Tak sengaja, beberapa waktu lalu, aku menemukan tagline menarik dari sebuah perusahaan social media tool, Tibbr, demikian isinya, “Now, the information finds you.”?Hanya sepuluh detik, waktu yang kuperlukan untuk membaca larik tersebut, namun sepuluh menit sesudahnya bahkan lebih, ia mengeram dalam benak; bermetamorfosa menjadi sebuah permenungan.
* ? ? ?* ? ? ?*
Kalau aku menyebut nama Gundhi, tentu ia bukan nama sebenarnya.?Sebelum empat bulan silam, ia adalah sosok yang tak kukenal hingga pada sebuah siang ia menghubungiku lewat email dengan sapaan pembuka,
Hallo! Aku kenal kamu lewat internet, Mas!
Ketika aku masih mengerutkan jidat mencoba mengulas adakah kukenal namanya sebelumnya, ia mengejutkanku pada paragraf kedua. Demikian petikannya,
Ini bukan email sampah, Mas. Tapi menurutku, Mas pasti tertarik pada program yang kutawarkan karena jiwa sosial Anda sangat besar, Mas Donny!
Aku melongo dibuatnya… ?Jiwa sosial?? kok dia bisa menebak seperti itu?
Dan belum tuntas pikirku, aku ‘dihajar’ nya lagi dengan pernyataan berikutnya,
“… yang lebih mengasyikkan lagi, di sini banyak orang-orang yang mengedepankan spiritualitas tapi tak selalu mengutamakan agama.. dan Mas tetap boleh misuh-misuh kok! Hehehehe”
Seribu topan badai!
Ia seperti orang yang tiba-tiba datang membawa secarik kertas dan di atasnya tergambar detail wajahku padahal ia belum tahu aku baik secara online maupun fisik sebelumnya!?Darimana ia tahu aku adalah tipe orang yang seperti itu? Metode perkenalan apa-apaan ini, gumamku waktu itu.
Tak ayal lagi, ketika itu aku merasa perlu untuk memberikannya ‘pelajaran’ atas tindakannya yang menurutku lancang itu. Namun ketika benak sedang dipenuhi dengan emosi, tiba-tiba semuanya melempem begitu saja waktu aku mencoba memposisikan diri sebagai Gundhi.
Apa dan dimana letak salahku jika aku adalah Gundhi? Tak ada! Justru sebaliknya, kenyataan di atas menunjukkan betapa pandainya Gundhi untuk tak hanya mencari informasi, namun juga menyusun potongan-potongan informasi yang ia temui lalu menyusunnya menjadi sebuah gambar utuh.?Padahal, kalau si Gundhi mencariku empat belas tahun silam, barangkali ia membutuhkan keajaiban untuk menemukanku kecuali kalau memang ia tahu URL personal site pertamaku yang kubangun dulu.
Beda pula yang terjadi jika ia mencariku sebelas tahun silam. Sekitar tahun 2000an, Google mulai menampakkan gelagatnya sebagai calon penguasa dunia melalui mesin pencari yang sanggup melakukan proses crawling (pencarian) dan indexing (pendataan) konten-konten yang ada di seantero jagat internet. Bisa jadi, ketika itu, dengan mengetikkan nama ‘Donny Verdian’, ia akan mencapai alamat personal siteku yang ketiga yang kubangun beberapa waktu sebelumnya. Tapi hanya itu, tak lebih.
Lalu apa yang bisa dicari Gundhi pada masa kini, atau katakanlah masa setelah pertengahan dekade lalu dimana dunia internet berkenalan dengan satu terminologi baru, social media?
Sebenarnya hampir sama dengan apa yang bisa dilakukan pada sekitar tahun 2000an, “Google adalah kunci!” Kelincahannya dalam mendata halaman-halaman situs yang memuat keyword “Donny Verdian” adalah senjata ampuh. Namun, yang membedakan antara apa yang terjadi pada tahun 2000an dengan apa yang terjadi masa kini adalah adanya kanal-kanal social media yang kita ikuti yang halaman-halamannya juga ikut terdata oleh mesin canggih Google.
Padahal, melalui social media, bersosialisasi berarti menyebar kata dan gambar yang kita siarkan di sana. Alhasil, ketika kita sudah sedemikian membuka diri pada social media, terbukalah kemungkinan yang sangat besar bagi orang-orang seperti Gundhi untuk mencari kita, mengenal dan menggambarkannya berdasarkan data-data yang ia temukan di sana.
Jadi sekali lagi, bisakah Gundhi dipersalahkan?
Atau… kalau tidak, bisakah kita menyalahkan internet, Google dan social media? Menurutku, tak satupun dalam kaitan dengan kisah di atas bisa dipersalahkan. Sumber salahnya, kalau memang harus didefinisikan, adalah kita sendiri karena Google menjalankan fungsinya secara optimal sebagai mesin pencari, kanal-kanal social media pun laksana senjata jitu yang mampu membawa anggotanya menjadi socialized dan eksis sedangkan Gundhi tinggal memetiknya.
Oleh karena itu, sebelum terjun ke dalam social media, tentukanlah apa dan bagaimana engkau akan mencitrakan dirimu di sana. Jika memang kamu ingin tampil terbuka pada publik, bersiaplah untuk dikenal dan bebas dicari oleh khalayak semacam Gundhi lengkap dengan efek-efek negatifnya. Sebaliknya, jika memang ingin menutup diri, keputusan untuk tak bergabung dengan social media adalah keputusan bijak meski bagiku tetap bukanlah keputusan terbaik mengingat potensi keuntungan yang didapat dari sana.
Yang terbaik, menurutku adalah menjadi yang paling moderat di antara dua kutub itu tadi. Ada kalanya kita harus membuka diri terhadap dunia ketika kita perlu mengutarakan ide-ide menarik, namun ketika hendak mengujarkan sesuatu yang pribadi, seperti misalnya urusan keluarga ataupun pekerjaan, tak perlulah kita sampai menyiarkannya secara publik kecuali… ya kecuali kalau memang itu yang kalian cari.
Simple kan?
Jadi, pernahkah kalian melakukan hal yang sama dengan yang Gundhi lakukan? Misalnya kalian sedang naksir seseorang lalu tanpa sepengetahuannya kalian bisa melukiskan sosoknya melalui kata-kata yang ditukaskannya dalam jejaring social media?
Siarkan komentar Anda, Jendral!
hehehe telak pas bagian: misuh-misuh -nya itu.
Moga-moga orang nggak menuhankan Google yang makin hari makin kokoh search engine-nya.
Dulu jaman masih sekolah menengah ada seseorang yang mengatakan Dajjal itu punya pengetahuan luas, bisa ditanya apa pun. Jaman itu belum ada Google. Eh apa iya, Google itu sejenis Dajjal?
Memang sekarang lebih mudah mengenal seseorang dari data2 yang mereka tinggalkan di dunia maya mas,walau balik lagi dia eksis atau tidak di dalam pergulatan sharing informasi dan pendapat pribadi,si pengguna setidaknya bisa mengontrol diri saja mana informasi yang nyaman di sampaikan dan mana yang tidak agar tidak merugikan juga nantinya
Manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk dengan dua kepribadian. Jadi apabila di dunia nyata dia menjadi si A yang malaikat, bisa jadi di dunia maya dia menjadi seorang pendosa (gw keinget bio mu nih don heehuehue…)… jadi tak salah kalau ada yang salah kaprah menjudge orang melalui ucapan2nya di dunia socmed.
Manusia pasti pernah menduga … oohh si A itu pasti begini pasti begitu, lihat saja kicauannya….. ya gak salah juga toh, namanya pun dia cuma menduga2…. Aku juga pernah dibegitukan orang, mereka merasa paling tahu tentangku, dan aku jadi marah….
Tapi kupikir ya manusiawi sih…. no problemo, dimaafkan ssaja. Aku pribadi juga pernah menduga orang itu dari kicauannya, tapi tentu tak naif begitu saja.
Ya… tapi ‘too much informations tend to be misleading..” bro..
Informasi yang melimpah ruah disekitar kita, harus dicerna dengan kearifan supaya menghasilkan data yang (kelihatannya) komprehensif tentang sesuatu yang sedang di cari tahu. Kenapa gue bilang bisa misleading? Seandainya si Gundhi baru mensortir informasi tentang DV yang misuh2 aja dan langsung mengambil kesimpulan: DV orangnya blablabla… nah, kan jadi kesimpulan yg keliru…
Tapi memang dizaman sekarang, siapa yang mengendalikan informasi adalah orang yang paling siap menghadapi perubahan zaman…
Dampak keterbukaan informasi belum sedahsyat itu buatku :), paling baru sampai ketemu teman-teman lawas di FB, berlanjut inbox untuk tukar nomor HP lalu kopi darat jika jarak memungkinkan.
Sejauh ini, aku juga belum pernah melakukan pencitraan melalui tulisan2ku. Aku baru belajar menuangkan ide juga perasaan dengan cara yang aku suka. Hal-hal pribadi yang menyangkut nomer HP, Telepon Rumah, tidak pernah aku cantumkan di media sosial.
Soal keuntungan mengikuti sosial media pun aku mulai bisa merasakan dan mengalaminya. Yah.. menurutku kembali ke kita juga, ya Don?! Jadi Don..misuh lah!! hihihi
Yups, pernah bahkan gak cuma sekali Masss. :P
Hanya saja terus terang saya tak semudah itu mau membikin kesimpulan guna melukiskannya.
Hal ini sama dengan apa yang saya lakukan ketika melihat, membaca, pun mendengar berita dari banyak media. Dengan terbukanya kita memperoleh (seluas-luasnya) informasi dan berita , bukan berarti kita harus menerimanya dengan mentah-mentah, akan lebih baik kalo kita juga mampu menyaringnya dengan filter yang tak kalah luas juga, apalagi kalo mengingattak sedikit “berita pesanan” yang terjadi saat ini.
Begitu pendapatku Jendral..!
saya pilih moderat sajalah…
dan belum pernah menjudge si anu begini beginu
Dalam kasus twitter, informasi tentang seseorang bisa tiba-tiba tampil di linimasa kita. Bukan saja sekali tapi berulangkali. Tanpa kita lakukan pencarian. Dan siapa gak penasaran, ada avatar cantik berseliweran di linimasa kita. Mulailah melihat linimasa dan bionya. Bila ada link di bionya, klik dan bisa mendapatkan informasi lebih banyak tentang orang tersebut.
Jadi setuju banget dengan judul posting ini, informasi yang mencari kita. Kita sendiri dituntut bijak menyampaikan informasi tentang diri kita. Bedakan info privat dengan info publik.
Bagaimana mencitrakan diri di internet saya rasa belum banyak yang menyadarinya (termasuk saya, mungkin). Sebagian besar masih terbawa pada kebiasaan di dunia nyata, suka ceplas ceplos maka begitu pula statusnya. Suka mengeluh, maka begitu pula isi tweet-nya. Bahkan yang suka selingkuh pun tetap masih sama saja di dunia maya, hehe.
dengan alasan yg sama, gw juga barusan nge-mute, lagi, temen/buzzer karena broadcast “laporan kegiatan”nya tiap hari udah sampe tahap lebay. apalagi pake tagar. blah. still, gw gamo nyinyir reaktif dan ndadak komentar ga enak yg mungkin “membahayakan” kerjaannya. toh dia cari makan dari situ.
offline-ly dan personally, they’re nice people, good friends (karena gw mute lebih dari satu orang *insert ketawa setan here*). keilangan temen yg baik itu rasanya juga nyebelin, kek digampar gendruwo beri2 yg obesitas tapi ga bisa bales. jadi, daripada kepancing, mendingan gw damage control aja. mute, mute, mute. kalo di Facebook, hide, hide, hide.
*berencana nge-mute masdon*
untuk socmed macam FB, aku rasanya belakangan ini cukup jarang mengungkapkan hal pribadi. kalau di blog, kadang ada yg agak pribadi, tapi aku berusaha tidak mengungkapkan hal yg terlalu pribadi. aku sendiri suka risi kalau ada orang yg terlalu menyampaikan hal2 yg terlalu pribadi di socmed.
Saya sering kok mas. Biasanya saya kirim E-mail ke penulis favorit saya untuk sekadar berkenalan dan menyatakan kalo saya fans berat tulisan-tulisannya :D
aku sering malah mas… biasanya kalau baru ketemu orang di event offline tau ada yang add facebook, biasanya kalau ga kenal seach dulu :)
hiii..lama2 dia tau alamat libur, pantangan makananmu sampai kata2 kenanganmu….heeee…serem ah….
Perkembangan teknologi memang memberikan banyak dampak pada berbagai bidang :D
Hihi,…. mengingatkan saya saat mengejar cinta seorang wanita anguh. Mau tak mau harus ngubek2 internet dan socmed selama 3 hari. itulah salahnya manusia, terkadang lalai bahwasannya dunia maya bukan tempat yang tepat untuk menyimpan sebuah rahasia :)
Hahaha gak seperti gundhi seh mas.. tapi kalau aku mau cari tahu ttg.seseorang yg baru aku kenal rasanya gak.terlalu susah deh sekarang.. emang internet menemukan kita yak :D
eh… bukankah aku kenal mas donny juga dari internet? hehehehehe…
Hmmm aku moderat keknya Don :D
Ada part yang aku buka dan ada part yang menurutku tidak perlu orang lain tau.
Hmm pas zaman gue naksir si Abang internet belom kayak gini Don :)) jd gak pake googling tapi skr kalau di rasa perlu pastinya gue googling dulu background bbrp orang yg gue tertarik :)
Udh lama gak kesini, tulisanmu makin berbobot Don. Like it
aku kira perkembangan internet memang sangat pesat dan berevolusi semakin cepat setelah adanya social media..
dan hal ini kayaknya tidak tertangkap juga oleh para “futuristik” holywood sana. Mereka mem”futuristik”kan film dg antariksa, perjalanan waktu, robot, dsb… tp tidak dengan social media!! Fenomena facebook, twitter yg bisa mendorong revolusi di timur tengah tidak pernah mereka bayangkan!
salam,
well, aku selalu berprinsip, dalam seseorang ada sisi Jackyl dan Hyde nya. Ada sisi buruk dan baiknya. Dan aku tidak gusar jika seseorang menilai aku dengan yang buruk-buruk saja. No problem at all, tapi jangan ketahuan aku hahaha. Begitu ketahuan… hapus, delete dari pertemanan. I just wanna be Just the way I am ;) and I know only best friends could ‘love’ me Just the way I am. Stalker? di Internet masih lebih mending daripada di kenyataan :D