Kisah Tentang 100, 99, 58 Persen, 68 Persen dan Fifty-Fifty

19 Agu 2008 | Cetusan

99
Apa beda antara 99.999 dengan 100.000 ?
Dalam tataran harga berbasis mata uang rupiah, beda keduanya hanya serupiah saja.
Akan tetapi dalam tataran pikat-memikat, angka 99.999 memiliki daya pikat yang lebih banyak calon pembeli ketimbang kakaknya, 100.000.

“Itulah yang dinamakan batas psikologis harga, Mas!” demikian tutur temanku yang psikolog.
“Maksudnya?”
“Iya, maksudnya kebanyakan orang akan menganggap bahwa angka 99.999 itu jauh lebih terlihat murah ketimbang angka bulat 100.000.”
“Kenapa demikian?” tanyaku lebih lanjut.
“Ya karena 99.999 itu lebih sedikit ketimbang 100.000 terlebih dari digitnya yang masih berarti puluhan ribu dan bukan ratusan ribu.”
Akupun manggut-manggut, “Oh, berarti sama saja dengan iklan di tv soal harga yang 999.999 itu lebih murah ketimbang satu juta ya?”
Sekarang gantian ia yang manggut-manggut kepadaku.

Tapi memang benar, kalau melihat angka-angka yang seperti itu, ingatanku langsung meloncat ke belakang pada saat iklan TV yang menawarkan barang-barang inovasi tercanggih dari luar
negeri pertama kali berhamburan datang melalui layar kaca kita dekade lalu.
Ah tentu kalian sama denganku, masih ingat ungkapan yang berujar “Dapatkan produk kami, hanya Rp 999.999,00 saja” lalu muncul tanda
silang untuk mencoret harga lamanya yang Rp 1.999.999,00.

Maka, sepertinya semenjak saat itu kita pun sering melihat angka-angka yang tak terlalu bulat untuk menunjukkan harga banyak barang di pertokoan.
Seperti misalnya di pusat perbelanjaan, harga sekilo apel merah US yang adalah Rp 21.799 atau harga gelas kaca yang dipatok di harga Rp 6.799.
Tentu ini berbeda dengan kebiasaan kita dulu yang pergi ke warung sebelah rumah atau toko kelontong milik Bah Ahong yang menjual gelas dengan Rp 6000 ya 6000 saja,
atau apel merah di lapak Bu Herman dengan harga per kilonya adalah 21.000 saja nggak pakai embel 999 anymore.

Tapi, beberapa hari lalu, pada sebuah sore setelah makan Pempek Bu Kamto di basement Ambarrukmo Plaza,
dimana aku menghabiskan dana sebesar Rp 15.799 (kenapa tidak 16 ribu atau 15 ribu sekalian ya ?)
aku melewati sebuah lapak penjual sunglass kelas “KW1”, bukan kelas original, dan mendapatkan angka diskon yang menurutku unik dan
fantastis, 58%.

Waktu kutanya pada mbak penjaganya di sana kenapa diskonnya sebegitu uniknya, ia pun hanya berujar “Disuruh Bapak begitu jhe, Mas!”
Aku pun hanya manggut-manggut. “Ya sudah, coba Mbak hitungkan kalau saya mau beli yang ini..” ujarku iseng.
Lalu Mbak itu pun mengeluarkan kalkulatornya dan ia menghitung beberapa saat lamanya dan… ketemulah angka yang semangkin mejik saja.

Kacamata itu tak jadi kubeli, bukan karena aku tak punya cukup uang atau bukan pula karena aku tak suka barang “KW1”,
tapi sebenarnya aku hanya butuh conversation antara aku dengan mbak penjualnya sehingga terjadilah percakapan dalam tulisan ini.

Tapi anyway, aku kok jadi curiga jangan-jangan yang punya lapak kacamata itu masih ada keturunan saudara atau salah satu fans Sang Pakar yang juga gemar menaruh angka-angka mejik dalam
prediksi dan analisanya, 68% meski sekarang mulai gemar menggunakan yang lebih umum, fifty-fifty ?

Ah, saya mulai ngaco, mungkin karena kekenyangan empek-empeknya Bu Kamto.

Sebarluaskan!

17 Komentar

  1. Selain disebut batas psikologis harga, dalam dunia penerbitan, terkadang kami menyebutnya sebagai harga seksi. Bukankah sesuatu yang ganjil kerap mencuri perhatian, eh? Asal kemudian ditindak lanjuti dengan kualitas saja. Tidak semata tampil beda.
    Tapi sejauh yang aku tahu, Bah Ahong kini sudah tak buka toko kelontong lagi. Dan Bu Kamto yang dagang pempek itu, kini malah buka salon kecantikan: spesialis pasang alis. Tertarik?

    Balas
  2. iyaaa…itu harga psikologis…tapi tetep harus rasional dan bertanggung jawab dong…jangan sampe jadi harga gileee kembaliaannya kurang….
    wew

    Balas
  3. Betul sekali, dan itu juga merupakan cara jitu untuk mendapatkan pembeli…

    Balas
  4. ya ya ya… Bah Ahong sekarang udah jadi pemasok pere2 cantik di raja mas kota sana don… dan Bu Kamto…? bener kata bung dm… mau ku ambilkan daftar harganya don…? satu alis 777.777 saja …jadi mau berapa alis yg di pasang ?

    Balas
  5. …sehingga tiap pulang belanja musti bawa permen kembalian dari supermarket.

    Balas
  6. @marsmallow: iya iya.. masalah permen ini bikin gemes kadang pingin dikumpulin dan sekali2 coba di belajain lagi… apa permen sekarang udah jadi mata uang baru ya ?

    Balas
  7. Haa? jadi di Bu Kamto sekarang ada harga dengan akhiran 99 juga?
    Eniwei, jadi kangen Jogja… hikks..

    Balas
  8. Menurut penelitian memang harga dengan buntut ganjil semacam itu punya efek psikologis yang lebih bagus. Katanya, barang yang dilabeli X.99 penjualannya lebih bagus daripada yang X.00.
    Tapi kalau sudah terlalu banyak orang yang menggunakan, konsumen lama-lama akan “kebal” juga. Makanya sekarang mulai banyak yang menggunakan buntut ganjil yang lebih variatif, seperti X.95, X.79, dan seterusnya.

    Balas
  9. Ya… angka ini juga “menipu” dalam hal obralan. Sering kita menemukan obral “30% + 30%”, yang tidak hati2, orang akan menafsirkan sebagainya 60%, padahal maksudnya adalah harga didiskon dulu 30% lalu sisanya didiskon lagi 30%. Jadi sebenarnya diskon tersebut kalo dihitung2 adalah 51%.
    Rumusnya adalah: 1-(1-30%)X(1-30%) hasilnya adalah 0,51 atau 51%.
    Yah… pintarnya orang2 dagang untuk menipu menarik korban pembeli..

    Balas
  10. Semakin banyak sembilan-nya semakin hoki!Kata siapa? Kata saya. :D

    Balas
  11. O jadi gitu penjelasannya ya..
    Saya pikir orang-orang itu kurang kerjaan.. (*melongo, sambil bergumam sendiri, “bener juga ya.”)

    Balas
  12. mmmmmm… menanggapi masalah permen buat kembalian… hihihihi… sekarang emang susah den kalo nyari uang 50an… apalagi 25an… itulah ciri2 matauang yang terseok-seok.
    uang baru dengan nominal makin besar keluar juga bisa menjadi proxy awal kalo inflasi sudah membebani suatu negara.

    Balas
  13. angka2 seringkali membuat kita optimis, tapi juga tak jarang bikin frustrasi, mas donny. inilah repotnya sebuah negeri yang sudah kadung memuja angka2, haks…. semuanya mesti pakai angka. agar siswa bisa lulus sekolah, mesti harus melewati batas angka tertentu.

    Balas
  14. @sawali tuhusetya :
    Negeri kita memang negeri irasional, Pak Sawali.

    Balas
  15. Kalo saya sie 100% males ngurusin harga 99an. Apa lagi kalo buntut-buntute mung disusuki permen

    Balas
  16. @Tanti:
    He, Bu Kamto bukan hanya ada harga dengan akhiran 99-nya, tapi sudah buka salon kecantikan, dibilangin. Ngeyel!

    Balas
  17. “Disuruh Bapak begitu jhe, Mas!”
    ——–
    Saya geli membaca kalimat itu…..sambil ngebayangi si mbak penjaganya….

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.