Kenapa akhirnya aku memutuskan masuk startup?

24 Jun 2021 | Cetusan

Hari ini sebulan yang lalu, tepat di Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Gereja, 24 Mei 2021, aku memulai karir baru, bekerja di sebuah perusahaan startup yang fokus pada online market place.

Momentum itu adalah penanda aku menyudahi 11 tahun karirku bekerja di perusahaan-perusahaan besar di Australia. Sekaligus momentum itu membuatku bernostalgia terhadap apa yang dulu pernah kukerjakan 21 tahun silam di Jogja, bekerja membangun perusahaan startup meski saat itu belum dikenal istilah itu.

Ada banyak yang mengernyitkan dahi ketika aku bercerita tentang keputusan ini. Pendapat-pendapat mereka itu terwakili dalam satu kalimat langsung imajiner di bawah ini,

“Don! Kamu kan udah makin tua, kenapa nggak tetap kerja di perusahaan besar aja? Kan aman? Kan nyaman?”

Kenyamanan dan keamanan adalah kuncinya, bukan? Mari kita dalami dua hal ini.

startup (Pixabay)

Kenyamanan startup

Bekerja di perusahaan besar, bagi sebagian orang memang bikin nyaman. Di level jabatan yang kutinggalkan sebulan lalu (kepala design produk digital lah istilahnya) kesibukanku adalah datang ke kantor, join ke banyak pertemuan, membuat intisari tiap pertemuan, membuat rencana kerja lalu membagi pekerjaan dengan anak buah dan kalau masih ada sisa pekerjaan akan kukerjakan, selebihnya… santai.

Bikin satu gerakan baru nan inovatif memang memungkinkan. Tapi bersiaplah menghadapi tentangan pihak sana-sini dengan berbagai macam alasan. Kalaupun akhirnya jadi dan berhasil, bersiap pula untuk menghadapipihak-pihak yang saling berlomba untuk mengklaim bahwa ide brilian itu adalah milik mereka. 

Licik? Nggak juga sebenarnya karena dalam dunia kerja, kelicikan itu sah dan halal dalam konteks politik, bukan?

Santai dan nyaman

Kembali ke soal santai dan nyaman… sayangnya lagi bagi sebagian orang, nyaman adalah santai. Makin santai makin nyaman. 

Aku sendiri bukannya tidak mau santai tapi sedari awal aku melatih diriku untuk tidak boleh terlalu santai. Jika terlalu santai, ini terjadi beberapa kali, aku akan merasa semakin lemah. Ketika semakin lemah dan hidup tiba-tiba memberikan skenario yang berbeda dari yang kita harapkan, untuk bangkit itu rasanya bakal berat banget!

Berbeda dengan di startup, dalam istilah asingnya, ada begitu banyak moving parts yang bisa kita kerjakan untuk membuat pergerakannya makin mulus dan teratur. Pekerjaan tentu jadi bejibun dan tak hanya terbatas pada product design saja tapi juga banyak hal lain. Keadaan ini membuatku menjadi begitu nyaman karena aku sibuk dan aktif dibumbui dengan sedikit stress dan deg-degan… ya OK lah! :)

Tapi katakanlah kamu sibuk dan banyak orang mengapresiasi kerjaanmu, bagaimana kalau perusahaan nggak running well? Kondisi pasar nggak mendukung? Kamu barangkali nggak dipecat, Bro tapi mereka gak bisa bayar kamu lagi! Gimana?

Nah, ini bicara soal keamanan.

Keamanan startup

To be fair, resiko seperti ini kan gak hanya terjadi di startup aja dong? Apalagi di musim pandemik, bank aja banyak yang nutup cabang? Berapa banyak retail brand besar yang tutup? Puluhan atau bahkan ratusan maskapai penerbangan juga nggak bisa terbang lagi, kan?

Aku meletakkan keamanan hidupku termasuk pekerjaan hanya kepada Tuhan. (Sounds really plain ya? Hehehe)

Pasrah? Pasrah!
Tapi pasrah bagiku bukan berarti diam bukan pula berarti nekad!

Justru karena aku berani meletakkan kepadaNya maka aku harus mengusahakan yang paling baik semata karena Tuhan sudah memberiku piranti-piranti terbaik dalam mengambil keputusan: akal budi dan pendapat orang-orang terdekat.

Framework pengambilan keputusan

Sebelum memutuskan pindah ke startup, aku menggunakan akal budi untuk memikirkan banyak hal.

Misalnya gaji. Sederhananya, kalau gaji lebih sedikit ya ngapain pindah? Kalau gaji lebih banyak tapi nggak bikin portfolio makin baik, ya ogah juga!

Atau soal kejelasan perusahaan. 

Meski startup, bagaimana investasi para pemodalnya? Sudah sejauh apa? Akan sebanyak apa? Apa yang jadi core business dan bagaimana forecast-nya untuk beberapa bulan atau tahun mendatang?

Setelah mendapat insight-insight matang itu aku lalu mencari dengar pendapat dari orang-orang terdekat.

Aku bertanya pada Joyce, istriku yang meski jawabannya selalu, “Kamu yang lebih tahu, aku percaya aja” tapi intuisinya sebagai pasangan hidup tetap kuperlukan.

Pada mama mertua karena dia adalah satu-satunya orang tua yang masih ada dan beberapa orang yang kuanggap mentor dalam pekerjaan.

Pendapat mereka kutampung dan kupikirkan masak-masak. Dalam bahasa rohaninya, pendapat itu kubawa dalam doa :) Oh ya, ngomongin soal doa, selain menjalankan doa rutin harian aku juga mohon doa khusus kepada kawan-kawan sepelayananku.

Step-by-step di atas adalah framework-ku mengambil keputusan yang pernah beberapa kali kupraktekkan dalam hidup termasuk saat tahun 2008 silam aku memutuskan pindah ke Sydney, Australia dan meninggalkan Jogja.

Jadi, kembali ke laptop… aman tidaknya sebuah pekerjaan bahkan hidup bagiku adalah sepasrah apa aku meletakkannya kepada Tuhan.

Makin aku pasrah, makin aku berusaha. Makin aku berusaha, makin aku menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Artinya, jika aku berhasil dalam pekerjaan ini, hal itu terjadi karena kasih karunia Tuhan, bukan karena kuat dan gagahku semata.

Kalau aku tidak berhasil di sini, bagiku ini bukan kegagalan melainkan cara Tuhan untukku mau belajar hal baru.

Kalau Tuhan mau kamu masuk ke perusahaan besar lagi?
Selama itu dari Tuhan, ya nggak papa, aku akan masuk lagi. Meminjam kata-kata Bunda Maria waktu didatangi Malaikat Gabriel, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah kepadaku menurut perkataan Tuhan…

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Mantab, mas DV. Saya juga menyerahkan semua urusan dan hasil kepada Tuhan setelah saya berusaha maksimal sebagai manusia. Pertimbangan orang sekitar juga penting sebagai masukan. Dan yang lebih didengar, ya, saran istri dan orang tua. Karena apa yang mereka sarankan adalah intuisi, pesan dari Tuhan. Saya yakin itu.

    Sehat dan sukses selalu.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.