Keple

25 Jun 2012 | Cetusan, DKK

Berkawan, bagiku tak selalu memandang baik tidaknya seseorang untuk dijadikan kawan. Seburuk apapun perangai dan tabiatnya, kalau pada akhirnya ia bisa berkawan denganku, kusebutlah ia kawan. Sebaliknya, sebaik apapun orang menilainya, tapi kalau memang tak jadi kawanku, maka tak bisa pulalah kita berkawan meski itu bukan pula berarti bermusuhan.

Nah, edisi ‘dkk‘ kali ini, aku menghadirkan kawan lama, seorang Jogjanis. Beberapa orang menyebutnya tak bertabiat terlalu baik (Setidaknya ia mengaku bukan sosok suami yang baik meski ia rela mati demi menjadi ayah yang baik) meski bagiku ia tetap adalah orang baik.

Aku mengenalnya sejak barangkali awal dekade 2000-an ketika hampir setiap malam, area pergaulanku adalah coffeeshop-coffeeshop yang ketika itu mulai menjamur di Jogja.

Ia kerap diasosiasikan oleh kawan-kawan ‘seperjamuan’ sebagai orang yang tak jauh dari ‘lembah hitam’, dunia prostitusi. Barangkali inilah yang mengawali kiprah ‘tak baik’ nya.

Istilah kata, kalau kita sedang kumpul trus tiba-tiba topik bahasan meruncing ke soal ‘esek-esek berbayar’ seperti itu, kita langsung menyodorkan perhatian dan waktu untuk berbicara kepadanya seolah kami semua ingin berkata, “Kalau soal gituan, kamu kan jagonya?!!!”

Namun masalah jago beneran apa tidak, aku toh tak tahu lagipula itu tak penting karena seperti kukatakan di atas, kawan adalah kawan.

Nah, ketika berpikir untuk memuat tulisan tentangnya di ‘dkk’, entah kenapa topik yang ingin kusodorkan juga tak jauh dari geliat bisnis prostitusi di Jogja, tentu dari sudut pandangnya.

Agak berbeda dengan edisi ‘dkk’ lainnya, kali ini aku berpikir harus mengedit beberapa bagian interview demi menghindari hal-hal yang tak kuinginkan.

Pemikiranku itu termasuk untuk menyembunyikan identitasnya.

Meski sebenarnya ia tak keberatan dengan hal itu,(dalam salah satu email ia bilang, “Sebarno wae! Kabeh yo wes ngerti bosok’e aku!” (Sebarkan saja! Semua juga sudah tahu kebusukanku! -jawa)) tapi bagiku justru sebagai kawan yang baik, aku tak ingin mengungkapnya di sini.

Selain menjalankan filsafat jawa, ‘Mikul dhuwur mendhem jero’ (mengangkat tinggi-tinggi kebaikannya dan mengubur dalam-dalam keburukannya), siapa tahu, niatku ini dijawab oleh semesta untuk memperbaiki ‘tak baiknya’ nya dia itu tadi.

So, bagaimana dunia hitam di Jogja dan perjalanan sejarahnya menurutnya? Simak!

Pelacur di Jogja itu disebut sebagai keple ya?

Iya, keple… Tapi ada istilah lain seperti othoel, kithoel, nggenggek, thoklo dan sebagainya.

Kenapa dinamai keple? Tau sejarahnya?

Nggak…

Tapi kamu tau sejarah per-keple-an di Jogja?

Tau, tapi versiku.

OK, gimana?

Menurutku, sejarah per-keple-an di Jogja sudah dimulai sejak abad XVIII.

“…yang konon justru disuguhkan oleh orangtua mereka dengan harapan kelak mendapatkan kamulyan…”

Waktu itu banyak kaum priyayi pergi berburu ke Alas Bunder (daerah Wonosari, Gunung Kidul -red). Tapi selain berburu, nyatanya mereka pergi ke sana juga untuk mencari wanita yang konon justru disuguhkan oleh orangtua mereka dengan harapan kelak mendapatkan kamulyan (kemuliaan -jw) atau bisa menurunkan anak-anak priyayi walau tidak melalui jenjang pernikahan.

Oh, disuguhkan itu gimana maksudmu?

Ya, disuguhkan. Disediakan untuk ditiduri.

Wow! Begitu ya?! Tapi waktu itu apa sudah kenal sistem tarif? Kalau ada kira-kira berapaan?

Wah, embuh… aku nggak tahu. Tapi mungkin mereka dibayar dengan emas picir raja brana (emas-emasan -jw) atau mungkin juga hanya dengan janji kemuliaan itu tadi…

Lalu masuk ke era 1900? Ada info?

Ada! Di era itu para keple mulai mengenal istilah lokalisasi.?Sejak jaman pakdheku yang tukang gerobag sapi, lokalisasi mula-mula di Jogja itu konon katanya adalah Balokan (sekarang kawasan utara Pasar Kembang -red).

Tarifnya waktu itu, sekitar tahun 1952, sepuluh gelo (Rp.10) = sepuluh rupiah.

Itu short time?

Yup! Short time!

Lanjut!

Nah, hingga sekitar tahun 1987 kala aku sudah berani ‘nakal’, di jogja sudah ada dua lokalisasi lain yaitu Sanggrahan (SG), dan Pasar Kembang (Sarkem).?(SG berada di sekitar kawasan perbatasan antara Kota Jogja dan Bantul – di sisi selatan Jogja sedang Sarkem berada di sisi utara kawasan belanja, Malioboro –red).

Kala itu tarif keple di SG Rp. 10,000 dan Sarkem Rp 5,000 short time. Tapi lalu sekitar awal dekade 90-an, Sanggarahan ditutup dan dijadikan Terminal Besar Yogyakarta.

Menurut info yang bisa di percaya, seorang germo SG, banyak anggotanya bermigrasi ke sarkem, sebagian lain ke Blongkeng (Muntilan) dan sisanya, yang STW (Setengah Tuwo; setengah tua –red) ke Parang Kusumo. (Parang Kusumo adalah kawasan pantai di selatan Kabupaten Bantul. Di sana terdapat banyak gubug-gubug yang konon memang kerap digunakan untuk kegiatan prostitusi -red).

Bubarnya SG juga membuat pertumbuhan ‘salon plus’ marak. Banyak ‘konsumen’ memilih pergi ke ‘salon plus’ ketimbang ke lokalisasi seperti Sarkem karena selain lebih elit, ia juga tersembunyi. Meski demikian, tarif short time di tempat seperti itu tiga kali lipat lebih mahal ketimbang SG, Rp 30.000,00.

OK. Lalu bagaimana kondisinya dengan saat ini?

Saat ini Sarkem bisa dibilang adalah lokalisasi terbesar. Tapi yang menarik dicermati, bisnis prostitusi kini selain salon plus juga mengenal istilah ‘tempat penampungan’.

Maksudnya?

Banyak mucikari membuat tempat penampungan, semacam asrama para keple. Mereka tak menyediakan tempat untuk ‘main’ tapi sistemnya antar jemput saja. Begitu ada order, ada sopir mengantar ‘pesanan’ ke tempat yang telah ditentukan.

Jadi lebih rapi dan tentu biaya operasionalnya lebih murah.
Ia lalu menyebut beberapa tempat penampungan yang tentu tak elok untuk ditampilkan di sini.

Selain itu, ada pengembangan lain?

Ada! Sama dengan kota-kota besar lainnya, prostitusi terselubung juga mulai menyentuh tempat seperti spa house. Pola pengembangan dan operasionalnya mirip dengan pola pengembangan di salon plus waktu pertama kali mereka tumbuh.

Ic…

Nah, yang juga tak kalah menarik adalah, para keple ada juga yang ‘berbisnis mandiri’ Mereka tak perlu mucikari, tak perlu tempat penampungan. Yang mereka perlukan adalah telepon genggam dan pasang iklan di koran lokal.

Maksudnya?

Ya, pasang iklan di koran, menyediakan jasa berkedok pijat maupun kerik (kerok) lalu menunggu panggilan.

My oh my… Lalu menurutmu.. dalam penerawanganmu, bagaimana nasib dunia per-keple-an di masa mendatang di Jogja?

Menurutku, bisnis prostitusi akan tetap ada sepanjang sejarah peradaban manusia, Don. Baik itu yang terang-terangan seperti lokalisasi di Sarkem maupun yang terselubung, kuyakin akan selalu ada.

Aku yakin populasi keple tetap selalu bertambah.

OK, mungkin aku sepakat. Tapi mereka akan berkembang atau akan statis saja?

Aku yakin populasi keple tetap selalu bertambah.

Menurut data statistik yang kudengar saja, (Ia menyebut nama orang dan pangkat tapi skali lagi, harus kusembunyikan) sekarang penghuni Sarkem yang aktif bekerja sebagai wanita penghibur sekitar 400 orang. Bertambah 70 – 100 orang dari 2 tahun sebelumnya.

Oh begitu. Mereka kebanyakan pendatang?

Iya. Pendatang. Rata-rata berasal dari Wonosari, Kudus, Rembang, Kediri, Madura dan Tasikmalaya. Ironisnya, alasan untuk menjadi keple selalu kalau nggak latar belakang ekonomi lemah,perceraian atau diputus pacar.

Oh, kalau begitu mereka ada yang mahasiswi juga dong? Kan kebanyakan pendatang ke Jogja untuk kuliah??Ah, sekarang nggak selalu seperti itu, tapi memang banyak mahasiswi yang melakukan praktek prostitusi terselubung.

Terselubung?

Yup! Mereka malu-malu mengakui dan anehnya mereka hanya mau ‘praktek’ ketika tanggal tua. Coba saja telpon ke handphone mereka waktu tanggal muda, jawabannya pasti kalau nggak, “Saya sudah tak bisa diajak jalan-jalan lagi!” atau “Saya sudah punya pacar!” tapi nanti waktu tanggal tua, giliran mereka yang sms lalu bilang, “Mas? Jadi ngajak saya jalan?” Hahahahaha!

Hahaha! Balik ke soal masa depan keple di Jogja. Kamu tadi bilang kalau populasi bertambah dan bisnis prostitusi akan selalu ada. Tapi sekarang kan ormas-ormas bernafaskan agama yang kerap merazia apapun yang melanggar moralitas lagi ramai-ramainya?! Adakah hal ini mempengaruhi populasi keple di Jogja?

Ora! Ora ngaruh, Bro!

Percayalah, ormas fanatik itu ujung-ujungnya ya premanisme kok.

Kok bisa?

Percayalah, ormas fanatik itu ujung-ujungnya ya premanisme kok.Mereka hanya berani mengusik kafe-kafe di Prawirotaman yang menjual alkohol! Mereka tak terlalu kuat di Jogja, beda dengan kota lain yang kerap masuk tv itu.

Mereka mana berani mengusik Sarkem!

Lho kenapa?

Ya karena Sarkem juga dilindungi oleh preman-preman yang lainnya. Nah kalau sudah begini kan urusannya tinggal adu kuat antar preman. Kecuali kalau sampai suatu saat preman-preman berkedok ormas itu makin kuat dan mengungguli kedigdayaan preman yang menjaga sarkem ya akan jadi lain cerita, meski kapan hal itu terjadi ya tak tahu juga…

Sebarluaskan!

22 Komentar

  1. prostitusi itu mungkin lebih tua dari sejarah Indonesia sendiri :D, dan ngga akan ada matinya. Manusiawi sekali sih

    Balas
  2. Wow.. Jujur saja saya sama sekali tidak mengenal dunia prostitusi. Tapi entah bagaimana, saya percaya dengan apa yang diungkapkan teman Mas Donny ini.

    Saya juga berpikir dan membayangkan bahwa di daerah lain kisah prostitusi juga memiliki kemiripan dengan cerita di atas.

    Balas
  3. aku juga yakin sih kalau ormas keagamaan itu ujung-ujungnya cuma adu kuat preman. ujung-ujungnya duit.

    Balas
  4. Hehe…
    Tentang salon plus-plus jadi ingat pas nongkrong nang mburi term. Nggiwangan…

    Balas
  5. ” Hahaha! Balik ke soal masa depan keple di Jogja. Kamu tadi bilang kalau populasi bertambah dan bisnis prostitusi akan selalu ada. Tapi sekarang kan ormas-ormas bernafaskan agama yang kerap merazia apapun yang melanggar moralitas lagi ramai-ramainya?! Adakah hal ini mempengaruhi populasi keple di Jogja?

    Ora! Ora ngaruh, Bro!”

    Gak di Jogja, gak di jakarta, gak juga di kota-kota besar lainnya, Ormas berkedok agama sama aja…tengok aja di daerah kota atau mabes di Jakarta, itu FPI cuma muter-muter doang, paling berani juga ngotbahin bubaran “kampus” yg lagi pada nungguin taksi :D

    Balas
  6. Don… aku ga melu melu lah….. masalah perkeplean itu… takut buka aib nih… hehehehehe nice sob….

    Balas
  7. Klaten karo Jogja mung cerak, tapi kok aku ra tau krungu istilah Keple yo Om? Opo karena aku anak baik-baik? #huekcuh

    Balas
  8. DV fasih bener kalo soal beginian ya….

    *berangkat ke Solo*

    Balas
  9. ak curiga yg diinterview iki sakjane rak ono *ngemil sate klatak*

    Balas
    • Atau mungkin menginterview diri sendiri.. #eh

      Balas
  10. apik iki. prostitusi itu sejarahnya sama tuanya dgn sejarah peradaban manusia. gak akan mungkin ilang. tapi buat mencegah ekses negatifnya, aku setuju pembatasan. selain itu, harus ada empowering thdp para PSK itu biar mereka bisa bekerja di tempat yg bener.

    Balas
  11. Bhahahak! Aku kerep dijak ngindhik nang Blongkeng ndhik isih SD. Saiki isih ono ora yo?

    Balas
  12. Ngomongke soal sarkem. Ada yang cukup mengusik dan membuat saya bertanya tanya. Sarkem itu kan kampung juga. Ada anak kecilnya juga. Tapi ketika sarkem masuk jam praktek, anak anak itu pada menghilang. Kira kira pada diungsikan krmana ya?

    Balas
  13. Postingan Om Kangguru ini kok bagaikan gayung bersambut ya, bukan.. bukan ngompori buat mrostitusi maksut saya, tapi kepasan. Karena ngga tau kenapa 2 hari terakhir ini saya terlalu selo dan malah mempelajari seluk beluk perlendiran di Jogja, dan ndilalahnya saya baru dong ternyata modus dan sistemnya sangar.

    Kalo di umpamakan OS Windows, Pencet tombol Start langsung ke Run dan munculah “don’t send error report”. Tau maksutnya? kalo tau berarti hebat, kenapa? lha iya wong saya yang mengumpamakan begitu aja bingung itu maksutnya apa. :lol:

    Balas
  14. Aku setahun ini di Jogja baru kali ini denger istilah ‘keple’
    Kalau di Jawa Timur (tempat asalku), Keple itu istilah buat ‘Tangan yg lemah tak berdaya’ baik karena kesleo atau hal lain

    Balas
  15. lha klo ciblek dan mancis show itu sejarahnya gimana?

    Balas
  16. waahhh beberapa bulan ini di koran lokal di kota aku juga mulai ada tuh iklan pijet begituan.. ternyata.. hmmm….

    Balas
  17. Tulisan yang bermanfaat makasih masbro :)

    Balas
  18. mereka akan berhenti jadi pekerja ‘kyk gitu’ kalo punya sesuatu yg bisa jadi bekal nyari duit.

    eh tapi jaman kuliah di jogja, aku punya temen yg kaya dari hasil jual badan di sarkem, dan gak berhenti walau pun udah kaya. sesekali si mbak itu (lupa namanya) masih nongkrong di sana. mbuh ngopo.

    Balas
  19. mesak? keplen? jan-jan

    Balas
  20. dunia memang isinya bermacam macam….tinggal pilihan ada di tangan kita….

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.