Gereja Kobar (Kotabaru) tak hanya pernah membuatku imanku berkobar, tapi ia juga saksi kehidupan remajaku di Jogja yang berkobar-kobar.
Dari sisi bangunan, tak ada yang istimewa dari Gereja Kobar dibandingkan dengan gereja lainnya.
Kalau takaran megah adalah atap-atap tinggi yang berelung dan berpilar-pilar besar berornamen masa lalu, Gereja Kobar jauh daripada itu.
Bentuknya standard, kalaupun ada satu yang membuatnya beda adalah hiasan mural di sekeliling tembok bagian atas dengan warna-warna terang yang membuat gereja ini terkesan muda.
Dan sejatinya memang Kobar identik sebagai gereja kaum muda lengkap dengan kegiatan-kegiatan yang digerakkan dan menyasar kaum muda Yogyakarta (dan konon membuat banyak pastor paroki lain kebat-kebit umat-umat mudanya pindah ke Kobar semua!)
Aku tak ingat kapan pertama kali ke Gereja Kotabaru tapi seingatku saat kelas satu dan kelas dua SMA aku belum terlalu hobi ke gereja. Lagipula kalau harus ke Kobar aku belum punya sepeda motor sementara nyepeda atau naik bus dari Papringan ke Kotabaru itu bikin males apalagi minggu pagi?
Mungkin kelas tiga SMA, kalau tak salah aku mulai rajin ke Kobar.?Tapi alasanku ke sana bukan mencari Tuhan? boro-boro! Yang ada di otak cuma cewek, cewek? dan cewek!
?Kalau mau cari pacar anak stece atau stero ya ke Kobar!? tukas temanku yang berpacaran dengan anak stece dan konon perkenalannya ya dari Kobar!
Oh ya, stece adalah Stella Duce 1 dan stero adalah Stella Duce 2 / Loro. Sekolah homogen perempuan sementara De Britto adalah homogen laki.
Nafsu untuk punya pacar memang sedang tinggi-tingginya waktu itu dan kupikir cara cepat untuk mencari pacar dan seiman ya ke sana, ke Kobar!
Aku selalu datang ke Kobar saat jam-jamnya anak Stece atau Stero pergi ke gereja. Duduk di kursi yang letaknya di belakang rombongan terbesar dari mereka supaya saat ?Salam Damai? dikumandangkan, aku bisa bersalaman dengan mereka. Syukur-syukur kenalan, kalau tidak, membayangkannya saja sudah lebih dari cukup untuk menuntasi birahi malam harinya hahaha?
Kencan pertamaku dengan calon pacar waktu itu juga terjadi di Kobar, Kotabaru.?Alih-alih ke bioskop atau makan, aku mengajaknya ke gereja.
?Kapan?? tanyanya.
?Besok pagi. Pagi buta. Misa pagi. Gimana??
Ia mengangguk dan paginya di tengah hawa dingin pukul lima aku membesut Jogja ke arah Dr Sutomo lalu ke gereja berboncengan.
Lalu setelah pacaran, gereja jadi langganan tempat nge-date setiap minggu pagi. Bukannya supaya tampak alim tapi karena kalau ke bioskop dan makan mahal tiap minggu ya tekor kita!
Ketika sedang tak berpacar, Kobar adalah tempat untuk berkeluh kesah. Pada saat-saat lemah karena tak berpacar seperti itu, perhatianku tertuju benar pada Tuhan. Mengaduh, merintih kenapa harus tak punya pacar?
Tapi lama-lama bosan merintih terus, perhatian pindah lagi fokusnya tak pada Tuhan tapi pada wanita-wanita lain yang hadir yang seolah kuanggap sebagai jawabanNya untuk mengisi hati yang suwung nan kosong ini. ?Yang lalu biarlah berlalu, toh masih banyak bunga bakung di padang diberi keindahan olehNya? Hahahaha?.
Saat aku berpacaran dengan seorang muslimah taat, aku toh tetap ke Kobar. Kalau saatnya misa, ia menungguku di Masjid Syuhada Kotabaru yang jauhnya tak seberapa. Sebaliknya, kalau ia merasa perlu ke masjid, aku minta diturunkan di Kobar, ?Nanti kamu kalau sudah selesai jemput lagi di sini ya. Masuk aja gak papa aku cuma mau doa sebentar!?
Lalu ketika akhirnya aku pacaran serius, di Kobar juga aku berteduh mencari kepastian kepada Tuhan dan bertanya, ?Tuhan, yakin ini pacarku yang serius??
Ketika aku berada di persimpangan (lebih tepatnya menyimpangkan diri) untuk tetap berada di Jogja atau pindah ke Sydney untuk hidup selanjutnya, aku memulai perjalanan ?mohon petunjuk? ya dari Kobar.
Ingat betul waktu itu malam sekitar pukul 7:30, setelah bertemu dengan pastor yang adalah sahabatku untuk berbincang tentang pergumulanku itu, aku menyandarkan sepeda motorku di selasar parkir gereja lalu masuk menuju ke patung Hati Kudus Yesus di sisi kanan latar.
Doaku waktu itu begini, ?Biarlah mulai saat ini mulut semua orang yang akan kutanya soal pergumulanku ini menjelma menjadi mulut-mulut yang menyuarakan suaraMu, Tuhan!?
Lalu sekitar enam bulan sesudahnya ketika aku mendapat jawab dan mencapai sepakat untuk pindah, pada sekitar waktu yang sama, aku menyalakan lilin di depan patung Hati Kudus Yesus dan berucap, ?Matur sembah nuwun, saya sudah memutuskan?? Lalu pergi.
Waktu libur ke Indonesia kemarin, 10 – 17 Juni 2016, aku meluangkan waktu barang sebentar ke Kobar.
Awalnya tak sengaja karena sebenarnya aku dan Kunto justru hendak pergi ke coffeeshop seberang tempat dimana pertemuan alumni JB 96 direncanakan untuk diadakan.
Tapi kami datang kepagian lalu memutuskan, ?Ke Kobar yuk?!?
Berjalan kaki kami masuk lewat pintu samping yang sudah kuanggap pintu utama karena aku selalu masuk dari sana lewat parkiran.
Kobar sore itu sudah sepi. Misa harian usai diadakan menyisakan beberapa gelintir pemuda dan pemudi yang duduk-duduk entah berdoa, entah sedang pendekatan.
Bersama Kunto aku masuk duduk di kursi deret kedua di depan altar.
Kupandangi gereja itu, kubenamkan kenanganku sedalam-dalamnya untuk beberapa saat mengulas dan mengingat semua yang kutulis di atas untuk hadir sehadir-hadirnya?
Tak seberapa lama aku tak mengijinkan diriku larut. Terbenam boleh tapi jangan sampai terjerembab pada kenangan. Pantang!
Ketika kubuka mata, aku berkata pada Kunto, ?Gereja iki selalu menarik, memikat??
Ia manggut-manggut. Tak semua ucapan memang perlu konfirmasi selain gestur tubuh yang menguatkan.
Jarum jam terus melaju tak terasa setengah jam aku larut dalam hening. Tak ada satu untai doa pun kuucap kepada Tuhan yang hadir dan bertahta di sana. Aku hanya hening benar-benar?.
Lalu sepintas kemudian Penjaga Gereja yang masih kukenal betul parasnya masuk ke dalam.
?Pun meh tutup, Pak?? tanya Kunto padanya.
?Inggih, Mas.. Jam wolu…?
Kami tahu diri. Kami meminta diri.
Aku berlutut di depan altar, menatap Yesus dalam-dalam lalu membuat tanda salib.
Sebelum keluar, kupandangi dinding-dindingnya sebelum akhirnya aku benar-benar pergi..
Di selasar, serpihan ingatanku masih tak mau pergi.
Kali itu aku mengingat apa yang kulakukan terakhir kali saat aku datang malam hari, 30 Oktober 2008 sebelum pergi ke Sydney dua hari kemudian.
Keadaan waktu itu sepi, senyap seperti malam ketika kudatangi dua minggu lalu.?Aku masuk ke gereja. Mendekat ke dinding. Jari telunjuk kutempelkan di sana lalu aku jalan pelan-pelan memutarinya, mengucapkan terimakasih untuk kungkungan gedung yang kokoh itu selama ini.
Entah, kalau aku tak dikobarkan di Kobar, mungkin aku sudah tak beriman. Kalau aku tak menyerahkan diri di Kobar, mungkin ajakan mantan-mantanku yang kebetulan berbeda agama dulu untuk beralih ke agama mereka juga benar-benar kejadian.
?Kalau kamu mau jadi suamiku kamu harus jadi imamku. Mana bisa jadi imam kalau kamu masih beda agama dariku??
Setelah memutar, aku berhenti di depan Patung Hati Kudus Yesus.?Mataku, sejauh yang kuingat, sebak betul saat itu tapi aku menguatkan diri untuk pamit dan berdoa. Doa yang tak satupun dari kalian bahkan siapapun itu akan pernah kuberitahkan detail kata-kata yang penuh nyeri tapi sesudah semua kukatakan membuatku berseri-seri…
0 Komentar