Kenapa Saya Memilih Tidak Golput?

21 Apr 2008 | Cetusan

Banyak orang memilih untuk tidak memilih dalam Pilkada ataupun Pemilu, tapi aku memutuskan untuk tetap memilih dan menghindari golput.

Jawa Tengah tengah bersiap untuk sebuah hajatan besar.
Bulan Juni mendatang, Pilkada Gubernur – Wakil Gubernur akan diadakan serentak di seluruh kota di propinsi tersebut.
Yang namanya hajatan besar, persiapan demi persiapan pun berlangsung sedemikian meriahnya.

Hari Minggu yang lalu, sewaktu aku pulang kampung ke Klaten, kota kelahiranku itu pun bersolek dengan megahnya.
Tak hanya pamflet kecil-kecil yang menempel di tiang-tiang listrik, spanduk-spanduk serta baliho-baliho segede gaban pun bertengger di sana-sini menampilkan wajah para calon gubernur beserta wakilnya dalam pose yang paling menarik, tampan-tampan serta cantik.
Kebetulan karena salah satu pasangan calon gubernur saat itu sedang singgah di Klaten maka seliweran bus-bus pengangkut peserta kampanye dan kendaraan-kendaraan pendukung lainnya pun asyik berkonvoi kesana kemari.

Aku ya hanya manggut-manggut saja melihat hal itu semuanya.
Aku jadi ingat waktu muda nan jaya dulu. Kalau musim Pemilu tiba aku selalu menyiapkan tiga kaos polos warna hijau, kuning dan merah.
Setiap ada kampanye partai yang terwakili oleh salah satu dari ketiga warna itu, maka aku dan temanku pun serta merta berpakaian sesuai identitas itu lalu turun ke jalan!
Tak peduli apa yang disuarakan ketiga partai yang ada, pokoknya ikut meng-ngoeng ngoeng-kan motor di jalanan sambil mengacung-acungkan jari ke ibu-ibu dan anak-anak yang nonton di pinggir jalan dengan girangnya. Syukur-syukur kalau dapat rejeki uang ganti bensin dan sedikit sisa untuk menserviskan karburator yang nyaris jebol karena di ngoeng-ngoeng kan itu tadi.

Ah, tapi Ibuku di rumah bilang kalau harga sembako dan terutama minyak tanah sudah semakin mencekik lehernya.
Sementara ayahku cuma bisa menghibur dan demikian juga denganku serta Ciprut, adikku.

“Yo sing sabar, Ma! Nanti kan kalau gubernurnya ganti yo kita semangkin enak tho?”

“Halahhh!!!! Gubernur ganti yo ndak pengaruh kok! Apa ya dia bisa mbikin harga seikat kangkung jadi 200 rupiah lagi?”

Tapi aku toh tak bergeming mendengar semua itu.
Ibuku kuanggap hanyalah contoh rakyat kecil yang selalu skeptis dan hanya mampu memberi nada sumbang terhadap calon pemimpin yang hendak hadir memimpin wilayah tempat ia berdiam.

“Whatever, Ma! Pokoke aku akan tetap nyoblos!” pikirku.

Aku sendiri apa ya kalian pikir punya harapan yang tebal nan membal bahwa Gubernur yang terpilih nanti bakalan mbikin tambah maju dan berkualitas hidupku?
Aha! Sama sekali ndak, tuh!
Sudah sejak dulu, sejak Pilkada belum ada dan hanya ada Pemilu yang memilih wakil rakyat di parlemen, aku tak pernah percaya pada konsep keterwakilan.
Entah itu tingkat nasional maupun regional, yang namanya keterwakilan itu lebih banyak bolongnya ketimbang rapetnya!
Mangkanya, ketimbang sakit hati mengharapkan aspirasi tersalurkan, lha mbok mending dibuang jauh-jauh pikiran-pikiran seperti itu!
Mau berapa kali Pemilu dan berapa ratus Pilkada, sepertinya membicarakan aspek keterwakilan itu bukan seperti pungguk merindukan bulan lho, tapi benar-benar jauh betul panggang dari si api!

Lalu kenapa aku harus tetap memilih dan mencoblos kalau seperti itu?
Alasan saya simple, saya memilih demi menyenangkan hati mereka, para calon pemimpin maupun wakil rakyat!
Saya memilih karena saya ingin meluluskan niat dan pengorbanan mereka yang telah sedemikian hebat dan beratnya menyiapkan diri untuk menjadi yang berkuasa.

Coba dihitung, berapa milyar uang yang telah dikeluarkan untuk semuanya?
Untuk mbikin kaos beribu-ribu orang yang mau hadir ke kampanyenya, untuk mbagi ke pengendara sepeda motor yang kadang sampai rela menggeber-geberkan gasnya di sepanjang jalan, untuk memberi makan tukang becak-tukang becak serta buruh-buruh lainnya supaya simpati tertarik kepadanya?
Rak yo buanyak banget tho itu?
Mangkanya, hitung-hitung amal, saya mencoblos bukan berharap supaya saya dapat terwakili, tapi lebih karena saya ingin menolong sesama, menolong calon pemimpin itu beserta keluarga serta kerabat dan konco-konconya sekalian.

Saya tahu, secara sadar saya telah memiliki penyimpangan motivasi dalam mencoblos nantinya.
Tapi tak mengapa, toh secara nyata penyimpangan itu tak akan pernah tersuarakan kecuali hanya bolongan yang menancap di foto salah satu calon yang ada di kertas suara milik saya nantinya.

Lagipula, apa ya mereka, para terpilih itu nantinya juga akan lurus-lurus saja dan tidak akan mengalami penyimpangan motivasi dalam mengabdi dan bekerja?

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. gw lupa tuh kapan pertama dan terakhir gw nyoblos….yg pasti cuma sekali…padahal gw punya ktp jabar sama jakarta….abis kayanya emang beneran ga ngaruh siih…

    Balas
  2. Menggunakan hak untuk tak memilih sama halnya dengan menggunakan hak untuk memilih… Du-du-du-du-du!

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.