Kristupa Saragih (alm): Sejak SMA saya terdidik secara alami untuk tak terkendala dengan keterbatasan

16 Feb 2018 | Tokoh Alumni De Britto

Setelah alm. Krisbiantoro, tokoh kedua yang kuangkat dalam serial Tujuh Puluh Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto adalah alm. Kristupa Wicaksono Saragih. Lahir di Jambi, 18 Desember 1976, Kristupa, begitu ia akrab disapa meninggal dunia di Bali, 8 Juli 2017, setelah beberapa hari sebelumnya terserang stroke.

Krisbiantoro, almarhum.
Kristupa, almarhum.
Tahukah kalian bahwa keduanya ternyata masih kerabat jauh?

Meminjam ‘kuas’

Adapun ?menulis? Kristupa, alumni angkatan tahun 1994 itu bukanlah perkara mudah. Awalnya aku kesulitan menemukan angle tulisan yang berbeda dari sosok yang sama setelah tahun lalu, sesaat setelah ia meninggal, aku menuliskan obituari tentangnya di sini.

Tapi setelah berpikir, ide pun kudapat.

Aku ?meminjam kuas? untuk melukis. ?Kuas? pertama ?kupinjam? dari Pittor Saragih, adik kandung Kristupa. Pittor adalah kawanku seangkatan di SMA Kolese De Britto. Aku menanyainya tentang bagaimana Kristupa ?mengenal? De Britto dan bagaimana ia mengenalkan De Britto kepada Pittor sehingga kakak-beradik itu masuk De Britto berselisih dua tahun.

?Kuas? kedua adalah melakukan wawancara imajiner. Metode ini biasanya dipakai para penulis ketika mewawancarai tokoh yang sudah meninggal dunia. Biasanya, mereka membayangkan bagaimana tokoh akan menjawab saat diberi pertanyaan.

Tapi metode wawancara imajinerku berbeda.?Alih-alih membayangkan, aku membiarkan Kristupa ?menjawab? sendiri pertanyaan-pertanyaanku. Caranya? Aku mencari statement-statement yang pernah dilontarkan Kristupa terkait De Britto. Dari situ aku lantas membuat pertanyaan-pertanyaan dan menempatkan statement-statement tersebut sebagai jawaban.

?Kuas? ketiga adalah video wawancara yang pernah dilakukan Haryo Bimo Utomo, adik kelasku di De Britto, dengan Kristupa hanya beberapa hari sebelum Kristupa terserang stroke lalu meninggal dunia di Bali.

Tanpa panjang lebar lagi, mari kita cermati ?lukisan? Kristupa, sosok besar dalam dunia fotografi Indonesia, orang yang bersama Valens Riyadi mendirikan FotograferNet pada 2003 yang lalu.

Kris, kalau kamu selalu bilang ?Biar Foto yang bicara? sekarang ijinkan aku bilang ?Biar tulisan dan video ini yang bicara.? Rest well and peacefully up there, Bro!

Wawancara Pittor Saragih

Kristupa saat SMA. Foto: koleksi keluarga

Kristupa saat SMA. Foto: koleksi keluarga

[DV] Kenapa Kristupa dulu memutuskan masuk ke De Britto? Siapa yang memperkenalkan sekolah itu kepadanya?

[Pittor]?Alasan persisnya apa, aku tidak ingat betul. Tapi barangkali awal perkenalannya karena kedua orang tua kami lulusan UGM dan tahu tentang de Britto.

Almarhumah mama kandung kami berkerabat (jauh) dengan Om Kris Biantoro. Mama pernah bercerita sedikit tentang Om Kris dan sekolahnya. Tidak banyak yang diceritakan dan tidak banyak juga yang bisa saya ingat. Mama dipanggil Tuhan di awal tahun 1989.

Apa ada ‘pengaruh Kristupa’ sehingga kamu juga masuk De Britto?

Pasti! Tapi bukan karena perkataannya (interaksi kami tidak banyak dalam bentuk kata-kata), tetapi lebih kepada perubahan sikap, kedewasaan, dan pola pikirnya. Kemandirian dan rasa tanggung jawab terhadap pilihan-pilihan (hidup) yang diambilnya semasa sekolah di De Britto – meskipun seringkali itu berbeda dengan keinginan orang tua – mendorongku untuk berkata, ?Saya sendiri harus menikmati pendidikan de Britto”.

Apa pengaruh terkuat pendidikan De Britto terhadap perjalanan hidup Kristupa?

Pendidikan de Britto telah menjadikan dia sebagai pribadi yang disiplin dan penuh tanggung jawab. Semalam apapun dia tidur, jam bangun pagi harinya selalu konsisten. Apa yang sudah menjadi komitmen dan dijanjikan kepada orang lain, sedapat mungkin pasti ditepati. Pendidikan de Britto menjadikan dia tumbuh menjadi orang dengan determinasi dan persisten. Mudah berempati, berbela rasa, dan berbagi, tanpa melihat latar belakang orang lain. Itu terbukti dengan begitu banyak dan beranekaragamnya latar belakang teman yang ia miliki.

Pittor dan Kristupa. Foto: Koleksi pribadi Pittor Saragih

Pittor dan Kristupa. Foto: Koleksi pribadi Pittor Saragih

Kristupa bahkan sejak di De Britto adalah seorang yang ?besar?. Pernahkah kamu merasa canggung ada di dalam bayang-bayang kebesaran namanya itu?

Ada satu pertanyaan yang tidak akan pernah terlupakan pada saat aku diwawancara tes masuk de Britto: “Apakah kamu nanti disini mau jadi seperti Kristupa?”. Pertanyaan yang memiliki ramifikasi cukup ‘kompleks’ pikirku saat itu.

Mencoba untuk “bijak”, aku menjawab, “Tidak. Dia adalah dia. Saya adalah saya.” Jawaban yang kemudian dari perjalanan selama satu tahun bersama dia di de Britto (dia kelas 3, saya kelas 1), terbukti. Dia adalah dia, saya adalah saya. Bisa dibilang tidak ada irisan kegiatan apapun selama kami berdua di de Britto, baik di sekolah maupun luar sekolah. Dia juga seolah ‘membiarkan’ saya untuk menikmati dan belajar langsung kehidupan di Yogya dan de Britto, sendiri.

Tapi dia tetap peduli denganmu?

Ya! Saya tetap bisa merasakan dia ‘menjaga, mengamati, dan memperhatikan’ dengan caranya. Itu cara dia, mendidik saya untuk hidup gigih dan bertanggung jawab. Tidak bergantung pada orang lain (atau bahkan menyusahkan), meskipun orang itu adalah saudara/keluarga sendiri. Sama seperti nilai yang dia dapatkan selama di de Britto.

Wawancara Imajiner DV

Kristupa Saragih

Kristupa Saragih

[DV] Kamu motret sejak di De Britto, Kris?

[Kristupa Saragih] Menjadi serius saat sekolah di SMA Kolese De Britto di Yogyakarta dan bergabung di kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik.

Masih duduk di bangku SMA pada 1992, Majalah Hai memanggil saya bergabung sebagai koresponden di Yogyakarta. Karena majalah remaja terbesar di Indonesia itu menuntut reporter piawai memotret, maka saya pun serius menggeluti fotografi. Waktu itu, memotret masih memakai kamera pinjaman dan lensa pinjaman.?Sumber: Exploring The Dynamics of?Photography

Bagaimana ceritanya kamu bisa ?masuk? ke HAI?

Saya masuk ke Hai menggantikan koresponden Dino Martin, kakak kelas di SMA Kolese De Britto.

Tugas pertama dari Hai untuk saya adalah menulis features Akademi Teknologi Kulit di Yogyakarta untuk rubrik Ke Mana Setelah SMA. Tulisan pertama itu dimuat bulan Juli 1992.?Tugas selanjutnya adalah menulis profil Sekolah Menengah Musik Yogyakarta.?Sumber: Sumber: Kisah Koresponden Majalah Hai 1992-2000?#hai35?

Salah satu hal yang paling kamu syukuri dari bersekolah di De Britto apa?

Saya juga beruntung bersekolah di SMA Kolese De Britto yang menganut paham pendidikan bebas. Menunaikan tugas jurnalistik tak gampang bagi siswa SMA, lantaran kadang-kadang harus keluar di jam sekolah. Untunglah pamong-pamong di SMA Kolese De Britto amat mendukung dan mengerti. Waktu saya SMA, ijin saya mintakan ke Rm T Krispurwana Cahyadi SJ, yang dulu masih Frater. Dukungan ini ada juga karena Romo Pamong Rm E Baskoro Pudji Nugroho SJ.

Waktu bersama Hai adalah salah satu periode penting dalam hidup saya. Jika ada dana dan personil, serta waktu memungkinkan, ingin rasanya menghidupkan kembali Pesta Pelajar yang pernah harum oleh Hai. Saya juga menyimpan kerinduan untuk ikut serta dalam kegiatan pers abu-abu, yang pernah mendidik saya dahulu dan membentuk saya hingga seperti saat ini.?Sumber: Kisah Koresponden Majalah Hai 1992-2000?#hai35?

Ada pengalaman unik saat motret dan kamu sekolah di De Britto?

Tahun 1992 saya dapat tugas menulis profil SMA Van Lith di Muntilan, sekitar 45 menit arah utara Yogyakarta, saya pergi sendiri menunggang GL 100. Pulang dari Muntilan, hujan mengguyur di jalan, dan sepatu saya satu-satunya jadi tabung air hujan. Untung SMA Kolese De Britto membebaskan siswa untuk memakai sepatu sandal ke sekolah.?Sumber: Kisah Koresponden Majalah Hai 1992-2000?#hai35?

Apa peran De Britto dalam karir fotografimu?

Sejak SMA saya terdidik secara alami untuk tak terkendala dengan keterbatasan. Tak punya lensa tele atau lebar, saya cari pinjaman teman. Butuh liputan dengan mobil, saya pun cari pinjaman, karena untuk sewa pun tak cukup uang. Keterbatasan waktu sejak SMA berlanjut hingga kuliah di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, yang bahkan lebih amat sangat terbatas. Keadaan membuat saya terbiasa tak punya waktu luang.?Sumber: Kisah Koresponden Majalah Hai 1992-2000?#hai35?

Wawancara Haryo Bimo Utomo

Beberapa waktu setelah Kristupa meninggal dunia, keluarganya memutuskan untuk memberikan koleksi buku-bukunya kepada perpustakaan SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Aku bertanya pada Pittor apakah Kristupa memang memberikan wasiat seperti itu?

Kawan yang kini bermukim di Singapore bersama keluarganya itu menjawab, ?Gak juga. Tapi karena kami “tahu” Kristupa lebih senang jika barang-barang yang dia punya memberikan manfaat buat sesama (maka kami menghibahkan buku-bukunya untuk De Britto –dv)?.

Bagi Tuhan dan bangsaku,

DV,
Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta 1996

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Jalan hidup siapa yang tahu. Itu misteri yang harus dicari. Siapa sangka anak geologi tapi jadi fotografer jempolan.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.