Kitab suci itu terbatas, kitalah halaman-halaman selanjutnya…

25 Mar 2013 | Agama, Cetusan, Tunggonono

Mungkin kita kadang terlalu membatasi pandangan tentang kemampuan dan kekuasaan Tuhan itu hanya pada apa yang tertulis di buku-buku suci dan dari apa yang disampaikan oleh para pengajarnya.

Adalah Asnawi, tentu bukan nama aslinya.
Ia kawan kerja di kantor lama yang baru kutinggalkan sekitar dua minggu yang lalu. Bekerja di divisi yang berbeda, persinggunganku dengannya paling hanya ketika ketemu di dapur untuk menyiapkan sarapan ataupun makan siang kami masing-masing. Itupun paling sebatas “G’day, mate!” atau “Hi, how’s thing!?” lalu basa basi sebentar bla bla bla, bli bli bli dan sudah, kami kembali ke meja kami masing-masing.

?Move on? you?ve decided, Mate!?

Tapi sekitar sebulan yang lalu, kira-kira dua hari setelah aku memutuskan untuk mengundurkan diri karena mendapat pekerjaan yang baru, dalam percakapan ‘basa-basi’ di dapur dengannya, aku mengabarkan bahwa aku hendak keluar. Ia terdiam sejenak lalu berujar “Oh, that’s good!” Sorot matanya tegas, ucapannya berbeda dengan basa-basi kami sebelum-sebelumnya.

Lalu kuutarakan tentang alasan kepindahanku tentang betapa aku perlu tantangan yang lebih selain tentu juga karena aku mendapatkan tawaran yang lebih ok dari sisi finansial, dan ia, Asnawi, menepuk bahuku, ?Tiga puluh lima tahun lalu aku berada pada posisi yang sama denganmu tapi bedanya aku tak pernah berpikir tentang peluang untuk mencari pekerjaan yang baru seperti yang kamu lakukan sekarang ini.?

Asnawi memang tak muda lagi. Kutaksir usianya sekitar 65 tahun dan barangkali pekerjaanya ini akan jadi pekerjaan terakhirnya sebelum pensiun dan menikmati masa senja hidupnya bersama istri di sisi timur Kota Sydney sementara keenam anaknya telah menyebar, melanjutkan hidupnya sendiri-sendiri.

“What??!?!! Anakmu enam?” Tanyaku sambil melotot.
“Yup!” Ia tersenyum. “Hmmm dan o well, back to that time, ya memang tak mudah. Aku kerja seorang diri sementara istriku mengurus anak-anak di rumah.”

Aku semakin terpaku mendengarkan ceritanya.
“Aku tak memiliki skill yang spesifik sepertimu jadi penghasilanku tak terlalu baik.”
“Hmm….”
“Dan tak seperti yang lainnya… aku tak bisa misalnya membelikan baju untuk anak-anak dan istriku di toko-toko terkenal! Aku hanya bisa membelikan mereka pakaian di Vinnies (nama organisasi yang menjual baju bekas layak pakai dengan harga yang sangat terjangkau)” Senyumnya agak getir terbentuk dari kerut wajahnya.

“Oh, but that’s ok, Mate! At least you did very well!” hiburku.
“Oh yeah… aku tak menyesal, sama sekali tidak… at least i did! Hahaha…”
Ia tertawa tapi aku merasa percakapan sudah terlampau dalam untuk dilanjutkan dalam jam kerja. Saatnya untuk menyudahinya…

Bagiku, keduanya sebenarnya adalah lembaran-lembaran baru dari kitab yang menuliskan bagaimana kuasaNya bekerja dalam hidup ini.

“Oh ya, kapan hari terakhirmu bekerja di sini, Don?”
“Uhmmm, masih bulan depan!”
“Alright. Aku akan kasi kamu sesuatu di hari itu!”
“Oww, thanks mate!”

Lalu hari pun berlalu dan hitungan bulan terasa berjalan terlampau cepat hingga datanglah hari dimana aku harus pergi. Pagi itu, ketika rekan lainnya belum datang dan aku tengah mem-packing semua barang2 pribadiku di kantor untuk dibawa kembali ke rumah, Asnawi mendatangi mejaku.

“Morning!” sapanya.
“Oh, hi… morning!” Balasku.
“So how’s your feeling?”
“Uhmm yeah.. a bit sad. I have to leave after almost 3 years and ya… apalagi aku harus kehilangan teman semuanya termasuk kamu!”

Ia tersenyum. “Move on… you?ve decided, Mate!? ujarnya.
?Hmmm, iya sih, tapi terkadang aku bertanya pada diriku sendiri apa pilihanku ini adalah pilihan terbaik??

Ia kembali tersenyum. Alih-alih memberikan jawaban, ia malah mengangsurkan kepadaku sebundel buku, ?Ini yang kujanjikan untuk kuberikan waktu itu…?

?Oh, thanks.? Aku mengamatinya. Sebuah buku yang tipisnya tak lebih dari 30 halaman dan semuanya fotokopian.

?Ini kopi-an artikel yang kutulis tangan. Hasil akhir dari tulisan ini dulu pernah diterbitkan di beberapa surat kabar lokal di Sydney sekitar tahun 2000-an? Ia menunjukkan kepadaku fotonya yang terpapar di halaman surat kabar, ?Terlihat lebih muda dari sekarang ya, Hehehe!? ia tertawa.

?Kau nanti baca ya! Sampaikan kesanmu setelah membaca!? tambahnya lagi.
?Hmmm sure i will tapi kalau boleh tahu artikel ini tentang apa??

?Uhmmm, intinya soal motivasi dan aku memakai prinsip permainan cricket yang kugemari sejak kecil. Kamu tentu tak tahu cricket ya??
Aku menggeleng. *Kalau kasti aku tau* gumamku.

?Ya pokoknya bacalah dulu!? Ia menjabat tanganku lalu berujar, ?Good luck!? Matanya menatap tajam ke arahku dan pagi itu adalah benar-benar menjadi perpisahanku dengannya.

Sesampainya di rumah setelah hingar-bingar perpisahanku dengan anggota tim di sebuah pub di The Rock, Sydney, aku membuka lembar demi lembar buku yang diberikan Asnawi.

Aku harus mengakui tulisan tangannya, dibanding dengan kawan-kawanku lainnya yang berasal dari sini, sangatlah rapi. Ia menuliskannya pun dalam bahasa Inggris yang santun dan baku, hal yang membuatku harus membuka kamus online sesekali ketika membacanya karena banyak istilah yang aku tak terlalu paham dengan pasti.

Dan ketika sampai di halaman terakhir, barulah aku tahu kenapa ia menyerahkan buku itu kepadaku. Ia berujar tentang hidup, meletakkannya dalam bingkai aturan dan trik permainan olahraga cricket tapi lalu menariknya kembali dalam implementasi hidup. Menarik, sangat menarik.

Pengalamanku bertemu dengan Asnawi mengingatkanku pada Pak Yadi, penjaga malam kantor Citraweb Jogja yang sebagian karakternya dulu sering kupakai untuk kutuliskan sebagai sosok Tunggonono.

Keduanya, Pak Yadi dan Asnawi, bagiku adalah orang-orang yang terlepas dari gagal-berhasilnya ia dalam menjalankan hidup, mereka telah memberiku satu pelajaran yang besar dan nyata. Mereka juga memberi cindera mata berwujud fisik ketika aku berpamitan dari tempat kerja.

Pak Yadi waktu itu memberiku dua buah wayang, satu wayang Semar dan satunya lagi wayang Prabu Rama, sedangkan Asnawi memberiku buku tadi.

Bagiku, keduanya sebenarnya adalah lembaran-lembaran baru dari kitab yang menuliskan bagaimana kuasaNya bekerja dalam hidup ini.

Daripadanya kita bisa belajar untuk hidup yang lebih baik dari yang sudah baik; dan sebenarnya mereka tak sendirian. Ada begitu banyak orang termasuk kita yang sanggup menjadi halaman baru dari kitab lama yang berguna bagi sesama menyuarakan betapa Tuhan sebenarnya tak pernah berhenti bekerja meski ribuan tahun sesudah kitab itu ditulis dan diterbitkan.

Tapi untuk yang terakhir ini pada akhirnya memang tergantung kita, mau atau tidaknya.

?Aeroplanes take off against the breeze? Fred Cahill, 14 March 2013

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. Yah begitulah Mas. Tangan Tuhan bekerja terus dengan beragam cara yang kita bahkan tak pernah sekelebat pun menduganya. Nilai-nilai kehidupan tak selamanya berasal dari buku-buku mahal, perkataan-perkataan motivator dengan tarif per jam berpuluh juta dan dari bos kita yang berpendidikan tinggi. Ayat-ayat Tuhan termaktub dalam setiap jengkal dan detik hidup ini, mengutip penutup di atas “tergantung kita mau atau tidak” untuk menyadari dan kemudian menyadari. Nice post.. ^.^

    Balas
  2. aku suka sekali tulisan ini, don. :)
    aku jadi merenungkan kembali perjalanan hidupku. dan aku yakin Tuhan masih berkarya… lewat diriku, kalau aku bersedia. tur nuwun dielingke!

    Balas
  3. Yupe…..Tuhan tetap berkarya melalui orang di sekitarku, tinggal kita sadar atau tidak.

    Baca tulisan ini sambil dengerin Walk On nya U2 harmonis sekali :)

    Thanks !!!

    Balas
  4. Ya, bumi berputar dan Tuhan terus “bekerja”.

    Balas
  5. satu lagi cerita yang luar biasa…. hidup tetap harus berjalan…. sebuah kehormatan mendapatkan hadiah ketika perpisahan…

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.