Kenapa akhirnya aku harus berpihak dan bersuara?

3 Nov 2023 | Cetusan

Baiknya aku membuka tulisan ini dengan sebuah pernyataan bahwa dalam putaran pertama Pilpres nanti aku akan mendukung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Kalau mereka kalah, di putaran kedua dukunganku kupindah ke pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar.

“Lho…lho..lho nggak bahaya ta memilih Anies – Muhaimin?”

Hidup ini pertaruhan. Lebih baik aku bertaruh untuk masa depan yang meski agak ‘pinggir jurang’ terkait politik identitas yang sering diidentikkan dengan Anies daripada membayangkan pasangan lain berkuasa dan cara mendapatkan kuasanya melalui cara yang tidak etis dimana ada ketua mahkamah keluarga memutuskan kasus yang menguntungkan keponakannya sendiri yang adalah anak presiden yang sedang berkuasa!

Tapi kan kamu sudah tinggal di Australia?

Ada yang tanya gitu, “Kan kamu sudah di Australia? Apa pengaruhnya untuk bicara?”, “Gak pengaruh ke gaji kita anyway” atau…”Udah lah mending share link bokep aja, Mas!”

Betul, hidupku tak terpengaruh pada siapapun yang berkuasa karena aku tinggal di Australia. Tapi aku juga tak bisa membiarkan hal-hal yang melawan prinsipku terjadi. Aku tidak bisa bersikap apatis. Bagiku memiilih sikap diam dan membiarkan yang tidak kita inginkan berkuasa itu sama saja dengan kita sedang berinvestasi keburukan di masa nanti!

Secara garis besar, ada dua alasan kenapa aku harus bicara.

Pertama, aku kecewa pada Jokowi.
Kupikir orang yang kupilih dan kubela di dua pemilihan sebelumnya adalah orang yang jadi antitesisnya Soeharto. Kupikir Jokowi adalah representasi bahwa hantu nepotisme yang berkelindan selama tiga puluh dua tahun di masa Orde Baru sudah runtuh dan setiap orang, seperti halnya Jokowi, berhak untuk bermimpi dan menjadi siapapun selama ia punya kapasitas, kapabilitas dan elektabilitasnya bagus. Tapi nyatanya, tidak kan?

Kedua, karena aku peduli!
Bukan peduli pada siapa yang akan jadi di pilpres nanti tapi peduli pada kawan-kawan yang masih belum tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan kawan-kawan yang sudah tahu tapi memilih diam. Harapanku ketika bersuara, hal itu membuat mereka yang belum tahu jadi mencari tahu lalu mengambil sikap. Sikap yang diambil nggak harus sama tapi setidaknya mereka tidak acuh pada kenyataan yang terjadi. Sementara bagi yang sudah tahu tapi diam semoga jadi tidak diam! Kalaupun suaraku justru membuatnya makin antipati dan bahkan harus berpaling dariku ya nggak papa itu resiko.

Kehilangan teman?

Melanjutkan kalimat di atas, kalau pada akhirnya cara bicaraku malah membuat ada yang memunggungiku lalu pergi, aku siap kehilangan teman dan ini sudah terjadi.

Ada seorang aktivis yang kukenal baik dan dekat sejak akhir dekade 2000-2010an. Minggu lalu memutuskan tali pertemanan karena tersinggung pada yang kubicarakan. Dianggapnya aku tak menghargai sikapnya tapi bagiku dialah yang sudah lebih dulu tak berharga karena memilih tunduk dan membutakan mata hatinya.

Ya nggak papa. Lebih baik bagiku kehilangan teman daripada kehilangan akal untuk bersuara yang kuanggap benar. Lagipula, bagiku teman yang baik bukan hanya mereka yang bersikap baik dan selalu setuju dengan sikapku. Teman baik juga adalah orang yang tahu kapan saatnya menghentikan pertemanan itu sendiri, bukan?

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.