Klaten

26 Mar 2015 | Cetusan, Indonesia

blog_klaten_14

Stasiun Klaten

 

?Saya Donny Verdian, dari Klaten!?
Begitu aku selalu memperkenalkan diri ketika bertemu dengan sesama orang Indonesia di Australia sini.

Dari dulu hingga sekarang dan semoga untuk selamanya, aku memang tak pernah malu mengakui diri sebagai orang yang berasal dari kota kecil yang letaknya di antara Solo dan Jogja itu.

***

Meski pada kenyataannya, dilihat dari sejarah, aku sebenarnya tinggal di Klaten tak lebih dari tujuh tahun saja.

Aku memang lahir di sana pada akhir tahun 1977, tapi sejak awal 1984, Papa yang telah lebih dulu merantau ke Kebumen, sebuah kota kecil lainnya di sebelah barat Jogja sekitar 110km jaraknya, memboyong aku dan Mama. Chitra, adikku sekaligus saudara kandungku satu-satunya, baru lahir setahun kemudian.

Di Kebumen aku lantas menetap hingga medio 1993 sebelum akhirnya aku memutuskan merantau, memisahkan diri dari keluarga untuk hidup mandiri bersekolah di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.

Keluarga orang tua beserta adikku memang akhirnya pindah dari Kebumen ke Klaten pada 1998, tapi saat itupun aku sudah sangat jarang kembali ke Klaten. Paling hanya tiap akhir pekan, itupun hanya beberapa jam saja lamanya sebelum akhirnya kembali ke Jogja.

Oleh karenanya memoriku terhadap Klaten terutama soal sahabat dan tempat sangatlah terbatas.

Aku akan diam dan berujar, ?Wah maaf nggak kenal!? kalau ada yang bertanya, ?Oh kamu dari Klaten? Kamu harusnya kenal si A dong? Dia seumuran denganmu!?

Mereka tak tahu bahwa sahabat-sahabatku di Klaten hanyalah mereka teman main sekampung, atau teman-teman yang pernah sama-sama duduk di bangku kelas nol kecil TK Maria Assumpta saja! Bayangkan, TK nol kecil dan itu terjadi pada tahun 1983 – 1984? Siapa yang masih memelihara repihan ingatan sedalam dan sejauh itu dalam benak?

Walau memang pada akhirnya ada satu-dua kawan TK nol kecil yang kutemui lagi saat duduk di bangku SMA Kolese De Britto atau saat kuliah di Unveristas Kristen Duta Wacana. Ada pula seorang yang kukenal lagi lewat social media.

Demikian juga soal tempat.
Aku hanya mengenal Jalan Pemuda dan kampungku Tegal Blateran saja! Selebihnya paling Semangkak dan Sungkur (makam leluhurku), Sidowayah, Stasiun, Bareng, Karang Duwet, Mojayan, Srago lalu sudah. Kalau ada yang bertanya misalnya, ?Rumah kamu berapa jauh dari Tonggalan?? Aku akan geleng-geleng kepala juga, tak tahu dimana Tonggalan itu berada!

blog_klaten_10

Aku di depan rumah asalku di Kampung Tegal Blateran yang kini sedang direnovasi adikku, Chitra

 

blog_klaten_08

Aku dengan Mak Ndhuk, pengasuhku saat kecil. Kini sedang sakit dan sudah tampak begitu renta…

blog_klaten_09

Yang ini Mbak Benik namanya. Anaknya Mak Ndhuk…

 

Nah, kesempatan menjenguk Mama minggu lalu kumanfaatkan untuk lebih mengenal Klaten. Dalam kunjungan selama tujuh hari itu, seharusnya aku memang tinggal dan menginap di rumah. Tapi karena rumah keluargaku yang berada di kampung Tegal Blateran sedang direnovasi, Chitra dan suaminya, Ayok, mengontrak sebuah rumah nan mungil untuk sementara sambil menanti rumah utama jadi. Untuk itu aku memilih bermalam di hotel saja daripada merepotkan.

blog_klaten_01

Hotel yang kupilih adalah Hotel Perdana Raya yang letaknya ada di jantung kota Klaten.?Pertimbanganku menginap di situ ada dua, harga yang tak terlalu mahal dan nostalgia.

Hotel ini milik keluarga besar salah seorang kawan TK dulu, Vita namanya. Dari serpihan ingatan yang masih ada, aku ingat dulu pernah diundang ke acara ulang tahunnya bersama Mama. Bayangan suasana pesta ulang tahun Vita yang masih melekat itulah yang membuatku memilih untuk menginap di sana dan bukan di hotel yang lainnya.

Sehari sebelum pulang ke Sydney, pada separuh pagi, aku keluar hotel dan jalan-jalan menyusuri kota, menggenapi nostalgia dan kenangan yang telah ada separuhnya sebelumnya.

Ide ini spontan lahirnya.
Semula aku hanya ingin mencari sarapan di sekitar hotel tempatku tinggal. Tapi hingga beberapa lamanya aku tak kunjung menemukan, niatan kuubah kenapa tak sekalian ke Bakso Anda saja?

Aku dan Lie Fock Kuang, kawanku saat TK lalu ketemu lagi di De Britto dan kini jadi teman akrab, pengelola Bakso Anda yang melegenda

Aku dan Lie Fock Kuang, kawanku saat TK lalu ketemu lagi di De Britto dan kini jadi teman akrab, pengelola Bakso Anda yang melegenda

Bakso Anda adalah warung bakso legendaris di kota Klaten.
Pemiliknya dulu adalah sahabat Mamaku. Aku ingat, waktu kami pindah ke Kebumen, pemilik Bakso Anda memberikan kenang-kenangan sebuah jam dinding dan? tulang belulang kepala babi yang katanya bagus untuk tolak bala di rumah yang akan kutempati!

Anaknya yang kini menjadi penerusnya, Lie Fock Kuang, adalah kawanku di TK Maria Assumpta yang lalu bertemu lagi ketika kami sama-sama studi di SMA Kolese De Britto dan kami bersahabat hingga sekarang.

Setiap pulang ke Klaten, aku tak pernah melewatkan kesempatan untuk setidaknya sekali makan bakso dan ngobrol ngalor-ngidul bersama Kuang.

Pada hari kedua kedatanganku, Senin sore, aku sebenarnya sudah mampir makan ke Bakso Anda, tapi aku pikir ada baiknya aku ke sana lagi untuk sekalian berpamitan karena akan pulang ke Sydney keesokan harinya.

Untuk menuju ke Bakso Anda yang letaknya di Jl Dewi Sartika, aku menyusuri kompleks pertokoan Jl Pemuda yang merupakan jalan protokol di Klaten.

Dulu, pada era 1980 – 1983, setiap Papa pulang mudik malam mingguan dari Kebumen, ia selalu mengajak kami jalan-jalan ke situ untuk berbelanja lalu makan. Mama biasanya dibelikan pakaian, tas ataupun sepatu baru, sementara aku selain juga dibelikan tas, pakaian dan sepatu baru, aku kerap merengek minta dibelikan mainan baru.

Menjelang pulang, biasanya Papa mengajak makan kalau nggak di Bakso Anda yang dulu letaknya di dekat alun-alun Klaten atau di Bakso Miroso yang letaknya di depan toko terbesar di Klaten waktu itu, Laris.

Kebanyakan toko-toko yang berada di Jl Pemuda yang kulewati pagi itu masih sama dengan apa yang kulewati tiga puluh tahun silam.

blog_klaten_04

Rugos, huruf gosok

blog_klaten_06

Display yang berdebu

blog_klaten_05

Kalau bukan aku dan kita, siapa yang mampu menyelamatkan eksistensi Bahasa Jawa?

blog_klaten_12

Toko legenda, perhatikan tanggal berlakunya :) Aku menatap papan nama yang sama dengan saat kutatap, tiga puluh tahun silam…

 

Djangkar masih setia dengan besi dan alat-alat bangunanannya, Redjo dan Mandjur masih menjajakan obat, Toko Florida masih jualan roti dan Sumber Kawruh di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi masih giat mencoba menjadi sumber kawruh/ilmu dengan tetap berjualan buku dan alat tulis bagi pelajar.

Sebagian toko memang sudah direnovasi lengkap dengan segala kegenitan era masa kini, tapi ada juga yang masih tetap tampak sedia kala dengan tatanan dan bahkan etalase kayu yang menarik untuk disentuh karena apa yang kusentuh saat itu pasti adalah hal yang sama yang kusentuh di masa silam itu.

Meski demikian ada juga toko yang telah berubah konsep jualannya. Laris, adalah salah satu contohnya. Dulu Laris berkonsep toko pada umumnya saat itu, menjual segala sesuatu yang ?terdepan? dengan konsep etalase, tapi kini ia memindah konsep itu di lantai dua sedangkan pada lantai dasar dipakai untuk berjualan groceries yang sangat laris, sesuai namanya, dan ramainya kalau kata orang Klaten, ora mekatilok itu!

Yang amat disayangkan adalah hilangnya blok pertokoan yang letaknya di sisi alun-alun yang bersebarangan dengan Masjid Raya Klaten.

Dulu di situ selain ada Bakso Anda juga ada deretan toko pramuka dan alat sekolah, Endras, berderet dengan toko alat elektronik yang aku lupa namanya serta penjual gorengan ?Bolang-baling? yang lezatnya tak kentara itu!

Di situ dulu juga ada bioskop legendaris kota, Rita namanya. Waktu kecil alm. Papa dan Mama pernah mengajakku nonton beberapa kali dan satu yang kuingat adalah Kingkong.

Waktu aku duduk di bangku SMA dan kuliah di Jogja, ketika pulang ke Klaten, aku kerap diajak nonton film esek-esek oleh kawan-kawan main kampungku waktu kecil. Suasananya riuh rendah! Setiap ada adegan hendak membuka baju atau ciuman, seisi bioskop penuh cecuitan lalu tiba-tiba ketika film terpotong karena sensor, suara orang ngedumel terdengar di sini sana!

Oh ya, yang juga tak bisa lepas dari ingatanku, setiap nonton Rita, pantat dan pahaku selalu bentol-bentol karena gigitan bangsat-bangsat penghisap darah yang bersembunyi di sela rotan dan spon kursi yang busuk!

blog_klaten_03

Di muka dinding inilah, tiap malam minggu ketika jalan-jalan bersama alm. Papa dan Mama, aku selalu bernyanyi “Kidang Talun”

 

Dari arah alun-alun, aku menuju ke kampung Tegal Blateran.
Untuk menuju ke sana aku melewati rumah yang pada dinding mukanya berhiaskan teralis berbentuk kijang dan waktu kecil, ketika jalan di depannya bersama alm. Papa dan Mama dulu, aku selalu bernyanyi riang,

Kidang talun,
mangan kacang talun,
mil kethemil mil kethemil
si kidang mangan lembayun
(RC Hardjasubrata)

Di perempatan masuk kampung Tegal Blateran, aku bertemu dengan mBambung, kawan mainku waktu kecil yang sekarang jadi tukang becak dan biasa ngetem di situ.

Kami ngobrol sebentar. Ia yang tahu kondisi Mamaku menyampaikan rasa prihatinnya dan mendoakan yang terbaik.

Tak lama sesudahnya aku lantas belok kanan menyusuri Jalan Garuda menuju ke warung Bakso Anda. Laparku menggelembung dan membayangkan bulatan-bulatan bakso itu alangkah menyenangkan untuk disantap sepagi itu!

Tapi sayang, laparku pada bakso bikinan teman dekatku itu tak tunai. Aku sampai di pintu Bakso Anda yang telah terkunci itu 10 menit terlambatnya dari jadwal tutup warung, 10:30 WIB!

Agak kecewa memang tapi ya sudahlah, toh selalu ada hari esok untuk kembali pulang ke Klaten dan mampir makan disitu dan bercengkrama sebentar dengan Fock Kuang!

Selat Klaten

Selat Klaten

Sekitar lima puluh meter dari Bakso Anda, ada warung Selat dan Gado-gado Klaten yang kesohor! Penjualnya adalah kawan baik eyangku maka mampirlah aku ke sana.

Aku ingat dulu, Eyang yang semasa muda bekerja di Penerbit Intan Pariwara sebagai editor buku, pulang kerja sering membawakanku selat Klaten yang biasa kusantap setelah bangun dari tidur siang. Waktu itu, biasanya aku hanya kuat menyantap separuh lalu yang separuhnya dihabiskan Mama.

Tapi pagi itu, aku sadar bahwa ukuran lambung dan pencernaanku tak sesingset tiga puluh tahun lalu. Selat sepiring kusantap tandas tak sampai lima menit.

Dua menit kemudian ketika hendak membayar, rasa lapar kembali menyerang. Aku yang masih dikenal baik oleh penjualnya pun tahu diri untuk tak pesan tambahan meski aku bersedia membayarnya.

Aku lantas berjalan ke arah utara menuju ke hotel karena matahari telah tinggi dan aku harus bergegas mandi dan pergi menjenguk Mama.

Karena masih lapar, akhirnya aku mampir makan lagi ke Bakso Miroso yang kerap kudatangi dulu bersama alm. Papa dan Mama.

Masuk ke dalam warung itu, ingatanku terlempar ke era lalu.

Biasanya dulu aku duduk di muka jendela bujur sangkar dihimpit alm. Papa dan Mama. Sambil menunggu pesanan datang, aku biasanya merengek minta dibukakan bungkusan mainan yang barusan dibelikan sementara Papa menyuapiku es soda gembira dengan sendok teh-nya.

Ketika bakso datang, Mama lalu menyuapiku sementara tanganku sudah sibuk dengan mainan baru itu dan Papa juga sudah sibuk menikmati bakso pesanannya.

Tapi siang itu, setelah tiga puluh tahun lebih berlalu, aku mendapati diriku seorang diri di depan jendela yang telah jadi usang dan tetap berbentuk bujur sangkar itu. Papa telah tiada, empat tahun lalu dan Mama sedang berjuang dengan sakit kerasnya.

Aku memesan semangkuk bakso dan es soda gembira, pesanan yang sama dulu dipesan alm. Papa dan Mama.

Di meja sebelahku ada seorang Nenek beserta anak dan cucunya. Nenek itu kutaksir seumuran dengan Mamaku, dan si anak itu kira-kira lima tahun di bawahku. Sesekali si cucu yang kupikir berusia sekitar enam tahun menoleh dan menaruh perhatian kepadaku.

Aku membalas dengan senyum, lalu si cucu seolah melapor ke Nenek dan ibunya. Ketiganya lalu menoleh kepadaku dengan senyum dan kubalas juga dengan senyum?

Bakso Miroso dan jendela bujur sangkar itu...

Bakso Miroso dan jendela bujur sangkar itu…

Aku termangu dan merenung.
Dalam permenunganku itu, aku berpikir bahwa Waktu, sejatinya adalah seorang ahli matematika yang tak pernah salah. Ia tak pernah luput menambahkan kepada dirinya sendiri detik demi detik yang menggumpal menjadi menit lalu jam. Dari jam lantas beranjak ke hari, lalu minggu, bulan untuk menjadi tahun. Tahun demi tahun berganti, membawa gurat-gurat di wajah kita, membawa perubahan-perubahan di sekitar kita dan semakin mendorong kita pada akhir hidup masing-masing?

Pada si cucu itu, aku melihat diriku sendiri tiga puluh tahun yang lampau. Pada diriku sendiri, aku membayangkan si cucu itu akan berada, tiga puluh tahun mendatang dari sekarang.

Dan pada saat itu nanti aku tak tahu akan berada dimana?
Bisa jadi aku telah mati, bisa jadi pula aku akan diberi waktu untuk berjumpa dengannya di warung itu dalam suasana yang berbeda, aku yang semakin renta dan ia juga yang menua?

Tapi bisa jadi pula pertemuan di tempat itupun tak kan pernah ada lagi karena warung Bakso Miroso bisa bernasib sama dengan bioskop Rita, Toko Endras dan Bolang-baling yang digilas roda jaman untuk dalih kepentingan era baru dan pemimpin barunya nantinya. Tapi waktu, ia selama diijinkan ada, tetap akan ada? Ia tetap akan bermatematika, mengiterasikan diri dengan penambahan detik demi detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan menjadi tahun yang terus bergulung maju?.

Aku bersyukur untuk pengalaman pagi yang indah itu, sebuah permenungan yang melegakan.

Sesuatu yang membuatku tak pernah habis mengagumi karya Ilahi pada diriku yang tumbuh dan dibesarkan di sebuah kota kecil namun dikungkungi orang-orang yang begitu mencintaiku.

?Permenungan? yang sekaligus membuatku bangga akan asal-muasalku.
Sebagai orang yang tumbuh bukan di balik angkuhnya tembok kompleks real estate melainkan sebagai ?anak kampoeng? lengkap dengan suka dukanya yang organik dan tak dibuat-buat.

Sebagai anak yang muncul dari belaian kasih orang tua dengan sepoi angin yang melenakan di kampung tepian sawah dihiasi derasnya arus sungai Jalidin, bukan dari balik keindahan artifical dan kemacetan ibukota yang meninggikan tensi, memendekkan umur dan melelahkan?

Perkenalkan, saya, Donny Verdian, dari Klaten!

Sebarluaskan!

17 Komentar

  1. Saya Agus, dari Pekalongan!

    Balas
  2. Mas Donny, apik tenan ulasannya. Rinci dan seolah membawaku ketempat-tempat yang di ceritakan. Deretan bioskop Rita selain bolang-balingnya yg top, kue moho, untir-untir nya juga jos gandos, itu yang punya keluarga sahabatku waktu SD Kristen III.
    Terima kasih sudah membawaku secara imaginasi ke kota Klaten tercinta.

    Perkenalkan saya A. Adi Wijaya, juga dari Klaten, tinggal lama di Karang Duwet, lebih dikenal di kampung dengan sebutan anaknya “Bah Jakarta” ha..ha..ha..

    Balas
  3. aku jarwadi, wong gunungkidul, panganane thiwul

    Balas
  4. Cah mangkak liwat

    Balas
    • Mangkak lewat Macquarie Uni

      Balas
  5. Entah angin apa membawaku juga ke sini. Njenengan yang menjadi starting point saya belajar dunia web. Yunan.or.id terinspirasi dari Donnie.or.id

    Maturnuwun atas semua inspirasi dan kekeluargaan angkringan…:)

    Balas
    • Wah, Bro Yunan apakabar? Ya, saya masih ingat jelas dengan panjenengan :)

      Balas
  6. Tidak perlu malu dengan asal-usul kita. Hargailah diri sendiri apa adanya.
    Rinci gambarannya Don. Saya suka, dan terasa seperti mengalami sendiri dalam cerita itu.

    Balas
  7. bacanya berasa mbrebes mili…

    Balas
  8. Bolang Baling sekarang ada di dekat kantor BPJS.. Ga se-tradisional dulu waktu di dekat Rita..
    Tapi kue moho dan Bolang baling nya masih sangat enak dan lengket di mulut..
    Toko listrik dekat Rita namanya Palapa Jaya sekarang pindah di belakang taman kota..
    Warna nya masih biru sama dengan toko nya sebelum kena gusur..
    Ah pokoknya hanya di Klaten, masih ada yang jual bubur putih dan tahu dengan harga 2000 rupiah..

    Balas
    • Hanya di Klaten atau hanya di Karanganom Mudal? Karena katanya kalau di Blateran bubur tahu sudah delapan ribu? :)

      Balas
  9. Waktu tak pernah lupa untuk bergulir detik demi detik….

    Balas
  10. *nDjempol*

    Balas
  11. mantaf tenan tulisan panjenengan mas, kenangan akan masa lalu dan napak tilas seperti panjenengan juga pernah saya rasakan ketika saya masih di jogja dan mudik ke mblitar.
    kenalkan saya Dhika dari Mblitar

    Balas
    • Mbiltarnya mana?
      Alm. Bapak saya dari Blitar. Sampai sekarang eyang saya dan bude saya masih sugeng dan tinggal di Blitar, Bendo gerit…

      Balas
      • Saya di Sanan Wetan, ndak jauh dari Bendogerit. Jebul e donyane ciut yo mas… heheheh :D

        Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.