Korupsi dan Kompetisi

2 Feb 2012 | Cetusan

Bagiku, bencana korupsi itu marak salah satunya karena manusianya tamak!
Sifat alamiah manusia yang satu ini, tamak, terpicu karena tak adanya batas kepuasan ditambah dengan perasaan harus menang apapun dan bagaimanapun caranya. Keharusan itu timbul karena kita mengandaikan hidup ini tak ubahnya sebagai sebuah perlombaan yang bersifat mutlak dan tak bertoleransi.
Sayangnya, sejak kecil kita memang dibiasakan untuk berkompetisi! Di sekolah misalnya, kita selalu dituntut untuk menjadi yang terbaik berbasis angka karena angka dianggap menyimpan informasi tentang peringkat kita dalam penguasaan mata pelajaran berbanding yang lainnya, kawan sebangku yang akhirnya menjadi lawan kita.

“…meletakkan arti kebebasan hanya sebatas hal-hal tersebut adalah seperti memetakan dunia dalam sekotak televisi berukuran empat belas inchi, tak optimal.”

Padahal pada kenyataannya, tak selamanya angka itu pandai berbicara karena kehidupan ini tak semuanya bisa diperhitungkan dan dirasionalisasikan.
Hingga sebelum akhirnya takdir membawaku mengenyam pendidikan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta pada 1993 – 1996, akupun penikmat kompetisi nan menyeramkan itu! Orang tua selalu menyarankanku untuk mendapatkan posisi juara di kelas dengan nilai-nilai mata pelajaran yang tinggi tanpa pernah memberi beban kepadaku bahwa aku harus mengerti kenapa aku bisa dapat posisi juara dan sedalam apa aku mengerti mata pelajaran yang diberikan seolah hal-hal tersebut datang otomatis bersama dengan peringkat yang kuraih.
Di De Britto lah aku diberi wacana baru tentang arti sebuah kompetisi.
De Britto mengajarkan prinsip kebebasan yang bertanggung jawab bagi siswanya. Orang mungkin hanya melihat kebebasan itu dari sesuatu yang kasat mata yang selama ini menjadi ciri khas anak-anak De Britto saja. Misal, siswa berrambut gondrong, seragam sekolah yang bebas, serta diperbolehkannya mengenakan sendal gunung ketimbang melulu menggunakan sepatu yang tertutup rapat.
Tapi meletakkan arti kebebasan hanya sebatas hal-hal tersebut adalah seperti memetakan dunia dalam sekotak televisi berukuran empat belas inchi, tak optimal.

“Siapa di antara kalian yang tak ingin mencibir para koruptor? Kurasa tak ada karena mereka memang manusia bermartabat rendah yang patut direndahkan karena kelakuannya.”

Kebebasan yang diberikan pada para siswa di De Britto tak semata-mata seperti memberi keliaran pada kawanan kuda di sebuah padang rumput.,Ttapi lebih dari itu, kebebasan yang diberikan justru membuat kami berpikir apa imbas dari setiap hal yang kami lakukan berdalih kebebasan itu sendiri. Hal inilah pada akhirnya yang menjadi esensi dan memicu kami untuk berpikir sebelum bertindak, semisal di bawah ini.
Kenapa harus gondrong? Kenapa harus tak gondrong? Apa akibat dari keduanya?
Kenapa harus menggunakan kaos kusut? Kenapa milih berbusana parlente ke sekolah?
Kenapa harus menggunakan sepatu dinas dan bukannya menggunakan sendal gunung?
Tempaan atas nilai ?bebas bertanggung jawab? ini pada akhirnya terimplementasi nyaris pada semua hal selama bersekolah di De Britto termasuk dalam berkompetisi.
Dalam hal yang satu ini, pengejawantahan nilai tersebut tampak pada penentuan sikap ketika sedang memilih untuk bersikap jujur dalam berkompetisi atau memilih curang untuk menang.
Terlepas dari pakem dasar bahwa ketidakjujuran adalah sebuah kesalahan, kami dididik untuk tak hanya pasrah pada ?salah? atau benar saja tapi lebih dari itu, kenapa kita berani memilih bersikap jujur atau sebaliknya, kenapa engkau tak takut memilih untuk curang dalam berkompetisi karena kedua sikap tersebut akan mendatangkan akibat yang berbeda satu sama lain.
De Britto juga mengenalkan jargon man for others, bagaimana membuat hidup kita berguna bagi sesama. Sesama dalam pandangan kami bukanlah mereka yang hanya sama-sama satu agama, sama-sama satu ras dan daerah tapi sesama dalam arti luas yaitu sesama manusia tak peduli siapapun itu.
Idealnya, konsep Man for Others sendiri sebenarnya tidak lantas melemahkan konsep persaingan semata karena kita harus peduli terhadap sesama karena bukankah kepedulian bukan berarti kita harus kalah ataupun mengalah jika memang keduanya malah nanti tak lebih memajukan sesama kita?
Justru sebaliknya, menempatkan konsep ?man for others? sebagai tujuan dan menggunakan nilai ?bebas bertanggung jawab? dalam kaitannya dengan berproses untuk mendapatkan hasil kompetisi tersebut sesungguhnya adalah amunisi yang lengkap.
Mereka bukan hanya bicara tentang bagaimana cara mengalahkan lawan dan meraih kemenangan saja, tapi juga bicara tentang bagaimana berproses dan menghayati proses tersebut detik demi detik dengan terus mengutamakan self-checking atas tanggung jawab nantinya serta berorientasi pada kemajuan manusia seutuhnya termasuk dirinya sendiri, keluarga, umat manusia dan lingkungan serta Tuhan.
Nah kalau sudah demikian, cerita-cerita soal bagaimana orang mencuri uang dan kesempatan dengan cara selintat-selintut seperti yang sekarang marak ditayangkan media tak lain adalah upaya untuk mempermalukan nilai kepedulian dan kebebasan manusia dan berakibat pada perendahan martabat manusia.
Tak percaya?
Siapa di antara kalian yang tak ingin mencibir para koruptor? Kurasa tak ada karena mereka memang manusia bermartabat rendah yang patut direndahkan karena kelakuannya.

Selamat hari Pesta Nama Santo Yohanes De Britto, 4 Februari 2012!

Sebarluaskan!

22 Komentar

  1. ya, aku setuju bahwa muara korupsi itu semata-mata karena tamak. aku tak tahu kenapa banyak sekali orang di sini yang tidak bisa mengendalikan ketamakannya. apakah memang sulit ya? aku nggak ngerti don. tapi yang aku heran juga, di sini ritual agama begitu didewakan. rasanya kok makin nggak masuk akal ya? orang korupsi, tapi di lain pihak sangat beragama. tapi memang agama kalau dijalankan ritualnya saja, hanya membuat orang jadi bodoh dan hilang kesadarannya. ya, masuk akal deh jadinya..
    tulisanmu ini kayaknya bisa dijadikan promosinya de britto hehehe. tapi promosi yang baik kok haha!

    Balas
  2. cah de britto ki ancen fanatik karo SMA-ne :D

    Balas
  3. Aduh,
    Kok ada kuluman senyumku ya, ujung dan pangkalnya JB jee…… *Piss Dab*
    Tapi terlepas dari JB, Tamsis, MUHI, BOSA, PL, dan lain-lain aku sependapat dengan tulisan yang panjenengan sematkan ini kok…

    Padahal pada kenyataannya, tak selamanya angka itu pandai berbicara karena kehidupan ini tak semuanya bisa diperhitungkan dan dirasionalisasikan.

    Tatkala pokok bahasan ‘korupsi’ berhubungan dengan ego pribadi (kira2 begitu aku memaknai dari journal ini juga) Maka memang tak jauh berpikirnya hanya pada angka alias Matematis.
    Padahal di sisi lain sebagaimana para welas asih pun para bijak berujar, tak semuanya bisa di analogikan apalagi di realisasikan secara matematis pun tehnis. Bahwa kebenaran itu bertingkat, Bapak bilang kepadaku bahwa hal ini benar, namun bisa jadi ketika adikku bertanya dijawabnya “kurang benar”
    Tapi bagaimana tatkala kita melihat ‘gambling’nya para politikus bahwa lima kali lima bukan duapuluhlima hasilnya..?
    nah lo…? Trus piye jal…? #mdrcct :(
    Btw, jelang Pesta Nama Santo Yohanes De Britto, 4 Februari 2012! Tetap nitip ucapan SELAMAT lewat lapak ini juga…
    Matur sembah nuwun…

    Balas
  4. Salam AMDG Mas!
    Tulisannya mengingatkan saya tentang tanggal 4 Februari! Hehehe..
    Bahwa kebebasan membentuk anak JB kalau nggak jadi anak baik, ya jadi maling.. Ada yang bilang begitu :)

    Balas
  5. Korupsi sudah dimuali sejak dini om, kalau menurutku karena dimulai dari kebiasaan. Anak2 tetanggaku kalau diminta membelikan rokok oleh orangtuanya,…. kembalian tak pernah nyampe :P

    Balas
    • Masih mending, anak tetanggaku dulu gak cuma kembalian yang ga sampe, rokok juga berkurang beberapa :)

      Balas
  6. korupsi itu kadang terjadi juga saat kita meletakkan ‘martabat’ itu pada harta-tahta. dan masyarakat menuntut hal serupa, hingga secara bersama-sama mengamini dan membenarkannya.
    ups, salam kenal mas. :)

    Balas
    • Pemikiran yang sip! Salam kenal juga :)

      Balas
  7. selamat hari nama itu termasuk ulang tahun? atau apa? maaf saya ndak tau, mas Don. Semoga njenengan berkenan menjelaskan.
    Mas Donny ini bangga sekali terhadap SMAnya ya..

    Balas
    • Halo, dalam ajaran Gereja Katholik, pesta nama itu adalah hari yang ditetapkan oleh gereja untuk memperingati seorang yang dianggap suci (santa, kalo cewek, santo kalo cowok).
      Nah, pesta nama (meski tak semuanya) dikaitkan dengan hari kematian sang santo/santa.
      Untuk Santo John de Britto sendiri, pesta nama diperingati tanggal 4 Februari karena pada tanggal itu ia dihukum mati di India sekitar abad ke-15 dulu.
      Demikian, trims sudah bertanya dan semoga puas dengan jawabannya hehehe

      Balas
  8. Kangen juga sama lagu itu… keren…
    Tambah satu motto lagi dong.. Ad maiorem Dei gloriam dari Jesuit…

    Balas
    • Sengaja tak melibatkan AMDG karena itu terlalu “Katholik” sekali… :)

      Balas
  9. sekolahnya lagi ulangtahun toh..
    aaahhh kalau aku bebas jaman kuliah.. yg laen pake rapi.. klo anak teknik bebas pake sendal jepit sama kaos oblong..
    maslah korupsi mikir dulu deh..

    Balas
    • Hoo?

      Balas
  10. Wah, tinggal besok pesta nama yah? Mengingat masa2 yang sangat patut untuk dikenang.
    Setuju sama kakak kelasku ini. JB mengajarkanku untuk hidup bebas tapi bertanggung jawab. Bebas gondrong, tapi bertanggung jawab untuk rajin shampoan. Bebas pake sendal gunung yang terbuka, tapi bertanggung jawab untuk membersihkan kaki dan sendalnya “ben ra mambu”. Bebas bertanggung jawab seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari. Anda bebas merokok, tapi bertanggung jawab atas puntung rokoknya. Bebas berdemo asal bertanggung jawab atas segala tindakan yang Anda lakukan.
    Satu lagi yang aku banggakan adalah apa yang disebut mas Don, jargon JB, Man For Others. Sangat setuju dengan penggambarannya mas Don, bahwa Man For Others haruslah dilakukan terhadap sesama Manusia, tanpa memandang apapun itu. Masih terekam dengan sangat baik saat Misa pertama di SMA kebanggaan tersebut, saat Romo yang memimpin Misa bercerita bahwa ada satu anak Chinese yang berkeberatan dipanggil “Cino” oleh temannya. Romo ini kemudian menjawab dengan lantangnya ” Kowe ki Cino dudu? Nek kowe pancen Cino, lha ngopo nesu diundang Cino? Kudu ne kowe nesu nek kowe diundang Jowo, opo Mbatak, opo Papua”. Untuk terjemahan bebasnya, Romo tersebut menjawab “Kamu itu Cina bukan? Kalo memang kamu Cina, kenapa kamu mesti marah dipanggil Cina? Kamu harusnya malah marah kalo dipanggil Batak, Jawa, atau Papua.” Sejak saat itu, tiap anak2 yang di JB dengan bangganya menyebut asal muasalnya, entah itu Cino, Mbatak, Jowo, dekaka.
    Selamat Hari Pesta Nama untuk sekolahku tercinta. Untuk semua civitas De Britto: Keep Man For Others!!!

    Balas
    • Go, JB! :)

      Balas
  11. Koruptor memang merugikan, tak sedikit yg membenci mereka…
    Kekuasaan dan kebebasan membuat mereka semakin subur beraksi…
    Tapi seandainya saya di posisi yg memberikan banyak peluang untuk korup, mungkin juga saya menjadi salah satu dari mereka (menghayal jadi koruptor), hehehe…

    Balas
    • Tinjauan yang jujur, Salut! Tapi saya juga barangkali demikian :)

      Balas
  12. tuh sekolah belanda ya mas DV ?
    semua ini bisa kita katakan sebagai penyakit nomor 1 di Indonesia, bagiamana tidak, masa demi masa, pemerintahan demi pemerintahan telah berganti, namun kenapa penyakit ini tidak pernah dapat dihilangkan.. Jujur saya sangat suka kpk waktu dipimpin oleh Pak Antasari, banyak para koruptor yang ditangkap, namun disayangkan pula karena jam terbangnya yang tinggi pula, ia dijebak dan dijebloskan ke penjara, agar para tikus kantor itu bebas berkeliaran dan mengatur koloninya…

    Balas
    • Bukan sekolah Belanda… sekolah Katholik di Jogja, Indonesia :)

      Balas
  13. aku pernah “pacaran” sama anak De Britto yang trus pindah ke CC Jkt :D
    Kalo kami Tarki pesta namanya CB (carrolus borromeus bukannya cewek brengsek meskipun kami sering pakai juga singkatan itu untuk menggambarkan kebrengsekan kami)
    Selamat! Man for Others memang hebat! (Boleh diganti juga Women for Others kan? hehehe)

    Balas
  14. Saya berusaha mencerna kalimat-kalimat ditulisan ini, semoga bisa saya terapkan kepada diri saya sendiri serta anak saya. Walaupun saya tahu setelah mengerti maksud tulisan ini belum tentu mudah untuk melakukannya, apalagi mengajarkannya kepada orang lain (anak saya).
    Sejak anak saya lahir, saya sudah memberitahukan keinginan saya kepada istri bahwa saya ingin anak saya nanti bisa menjadi orang yang baik. Khusus di sekolah, saya tidak ingin menekan dia untuk menjadi hebat dan juara dikelasnya. Saya ingin dia berusaha semampunya, apapun hasilnya yang penting dia lakukan dengan sepenuh hati, maka itulah yang terbaik untuk dia.
    *eh ini saya kok jadi curhat ndak jelas gini ya

    Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Mas Bram! ? Donny Verdian - [...] ‘seniman’ kepadanya, tapi bagiku lebih dari seniman. Ia adalah kawan. Sesama lulusan SMA Kolese De Britto Yogyakarta, meski ia…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.