dari golongan hoa kiau meski beberapa orang bilang warna kulit serta sipitnya mataku menyatakan aku adalah salah satu dari mereka. Dari berangkat lahir hingga pulang ke alam abadi nantinya, aku adalah seorang Jawa.
Lha tapi istri ?
Iya, itu kan istri, lain saya tho ?

Tapi anyway, pagi-pagi buta di tengah orang-orang ber-ras bule di atas bis ini, aku tak ingin membawa bahasan perbedaan ras ataupun suku. Tapi justru aku ingin bertanya pada kalian, kalau kalian berada pada posisiku, dan mendapatkan ucapan selamat seperti itu, apa yang akan kalian lakukan ?

Mungkin kalian akan menolak secara langsung, tapi itu tak mengapa, cukup katakan
“Gilingannn!!! Apa kalian nggak bisa ngeliat hitamnya kulitku dan belonya mataku ini? Apa kausangkakan aku ini singkeh penjual telor yang melafalkan huruf “R” pun susah? Haiyaaaa!”

Mungkin kalian akan menerima dengan setengah hati, itupun tak jua jadi masalah karena lambat laun nanti kalian akan menjadi salah satu dari pilihan, menjadi ekstrim seperti di atas, atau menjadi sangat toleran seperti… ya, sepertiku hahahah!

Lalu lantas kenapa aku berani mendeklarasikan diri sebagai sangat toleran dalam hal seperti ini?
Well, karena aku biasa hidup dalam alam perbedaan. Ketika orang ditakdirkan untuk ada di kiri dan kanan kita maka saat itu juga kita berada pada satu keanekaragaman. Dan salah satu penghormatan terhadap keberagaman menurutku adalah dengan bersosialisasi, mengenal tradisi dan budaya mereka tanpa harus mendalami apalagi menyelaminya.

Contohnya ada dalam keluarga orangtuaku sendiri.
Papaku adalah seorang muslim sejak lahir hingga saat ini dan demikian juga dengan sebagian besar saudara darinya.
Setiap Lebaran, ketika aku masih tinggal di Indonesia dulu, kami sekeluarga selalu pergi ke rumah Nenek di Blitar. Mereka yang tahu kalau aku, Mama serta Citra itu non-muslim akan serta merta menghilangkan ucapan “Selamat Hari Raya” tapi tetap menyertakan ucapan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” tapi bagi para saudara jauh yang ketemu juga baru sekali seumur hidup, mereka akan mengkomplitkan ucapan-ucapan itu lengkap dengan Minal Aidzin Wal Fa Idzin kepadaku.

Lalu apa yang kuperbuat?
Ya aku nggak berbuat apa-apa :)
Tak perlu aku berteriak “Astaga! Saya bukan muslim! Alleluia!” atau buru-buru cuci tangan dan mulut komat-kamit berdoa yang panjang-panjang… tapi cukup membalas “Minal Aidzin juga.. mnohon maaf lahir dan batin” lalu habislah perkara. Yang menyalami senang, akupun juga senang karena berhasil membuat orang senang.

Mungkin di antara kalian ada yang bertanya,
lho kamu kan Katolik kenapa kamu mau dibegitukan, apa nggak kenapa-napa itu nantinya?
Maka kujawab balik, lha kalau kamu Katolik dan dibegitukan oleh mereka apa kamu nggak marah dan kenapa-napa juga ?

Bagiku, ucapan selamat adalah satu hal yang lepas bebas dari segala bentuk kepercayaan, ras, golongan atau apapun itu sekat kehidupan. Ketika kita mendapatkan ucapan ataupun mengucapkannya, aku percaya itu semua tak mengikis sedikitpun kepercayaan ataupun identitasku. Ucapan itu tak kan mampu menyentuh inti sedangkan inti juga tak perlu membuat benteng pelindung hanya gara-gara ucapan seperti itu.

Jadi siapkah kamu meski mungkin kamu bukan Kristiani lalu diselamati Selamat Natal pada desember nanti ?
Atau mungkin kamu non-muslim lalu dijabati tangan Selamat Idul Adha ?
Atau kamu tak sama sekali sipit dan bahkan legam lalu dikerubungi anak-anak di Chinatown dan dibilang
“Koh, angpaunya Koh! Buat beli alat tulis, Koh! Bagi Kang taw -nya Koh!”

Hehehehe… sekali lagi terserah tapi kupikir dengan kita mengamini toleransi tanpa harus menyelami serta mendalami kita seperti dihadapkan pada kue lapis warna-warni yang sering kita santap itu …

Ah, jadi lapar, ada yang mau membawakan barang sepotong ke Sydney sini ?

Sumber foto.

Sebarluaskan!

33 Komentar

  1. Kue Lapis… hmmm warna warni, enak, legit, dan kalau dimakan bersama maupun selapis demi selapis TETAP enak.
    Pengambaran kamu dgn Kue Lapis sungguh bagus Don. Ya, aku juga seperti kamu. Lahir dari kemajemukan, karenanya kita bisa menerima “orang lain”. Meskipun kadang, kalau saya diberi salam Idul Fitri, saya akan bilang, maaf saya tidak merayakannya, Mohon maaf lahir batin.
    Tapi saya juga kangen dengan diversity di Indonesia. Karena di Jepang, agama dan suku sama sekali tidak diangkat dalam kehidupan manusia. Jadi seakan hidup di negara robot. Paling-paling hanya selamat tahun baru.
    EM

    Balas
    • Terkadang aku merindukan apa yang kau alami di Jepang. Suatu tatanan masyarakat yang terbutakan dari agama dan suku, kupikir akan lebih baik…

      Balas
  2. Don…
    Kalo ini aku gak tersinggung ..kamu bawa bawa kulit..hitam..legam…*aarrggghhhhh*
    But anyway…
    Aku juga punya banyak saudara yang non muslim, nenekku dari mama jelas jelas advent. Bagiku tidak merupakan masalah mengucapkan selamat..dan jika orang lain juga mengucapkan selamat natal kepadaku *karena mereka tidak tahu* ya aku jawab saja terimakasih…sambil senyum…kelar…dia senang..aku juga gak bikin orang kesal kan?
    Setuju…toleransi diamini…gak usah ribet..gak usah sok sok ngerti banget hehe…
    Toh beda beda juga enak …ya gak Don ;)

    Balas
    • Perbedaan itu memang ada untuk disatukan, Yes.. Kayak slogan TVRI dulu “TVRI menjalin kesatuan dan persaaaatuuuuannnnn”
      Inget Bu ?

      Balas
  3. jadi orang majemuk gado2 lebih enak, kita bisa melihat dari sudut pandang lain dan bisa lompat sana lompat sini dalam posisi tanpa adanya keterikatan yang menurut kita ga penting banget.

    Balas
    • Akur, sepakat!
      Tapi bisa nggak tanpa lompat-lompat? Capek nih :)

      Balas
  4. Baru kejadian ma gue nih don,
    dikssih ucapan Happy Chinese New Year ma dokternya anak gue 2 minggu lalu, ya gue jawab aja thank you, Happy new year to you too, dia emang chinese…dalam hati gue ketawa, hihihi disangka Chinese juga kali ya, padahal legam gini…hihihi…eh ujungnya gue ngasih angpao ma die…maksudnya emang bayar fee spesialis gitu hehehehee…

    Balas
  5. Iya-iya… Kamu keturunun raja-raja Kediri…
    Iya-iya… kamu mungkin keturunan Arok kesekian ratus…
    Iya-iya… kamu orang Indonesia aseli…
    Tapi kamu memang perpaduan unik! He-he.

    Balas
    • Ahioahioahioahioa… akhirnya pengakuan itu datang juga meski mungkin kamu tetap menyampaikannya dengan tawamu yang khas itu!

      Balas
  6. haiyaaa…
    aku percaya seratus persen, kamu wong indonesia aseli, dab. wong jogja, eh…klaten asli. haha…
    aku juga kadang disangka chinese, padahal yen tak sawang ning kaca, asli gak ada mirip2e, sampai aku tanya sama kancaku sing chinese, aku kok dianggap chinese ki apane ta ?. lain hari disangka wong batak, lain kali didarani orang dayak, palembang…embuh…memang sungguh warna-warni, seperti kue lapis !
    apapun, jangan dimasukkan ke hati, anggap itu sebagai salah satu cara mereka menghargai kita.
    horas ! aku asli wong jawa !

    Balas
    • Oh jadi karena sampeyan sering dikira cina, mbatak dan palembang dan dayak, jadi sampeyan mirip kue lapis ?
      Begitu?
      Huahuahuahu :)

      Balas
  7. @DM : Si Donny perpaduan unik apaan, Mas? Dataran Cina ma Dataran Afrika gitu kali ya, jadinya sipit tp mocca…hihihihii…

    Balas
    • Hahahahaha..:)
      Kalau aku keturunan Afrika, rambutku keriting juga dongsss… :)

      Balas
  8. Kalau ada yang bilang Gong Xi Fat Choy ke aku, jawabnya mudah: xie xie. Tapi probabilitas yang nanya aku kecil, Don. Makna perayaan ini, bagiku adalah perayaan pergantian periode kalender ala Cina, sama halnya dengan Hijriyah, atau Masehi. Mungkin karena kedangkalan pikiranku lantas muncul pendapat ini.
    Nah, kalau kemarin ada perayaan Cap Go Meh, itu bisa bikin repot, soalnya aku jadi ingin makan lontong cap go meh ala Jawa timuran.
    **
    Masih keturunan raja-raja Majapahit? Oh Ok. ;)

    Balas
    • Halah, raja-raja majapahit, itu kan bisa-bisanya Daniel Mahendra saja :)

      Balas
  9. Sebuah konsep pemikiran yang luar biasa, Mas.
    Ketika ada yang mengakatan bahwa mengucapkan selamat natal adalah haram, saya tetap melakukannya, karena itu hubungannya dengan manusia. Masalah nantinya tindakan saya tersebut dianggap haram, itu semua saya serahkan kepada Sang Pencipta, yang lebih tahu mengenai makna halal dan haram.

    Balas
    • Saya suka tanggapan anda, Mas Sapimoto.
      Meski saya merasakan nilai yang anda amini seperti itu semakin sedikit akhir-akhir ini, tapi harapan saya adalah supaya pada suatu saat nanti, toleransi dan pola pikir seperti Anda akan berkembang lagi.
      Dan semoga kita sempat melihatnya :)

      Balas
  10. pancen perbedaan itu indah dab… lha wong jamane ngangsu kawruh ing kandang manuk, guru2ne yen nyeluk nganggo istilah cino magelang, cino klaten, jowo mbantul, ning yo ora ono sing serik, malah rumangsane akrab….
    kelingan opo ora, pas wayah manuk mulih kandang taun wingi, bubar misa sing dipimpin bapa Uskup, pak Haji Datuk miwiti pidato nganggo “assalamualaikum..” terus diwangsuli manuk2 sak lapangan bal… “Walaikumsalaaam..” nganti bapa Uskup mesam-mesem…

    Balas
    • Aku sepakat karo njenengan, tapi luwih sepakat maneh nek dipersempit “indahnya perbedaan di debritto”.
      Soale saiki iki, perbedaan diluar debritto ki ra seindah koyo pas manuk pulang kandang wingi kae jhe.. :)

      Balas
  11. apik… apik! aku yo percoyo nek sampeyan cah blateran. :)
    bbrp waktu lalu aku “blusukan” sampai kampung Sijuk di Belitung sana. waktu itu aku jalan2 sama keluarga tanteku yg muslim. dan waktu tiba jam utk sholat, akhirnya kami mampir ke sebuah mushola. nggak lama kemudian, datang juga bapak2 yg biasa menjaga mushola itu. bapak2 itu kemudian bersalaman dengan kami. lalu kuulurkan tangan, tapi ternyata aku dicuekin! dilihat pun tidak. dia hanya menyalami kaum lelaki. duh, salah apa to aku ini? tapi kayaknya hal spt itu udah biasa ya di beberapa kelompok masyarat kita? kalau aku sih, mending nggak beragama daripada dianggap nggak ada.

    Balas
    • Mereka menjalani apa yang mereka percaya dan tertera, kita menjalani apa yang kita percaya dan tertera pula…
      Ah, aku sendiri kadang pusing dengan masalah-masalah yang kayak gini.
      Mbuh ah!

      Balas
  12. haiyah! Sajane lagi kangen kue lapis tho?
    hmm… uenae kue lapis mbah siem ..
    *Perbedaan itu ada karena kita berbeda.

    Balas
    • dan persamaan ada karena kita pernah tidur bersama?
      Ahuahuahua!

      Balas
  13. menurut silsilah seko adhit ompong, kowe khan mambu cino gondomanan to don.

    Balas
    • Wes adus aku, wes ra mambu maneh :)

      Balas
  14. Cerita kue lapisnya sungguh enak, di makan setiap lembaran lapisannya, maupun langsung dicuil…hmm sedap dan legit. Seperti itulah kita, terdiri dari lembaran-lembaran yang makin dirasakan seharusnya makin terasa legitnya.
    Don, jangan marah, kayaknya sekarang saling memberi ucapan selamat adalah hal umum. Bahkan diantara teman-temanku, saat hari raya Imlek, kami saling mengucapkan selamat…bahkan si sulung ikut merayakan bersama teman-temannya… padahal kami ada yang muslim, Nasrani, bahkan ada yang Hindu Bali.
    Sejak dulu, Lebaran maupun Natal, kami saling memberikan ucapan selamat, kenapa tidak? Dunia ini begitu besar, dan keberagaman itu demikian indah kalau kita bisa menikmatinya. Bayangkan, perayaan Imlek di Jakarta sangat meriah, masing-masing stasiun TV membuat acara untuk merayakannya.
    Wajah saya, karena matanya sipit, sering disangka dari etnis tertentu. Dan kalau ke luar negeri, disangka dari Filipina…hehehe…dinikmati aja….dan makin lama kok rasanya makin sipit, atau mungkin karena sering ucek-ucek mata (klilipan)…dan pake kaca mata
    (Duhh komentarku kok jadi OOT)

    Balas
    • Ibu, saya tidak marah kok hehehehe.
      Tapi sudahkah ibu mencoba googling dengan keyword misalnya “memberikan selamat xxxxx” lalu isikan huruf xxxxxx itu dengan nama perayaan…
      Lalu, abrakadabra, ada begitu banyak pertentangan hanya dalam mengucapkan salam sekalipun.
      Itulah pesan tulisan saya ini, pesan keprihatinan :)

      Balas
  15. wah, kalau saya biasa mengucapkan selamat natal atau ucapan lain kepada pemeluk nasrani atau pemerluk agama yang lain, mas dony. bagi saya pribadi, memberikan ucapan semacam itu utk menunjukkan sikap solidaritas terhadap sesama, bukan lantaran dimasukkan ke dalam ranah agama. wah ternyata lapis bisa dijadikan analogi juga utk menggambarkan keberagaman.

    Balas
    • Salut untuk sikap Pak Sawali yang seperti itu. Pertahankan, Pak :)

      Balas
  16. kemajemukan tuh indah lo Don..
    hidup berwarna warni…
    apa jadinya kalo kita sedunia punya ras yang sama, punya suku yang sama, punya agama yang sama, punya bahasa yang sama..
    Ah gak kebayang….
    mungkin boring banget…
    Hmm bagi kue lapisnya dong, keliatannya enak

    Balas
    • Memang indah kok, sapa yang bilang tidak kalau bukan mereka yang menghendaki kemajemukan dan kebhinekaan dipunahkan :)

      Balas
  17. Yang aku heran di jaman globalisasi gini masih ada aja peng kotak2an berdasarkan ras dan agama, udah gak pas sebenernya yah :)
    Anyway, masalah tampangmu yg mirip cina (mungkin dulu nenek moyangnya ada yg cina, bisa jadi toh? wong kita org indo kan sebenernya udah campur aduk) terus suka salah kira, ya maklum aja lah…lah aku aja di eropa suka di sayonarain atau di cing ceng cang (niru2 logat cina) sama bule2…pokoke angger rupa asia ki berarti jepang/cino po? njelehi tenan…hehehehe

    Balas
    • Hehehe kalo di Aussie sini, Asia adalah Jepang/Cina atau Filipina :)
      Para bule slalu mengira aku cina.
      Orang cina slalu mengira aku dari Filipina.
      Mungkin karena aku sipit tapi tak terlalu putih itu :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.