Karena saking sibuknya kerja, aku sampai lupa bahwa tanggal 14 Oktober 2013 kemarin adalah peringatan delapan tahun aku tidak merokok.?Tentu pencapaian ini bagiku luar biasa karena aku punya jeda selama delapan tahun dan terus berlanjut mengingat dulu aku paling kuat hanya sepuluh menit untuk tidak merokok. Sesudahnya aku akan gelisah, mengambil batang rokok baru dari bungkusnya lalu membakarnya…
Semalam, ketika akhirnya aku ingat, aku berpikir bagaimana dulu aku akhirnya bisa merokok?
Aku mengenal rokok dalam artian menghisap pertama kali adalah ketika aku masih berusia lima tahun.
What?
Yup! Aku tak mengada-ada dan tidak sedang menimbulkan image bahwa aku anak nakal karena demikianlah keadaannya. Seorang tetanggaku dulu menyodorkan sebuah lintingan tembakau dan aku mencoba menghisapnya sekali, lalu terbatuk dan berhenti. Sesudahnya aku tak mau mencoba lagi hingga aku duduk di bangku SMP kelas 1.
Awalnya aku suka nyolong rokok Mama atau Papa karena keduanya memang perokok aktif. Lalu aku mulai berani membeli rokok batangan yang harganya tujuh puluh lima perak saja.?Sepulang sekolah sembari berjalan bersama teman, kami merokok batang demi batang. Dalam acara-acara di luar sekolah bersama kawan-kawan yang sama-sama ‘belajar’ merokok, bibir kami tak pernah berhenti mengepul.
Tapi aku belum jatuh dalam rutinitas merokok waktu itu.?Sesekali, mungkin karena saking banyaknya rokok yang kukonsumsi, kepalaku sering pening dan perut mual ingin muntah. Kalau sudah begitu aku berhenti merokok, seminggu-dua minggu lamanya lalu mulai lagi.
Kelas tiga SMP, aku makin berani merokok.?Aku tak hanya beli eceran tapi per bungkus yang waktu itu harganya masih sekitar tujuh ratus lima puluh perak mahalnya. Meski belum berani merokok di depan orang tua, ketika di kamar atau di toilet di kamar mandi, aku biasa menghisap batang demi batang.
Mungkin kalian tanya apa orang tuaku tak curiga dengan bau rokokku? Hehehe… aku sudah memperhitungkan hal itu. Aku berpikir Mama Papaku, karena sesama perokok tentu tak akan menaruh curiga pada bau rokok yang ada lagipula kurasa hidung mereka sudah tak terlalu peka…
Papa bilang padaku, “Kamu kalau merokok jangan banyak-banyak… dan… jangan di depan Pak Asrama…” Aku tertawa, hidup itu indah!
Mendekati EBTANAS (ujian akhir), aku terang-terangan bicara kepada Mama bahwa aku merokok.?Marah? Jelas! Tapi aku bertahan dan itu adalah cara terbaik menghadapinya. Lambat laun ketika Mama menyuruh pembantu beli rokok ke warung, aku nitip, “Mbak, aku beliin juga, minta uang tambahan ke Mama!” Tapi Papa belum tahu waktu itu…
Pindah ke Jogja untuk bersekolah di De Britto, aku tak terbendung lagi. Papa akhirnya tahu aku merokok meski awalnya marah tapi aku selalu ‘membayarnya’ dengan prestasi akademik yang kuraih waktu itu.?Hidup jauh dari orang tua meski di asrama, dengan uang jajan yang dikirim sekali sebulan dengan jumlah yang lumayan, aku dengan gampang membeli rokok ke warung kapan dan dimana saja.
Pernah sekali peristiwa, orang tuaku ditelpon oleh pemilik asrama. Ia melaporkan bahwa aku sekarang menjadi perokok. Papa bilang padaku, “Kamu kalau merokok jangan banyak-banyak… dan… jangan di depan Pak Asrama…” Aku tertawa, hidup itu indah!
Ketika kuliah, mendekati paruh akhir era 90an, aku dan rokok adalah hal yang tak dapat terpisahkan. Aku rela untuk makan sehari sekali asal sekali sehari pula aku menghabiskan sebungkus rokok. Bahkan ketika harganya naik berlipat setelah krisis ekonomi menghantam Indonesia dan keluargaku, meski mulai jarang membeli sebungkus rokok, aku mengecer batang demi batang tak terhentikan. Berteman dengan sesama perokok adalah kegemaranku karena itu berarti aku bisa minta rokok ke mereka dan terkadang sebaliknya. Kadang saja karena ekonomi benar-benar sesak waktu itu.
Keadaan ekonomiku membaik ketika aku bersama kawan-kawan lain membangun perusahaan IT di Jogja, Februari 2000.?Membeli rokok secara eceran jelas bukan ‘jamannya’ lagi. Bahkan tak tanggung-tanggung, aku ganti merk rokok, tak tanggung-tanggung dua merk sekaligus dan sekali beli biasanya langsung satu kotak besar terdiri dari 10 bungkus isinya untuk persediaan.
Kemana-mana bangga benar menenteng dua bungkus rokok dan henpon serta korek bersalut stainless steel, imported dari Amerika dan tiap menyalakannya selalu menimbulkan bunyi , “Cling!” Menyenangkan…
Apalagi kalau sedang lembur kerja. Tak ada yang lebih nikmat ketimbang menyeruput kopi, mengudap makanan kecil dan tangan tak berhenti menggamit rokok sambil terus mengetik di atas keyboard yang semakin kusam karena abu rokok yang berceceran di atasnya dan di sela-sela tombolnya.
Berhenti merokok? Tidak ada dalam sejarahnya waktu itu!?Kalaupun sedang batuk atau radang tenggorokan (penyakit biasa untuk perokok) hal yang kulakukan saat itu adalah berganti merk rokok yang katanya ‘lebih halus’ dan sekali lagi, hidup itu memang membahagiakan dan indah!
Hingga akhirnya apa yang pernah kuceritakan di artikel yang pernah kutulis (klik di sini) terjadi dan malam itu adalah malam terakhir aku merokok hingga kini.
Inginku terus berhenti merokok sampai mati, tapi aku adalah manusia lemah yang bisa jatuh kapan saja untuk kembali merokok.?Makanya ketimbang memuji diri sendiri sebagai orang yang telah berhenti merokok selama delapan tahun, aku lebih suka mengistilahkan bahwa aku ini adalah orang yang sedang tidak merokok selama delapan tahun.
Beda tipis tapi ketipisan itu adalah bedanya…
Aku lupa kapan aku tidak merokok lagi. Sebab aku tidak merokok lagi sih enteng, kalau aku mau memberitakan kabar baik, masak aku membawa penyakit.
Hehe33
Hehe34 :)
Saya pernah merokok, sudah sejak SMA tapi bisa dikatakan saya bukanlah perokok aktif. Itupun hanya mungkin dapat dihitung dengan jari berapa kali saya membeli rokok sendiri, sisanya minta ke paman atau kakak yang memang perokok aktif.
Tapi untunglah, sampai saat ini saya sangat amat jarang merokok.
Good on you!
papaku perokok meski sedikit, dan dia berhenti merokok waktu aku lahir.
Sejak saat itu di rumahku tak pernah ada asbak…. sehingga aku selalu mengatakan, “Siapa yang mau jadi pacarku harus bukan perokok!”
Dan… aku pacaran, dan aku ditipu ternyata dia juga merokok. Putus.
Berkenalan dgn (calon) suami sudah tahu dia merokok, tapi tak bisa tidak aku terpaksa menerimanya.
Pernah aku mau mencoba merokok, tapi isapan pertama tidak enak! Tidak batuk tapi tidak enak.
Mending aku pakai uangku untuk minum alkohol… toh aku bisa kontrol sampai seberapa banyak aku minum juga hehehe
Begitulah, suamiku perokok, peminum kopi dan alkohol
aku non perokok, penimum kopi dan alkohol.
Hahahaha, soal alkohol, aku tak pernah punya niatan untuk berhenti, tapi entah kenapa dalam waktu tiga bulan terakhir, aku hanya sekali minum beer. Entahlah, let it flow ajah hehehe
Saya sudah hampir 3 tahun ini berhenti. Bukan perokok berat. Alasan berhenti karena gak mau nyusahin anak istri kalau besok besok sakit karena rokok. Dan juga ingin lebih lama bersama mereka.
Alasan yang sangat masuk akal dan bernilai sosial yang tinggi karena hidup ini tak pernah sendirian meski akhirnya kita mati bakalan sendirian ya :)