Kesaksian nan ‘vulgar’

29 Jun 2018 | Kabar Baik

Hari ini Gereja Katolik memperingati Hari Raya Petrus Paulus. Santo Petrus dan Santo Paulus adalah dua tokoh pilar penting dalam sejarah perkembangan iman dan Gereja Katolik di seluruh dunia.

Santo Petrus seperti yang kita kenal adalah murid terutama. Dalam Kabar Baik hari ini yang ditulis Matius, Yesus menyerahkan kunci Kerajaan Surga kepadanya (lih. Matius 16:18). Sementara Paulus dulunya bernama Saul(us) adalah pemuda Farisi asal Tarsus. Ia ?muncul? setelah Yesus naik ke surga. Awalnya ia mengejar untuk membunuh para pengikut Kristus tapi setelah ?bertemu? dengan Yesus saat sedang berjalan menuju Damaskus, ia bertobat. Dari sana ia lantas melakukan misi pewartaan keluar dari Yahudi ke tanah-tanah baru.

Aku tak hendak mengulas lebih lanjut tentang sejarah mereka hari ini. Apa yang lebih penting menurutku adalah adakah nilai utama yang bisa kita serap dari mereka dan bisa kita pakai untuk landasan hidup beriman di masa kini?

Ada! Nilai utama itu adalah semangat untuk berani, total dan setia dalam mewartakan kasih Tuhan pada mereka yang belum mengenal Yesus.

Kita tak diminta untuk melakukan seperti yang dilakukan Petrus dan Paulus tapi setidaknya bagaimana supaya semangat pewartaan itu menyala dalam kehidupan kita sehari-hari.

Lalu apakah pewartaan itu?

Setiap orang boleh punya pengertian yang berbeda, bagiku pewartaan adalah memberikan kesaksian betapa Yesus hidup dalam keseharian kita melalui pikiran, tutur kata serta karya dan tindakan.

Banyak yang telah melakukan hal-hal besar dan pikiran-pikiran besar, tapi kapan terakhir kali kita melalui kata-kata memberi kesaksian atas diri Yesus?

Aku teringat pada satu peristiwa dulu. Dalam sebuah konferensi publik, seorang pembicara muda menyisipkan slide foto Yesus di bagian akhir presentasinya.

Lalu dalam patahan kalimat terakhirnya yang singkat ia berkata, ?Terimakasih sudah hadir dalam acara ini dan ucapan syukur saya yang terutama pada Yesus Kristus, Tuhan yang memampukan saya?.?

Suasana diam sekejap sebelum akhirnya tepuk tangan membahana.

Aku kagum dengannya. Meski sebagian kawan berkomentar bahwa iman tak perlu diekspresikan ?se-vulgar? itu tapi bukankah kita punya hak untuk mengekspresikan iman dan memberi kesaksian akan peran Yesus dalam hidup?

Beberapa kalangan memilih menggunakan ?bahasa-bahasa umum? dan menghindari istilah-istilah yang khas dengan iman kita karena beberapa alasan.

Ada yang karena alasan toleransi, sungkan untuk menjaga perasaan hingga ada pula yang takut dikira ?macam-macam?.

Bagiku ketiganya tidak harus dikemukakan sebagai alasan. Kenapa? Menjaga perasaan dan toleransi sebagai nilai luhur justru harus diletakkan dalam kerangka sikap bebas merdeka dari rasa takut. Toleransi hadir sebagai nilai yang muncul dari dalam hati. Adakah toleransi bisa benar-benar mewujud kalau hal itu dilakukan dalam ketakutan?

Selamat merenungi hidup pewartaan Petrus dan Paulus. Kita diajak untuk bersaksi.

Sydney, 29 Juni 2018

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.