Kenangan Sepuluh Tahun Peristiwa Gejayan

10 Mei 2008 | Aku

Sebelumnya, kuingatkan bahwa tulisan ini lumayan bahkan cenderung sangat panjang dan sebenarnya bukan tulisan ini yang hendak kunaikkan malam ini.
Ada tulisan lain yang sudah mengantri untuk tampil sebagai yang terbaru di sini, akan tetapi setelah membaca blognya Mas Iman Brotoseno,
aku jadi terpikir untuk mengubahnya. Ya, tulisan beliau mengingatkanku pada Peristiwa Gejayan.
Sepuluh tahun silam (8 Mei 1998), aku beruntung telah menjadi saksi hidup peristiwa yang berlangung pada malam yang mencekam itu.

Gejayan I
Awalnya adalah siang.
Ketika itu aku masih aktif kuliah di “Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
Kampusku tergolong yang telat melakukan demonstrasi menuntut pergantian rezim. Berbeda dengan banyak kampus di Yogyakarta yang telah lebih dulu berdemonstrasi di kampusnya, kami
cenderung menahan diri dan terkadang malah “sibuk kuliah” di kelas dan tidak terlalu menghiraukan pergerakan dunia luar.

Maka, siang itu kami berniat “membayar hutang”.
Sepasukan dari kami berbaris dengan rapi menjelang pukul 11.00 WIB di depan kampus siap untuk melakukan demonstrasi yang belum pernah dilakukan mahasiswa lain di Yogyakarta waktu itu,
yaitu keluar kampus dan berdemo di jalanan.
Ini nekat sebenarnya! Tentu Anda semua masih ingat betapa ganas dan luas kuasanya para aparat dulu, sehingga menggelar demonstrasi di luar seperti ini sangat riskan dan membahayakan.
Salah-salah nanti malah kena tangkal, ciduk, cekal!

Tujuan kami adalah Bundaran UGM untuk bersatu dengan rekan-rekan di sana.
Kami pun berjalan melewati Jl Dr Wahidin Sudirohusodo di depan kampus hingga perempatan Galeria-RS Bethesda.
Lalu kami berbelok ke kiri menuju perempatan besar Gramedia di Jl Jend Sudirman dan bergerak ke kanan menuju Bunderan UGM melalui Jl Cik Ditiro.
Yel-yel anti kemapanan kami teriakkan sepanjang jalan yang tak terlampau panjang itu. Kepala pasukan dan konco-konconya membentangkan spanduk protes di depan, para peserta berbaris rapi
di belakang dengan mengenakan jas almamater, sedangkan di kiri dan kanannya “dikawal” para gentho kampus yang kebanyakan berkulit legam dan menjaga kemungkinan yang tidak-tidak terjadi
pada awak demonstran. Sementara jalanan pagi itu ramai seperti biasa, akan tetapi para pengguna jalan begitu bertoleransi kepada barisan kami yang memakan separuh dari jalan yang kami
lewati.

Sesampainya di Bunderan, suasana semakin siang semakin memanas. Satu per satu satuan mahasiswa dari UGM pun keluar pagar menuju bunderan hingga jalanan depan RS Panti Rapih Yogyakarta.
Orator demi orator berdiri dan berbicara di sebuah bak mobil terbuka yang diparkir di tengah jalan dan dijadikan panggung dadakan.
Salah satu dari yang bicara adalah Butet Kertaredjasa.
Dan itu adalah kali pertama aku menyaksikan ia menampilkan monolog suara Pak Harto, orang yang paling kami inginkan untuk diganti kala itu.

Gejayan IIHingga menjelang pukul 15.00 WIB, tiba-tiba ada informasi yang menyatakan bahwa mahasiswa demonstran dari IKIP Karangmalang (sekarang UNY)
dan Universitas Sanata Dharma (USD) ditangkap aparat.
Kami pun gusar lalu bubar. Tapi kami tak membubarkan diri untuk pulang, melainkan tanpa rasa takut beringsut menuju ke “TKP” yang kami perkirakan terjadi di sekitar
Selokan Mataram hingga kampung Karangmalang.
Semula kami melewati jalan Bunderan ke arah timur, arah menuju ke perempatan Sagan – Santikara, akan tetapi tepat di perempatan itu sekitar lima puluh aparat berseragam dan senjata lengkap
telah menghadang kami. Terpaksalah kami berbalik arah dan menggunakan jalan alternatif yaitu masuk ke dalam kompleks UGM yang tak jelas tak bisa dimasuki aparat.
Dari situ kami berjalan ke arah timur, melewati lembah UGM hingga ke Selokan Mataram dan Kampung Karangmalang.
Akan tetapi pada akhirnya kami menyadari bahwa berita ditangkapnya mahasiswa oleh aparat itu hanyalah isu belaka.

Lalu kami yang sudah terlanjur ada di sana pun memutuskan untuk tidak kembali ke Bunderan UGM maupun beranjak pulang.
Kami bersatu dengan teman-teman IKIP Karangmalang, duduk-duduk di trotoar Jalan Gejayan yang sekarang digunakan sebagai kawasan pertokoan Toko Merah hingga ke Toko Swalayan Circle K serta
berhadap-hadapan dengan kampus Universitas Sanata Dharma (USD) Mrican dan Realino.
Kenapa kami di sana, karena kami mendapatkan informasi dari rekan mahasiswa di USD bahwa mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran selepas maghrib nanti.

Matahari seudah kian condong ke barat sementara dari arah selatan hingga ke Pertigaan Jalan Colombo – Gejayan, kami melihat beberapa aparat mulai sibuk berjaga-jaga.
Tampaknya kedatangan kami telah tercium dan sekaligus menjadi tanda bahwa akan ada “apa-apa” malam ini.
Saat itu Jalan Gejayan mulai sepi pengguna, puluhan penduduk mulai berkumpul bersama kami, keluar dari rumahnya yang berada di ruas-ruas gang kecil yang bermuara di Jalan Gejayan.
Mereka adalah bapak-bapak, ibu-ibu yang menggendong bayi serta barisan anak-anak muda yang seusia, lebih muda, maupun lebih tua daripada kami.

Kira-kira pukul setengah enam, para pedagang PKL penjaja makanan yang waktu itu masih diijinkan untuk berjualan di seberang jalan Hotel Radisson (sekarang Jogja Plaza Hotel) pun mulai
mengurungkan niatnya untuk berjualan. Demikian pula dengan toko-toko yang bertengger di sepanjang Jalan Gejayan, mereka terlihat beringsut menutup tokonya lebih pagi.
Mereka tampak seperti sudah mengetahui bahwa angin malam hari ini bakalan lebih sedikit “tidak biasa” di bandingkan malam-malam sebelumnya.

Adzan Maghrib berkumandang, keadaan menjadi sunyi.
Sesekali suara gurauan dari kami serta penduduk mendominasi atmosfir yang hening.
Beberapa rekan mahasiswa yang muslim, mengundurkan diri sementara menuju ke masjid kampus IKIP Karangmalang untuk menunaikan ibadah sementara mata para aparat yang berada di selatan
saya tampak seperti tak bergeming. Mereka berdiri membentuk benteng. Sebuah benteng yang kelam seiring mulai gelapnya malam yang ditinggal pergi matahari.

Pukul 18.15 WIB.
Tiba-tiba dari arah kampus USD, beberapa gerombolan mahasiswa beringsut keluar kampus dan menuju Jalan Gejayan.
Kedatangan mereka yang cenderung tiba-tiba itu pun mendapat applaus meriah dari kami yang sudah sekian lama menunggu di seberang.
Kami lantas berdiri dan bersama-sama rakyat mendominasi Jalan Gejayan.
Kami, yang berdiri dalam jumlah lebih dari ratusan itu pun menghadap ke arah aparat.
Setapak demi setapak kami maju ke depan, memekikkan yel-yel pembaharuan sembari mengacung-acungkan tangan.

“Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan!”

Yap! Kalimat sakti yang kami litanikan petang itu membawa kami semakin maju hingga ke arah pertigaan Jalan Gejayan dan Jalan Mrican. Jalan Mrican adalah jalan yang pada akhirnya harus
menghadapi kenyataan bahwa semenjak malam itu, ia diganti nama menjadi Jalan Mozes Gatotkaca,
martir reformasi yang harus tewas beberapa saat setelah itu.

Aparat tak tinggal diam. Benteng hidup itu terlihat maju.
Dari dimensinya, terlihat bahwa benteng itu tidak terlalu pipih. Ada beberapa lapisan aparat lain di belakangnya yang menyokong kokohnya benteng itu.
Jarak kami telah semakin dekat dan kami tak sekalipun mengendorkan teriakan-teriakan dan dorongan tubuh ke arah depan.
Dan kericuhan tak terhindarkan.

Beberapa mahasiswa tampak terlindas benteng yang bergerak.
Tubuhnya koyak terinjak-injak lalu menghilang ditarik ke belakang.
Dan sesudahnya kami tak mengetahui bagaimana nasibnya…

Sepuluh menit berselang lalu kami memutuskan untuk sedikit mundur ke belakang hingga kira-kira sejajar dengan pintu gerbang kampus USD.
Sementara rakyat yang ada di belakang kami tampak mulai bertindak sedikit anarkis.
Kami tak bisa menghentikan, namun demikian, untuk menghindari aksi anarkis terhadap seluruh yang ada di sepanjang Jalan Gejayan, kami pun menyerukan untuk tidak merusak sesuatu yang menjadi
milik warga.
Dan akhirnya… mereka pun mulai merusak sarana dan prasarana yang didirikan pemerintah.
Mulai dari telepon umum, rambu lalu lintas, lampu jalan hingga divider Jalan Gejayan, tak luput dari pengrusakan.

Pukul 19.00 WIB.
Setelah sebelumnya kami banyak menghabiskan waktu dengan bernyanyi serta berteriak-teriak di depan aparat yang seolah tak mau bergeming itu, tiba-tiba sebuah mobil kijang ber plat merah
menyeruak dari benteng hidup aparat menuju ke arah mahasiswa.
Semula kami tak tahu itu siapa hingga akhirnya setelah berhenti di depan batas benteng kami, seseorang yang ternyata adalah anggota DPRD keluar dari mobil.
Ia mengenakan safari, khas wakil rakyat ketika itu.
Dengan senyum terkembang, ia pun maju ke depan ke arah kami.
Lalu ia sibuk menyalami kami yang berada di garda depan itu, mungkin ia dikirim untuk menurunkan tensi dan kalau perlu membubarkan kami secara halus dan persuasif.

Tapi kondisi itu tak lama. Tiba-tiba entah siapa yang mengkomandoi, para mahasiswa mengepung wakil rakyat tadi dan meminta ia untuk berpose di depan kamera sembari memegang dan mengacung-
acungkan poster protes yang telah disiapkan oleh mahasiswa. Sontak ia pun terkaget, akan tetapi tak ada cara lain selain menuruti apa yang menjadi kemauan mahasiswa.
Aparat rupanya tak senang dengan tindakan itu.
Dalam sekejap mereka pun menyerbu kami.

Kami yang tak siap karena sibuk dengan “sesi pemotretan” itu pun lari tunggang langgang.
Keadaannya benar-benar seperti air yang tertekan di dalam sebuah plastik, pecah tak tentu arah!
Banyak dari kami yang melarikan diri masuk ke gang-gang kecil, ada pula yang mundur jauh ke arah utara, ke belakang.
Sementara ada banyak mahasiswa USD yang memilih lari masuk ke dalam kampus.

Tapi tak dinyana! Aparat yang seharusnya tak memiliki hak untuk masuk ke dalam kampus USD pun mengejar hingga masuk ke dalam.
Caci-maki serta bunyi senapan yang menyalak begitu mendominasi malam itu.
Jeritan kengerian mahasiswa juga tak kalah serunya ada di antaranya.
Kejadian masuknya aparat ke kampus USD ini kudapatkan informasinya dari seorang teman yang hanya mundur beberapa langkah saja, karena aku termasuk ke dalam rombongan mahasiswa yang lari
ke dalam gang-gang kecil dan tidak langsung melihat itu.

Menjelang pukul 20.00 WIB keadaan mulai tenang kembali.
Mahasiswa yang sudah terpukul lebih jauh ke utara pun berkumpul kembali bersama rakyat.
Sementara aliran listrik untuk beberapa saat sebelumnya telah dipadamkan.
Keadaan benar-benar tidak mengenakkan. Ada kekhawatiran jangan-jangan sudah mulai banyak intel yang masuk ke dalam barisan kami serta ada pula kekhawatiran bahwa malam ini benar-benar akan
menjadi sangat berdarah seperti bayangan kami yang terjadi di Lapangan Tiananmen cina, sembilan tahun sebelumnya.
Tapi ada satu kabar yang sudah tidak dapat dikategorikan sebagai kekawatiran karena sudah pasti terjadi yaitu bahwa pergerakan malam ini telah merenggut satu jiwa yang kemudian beberapa saat
kemudian kami ketahui bernama Mosez Gatotkaca, relawan SAR yang sebenarnya tidak tergolong dari kami yang berdemonstrasi.
Ia hanya sedang makan di warung angkringan yang terletak di Jalan Mrican ketika tiba-tiba sekelompok aparat datang dan menghajarnya hingga naas.

Sepuluh menit berlalu, dan suara-suara aparat yang menganjurkan supaya kami membubarkan diri karena telah malam pun terdengar menakutkan.
“Ayo bubar! Sudah malam, ayo pulang!” Begitu yang kuingat benar.
Kami yang seharusnya pulang justru kembali berdiri dan melanjutkan perlawanan.
Kami maju lagi ke arah aparat yang tak mampu kami lihat dengan jelas karena malam yang begitu gelap.

Lalu tiba-tiba sebuah luncuran gas air mata menyambut kami hingga sekali lagi memporakporandakan suasana.
Rasa pedih dan perihnya gas yang menyentuh permukaan kulit wajah serta mata itu tak keruan.
Suasana ini kembali digunakan aparat untuk menekan kami untuk lebih mundur lagi ke utara.
Kami lari lintang pukang.
Aku ingat betul waktu itu, dengan rasa perih dan pedih akibat gas airmata, aku pun melarikan diri ke arah gang yang ada di sisi timur Jalan Gejayan.
Lalu secara spontan masuk begitu saja ke rumah penduduk yang memang selalu membukakan pintu bagi mahasiswa untuk bersembunyi.

Untuk waktu lebih dari lima belas menit, aku pun bersembunyi di bawah kolong tempat tidur penduduk.
Aku hanya bisa tengkurap sambil tetap menahan perih sementara dari kejauhan bunyi senapan serta derap langkah kaki yang berat dan juga teriakan aparat begitu menteror mental.
Pada titik ini, rasap-rasanya aku ingin menangis.
Aku ingin menyudahi saja petualangan malam itu karena toh semula aku tak pernah berharap akan ada cerita sepanjang ini di malam itu.

Akan tetapi wajah-wajah penduduk yang selalu menguatkan itu pada akhirnya membuatku bergeming dan kembali untuk bergabung bersama ratusan mahasiswa dan penduduk yang keluar kembali ke
Jalan Gejayan yang tampak semakin buruk rupa karena sudah begitu hancurnya nyaris semua fasilitas-fasilitas yang dibangun pemerintah.
Yel-yel pun kembali membahana diselingi tepuk tangan dari kami setiap ada satu teriakan yang terdengar menyemangati.

Keadaan seperti itu terpelihara hingga sekitar pukul 23.00 WIB.
Para mahasiswa yang sudah mulai kelelahan serta penduduk yang mulai lebih banyak mengaso sambil duduk-duduk di trotoar pada akhirnya harus memutar otak lebih keras lagi karena ada isu bahwa
serombongan pasukan sedang diberangkatkan dari Solo untuk ditempatkan di Jalan Gejayan dari sisi utara.
Ini berarti bahwa kami akan digencet, ditekan dari dua arah, utara dan selatan.

Tapi kami tak menyudahi perlawanan hingga di situ saja.
Beberapa puluh mahasiswa ditemani penduduk bermodalkan pesawat komunikasi HT memutuskan untuk menjaga sektor utara Jalan Gejayan di sekitar Pom Bensin Gejayan yang berpotongan dengan Ring
Road Utara. Hingga di sini, aku sudah semakin putus asa. Ketakutan semakin mendominasi ketimbang keberanianku yang sejak tadi siang menggelora.
Sementara satu-satunya mahasiswa dari kampusku yang masih ada di sekelilingku dan kukenal hanyalah Chobus, teman dekat yang berasal dari Pulau Sumba.
Kami sempat berbisik untuk pergi saja dari situ, meninggalkan gelanggang lalu tidur tepekur di kamar nyaman kami akan tetapi Chobus mengingatkanku. “Ah! Kau ini! Baru segini sudah takut!
Ayo, kita lanjut sampai pagi!” Aku hanya bisa diam dan mengikuti ucapannya meski itu sebenarnya sama sekali tak mengurangi rasa takutku.

Beberapa waktu lamanya keadaan tetap bertahan seperti sedia kala hingga tiba-tiba tersiar kabar bahwa teman-teman di garis utara telah mendapatkan tanda bahwa aparat memang benar akan datang
dari arah utara Gejayan. Keadaan kembali porak poranda. Adrenalin kami mau tak mau terpicu lagi. Secara tak kami sadari, di satu sisi, aparat di sisi selatan telah semakin berhasil
meringsek kami ke arah utara hingga menuju ke persimpangan Selokan Mataram dengan Jalan Gejayan (sekarang di sekitar Mirota Gejayan).

Lalu tiba-tiba, sekonyong-konyong dari arah utara para mahasiswa yang tadinya berangkat ke utara untuk mengawal garda utara, lari tunggang langgang ke belakang.
Di belakangnya terdapat beberapa lampu sorot menyilaukan dan suara gemuruh yang menyertainya. Keadaan panik seketika itu juga.
“Panser! Panser!” Ya! Sebuah panser telah didatangkan dengan sorotan lampu yang begitu kejam menikam mata, sementara lamat-lamat terlihat dengan tak begitu jelas, di sekeliling panser itu…
oh tidak! Pasukan aparat berjalan dalam senyap memanfaatkan silaunya mata kami sehingga tak terlihat kedatangannya.

Kali ini tak bisa tidak, kami pun berlarian.
Himpitan benteng hidup dari arah selatan serta panser dan aparat dari arah utara membuat kami lintang pukang kembali menyelamatkan diri.
Aku berlari bersama Chobus ke arah timur Jalan Gejayan menyusuri Selokan Mataram yang malam itu tampak berair cukup dalam.

Kira-kira 300 meter kami berlari sementara bunyi tembakan senapan serta derap langkah dan jeritan korban begitu membahana.
Aku semakin gemetar! “Donny! Masuk sini!” Chobus dengan logat Sumbanya memanggilku untuk masuk ke dalam selokan.
“Hah! Nggak aku lari saja, Bus!” Aku berusaha tetap meninggalkannya yang sudah berendam di dalam selokan.
Tapi aku pun bingung tak tentu arah. Untuk sendirian menuju ke arah timur tentu akan sangat memusingkan karena kepanikan yang kualami sudah begitu akut.
Sementara untuk tinggal di dalam selokan… ah ya sudah, akhirnya aku pun memutuskan untuk menyusul Chobus bersembunyi di dalam selokan.
Meski berarus, untungnya permukaan air Selokan Mataram malam itu tak terlalu dalam.
Aku membenamkan tubuhku hingga nyaris tinggal kepala yang terlihat.
Sementara keadaan di sekitar tetap gelap gulita. Semakin lama semakin tak terdengar riuh rendah di sekitar Jalan Gejayan.
Hanya lampu sorot yang memantul di langit Jogja malam itu, “Ah! Itu pansernya!” begitu pikirku.

Nyaris setengah jam, aku tak kuat lagi untuk tak berdiri dari selokan.
Lalu aku dan Chobus keluar dari selokan dan melanjutkan pelarian ke arah timur.
Kami lalu berpikir bagaimana cara melarikan diri hingga benar-benar aman.
Hingga akhirnya kami sepakat untuk melepas jas almamater kita sehingga berpakaian seperti orang biasa.
Ya, seandainya kami tetap bersikukuh mengenakan pakaian identitas kampus itu, akan semakin memudahkan para aparat yang kemungkinan besar masih menyisir kawasan untuk menangkap kami.
Jas kami lepas lalu buru-buru kami lemparkan begitu saja ke areal persawahan yang sekarang, sepuluh tahun kemudian, telah disulap menjadi jajaran ruko di sekitar Selokan Mataram.

Hingga sekitar pukul 01.00 WIB kami telah berjalan sekitar 2 kilometer menjauh dari Jalan Gejayan.
Rasa lapar begitu terasa dan akhirnya kami memutuskan untuk mampir ke sebuah warung indomie 24 jam.
Untuk beberapa saat lamanya kami tinggal di sana sambil terus memantau pergerakan teman-teman dari siaran radio yang diputar si penjual.

Pukul 02.30 WIB sebuah sepeda motor melewati warung dan mampir.
Ia datang dari arah barat, dari arah Jalan Gejayan.
Lalu aku pun iseng menanyakan bagaimana kondisi Jalan Gejayan saat ini.
“Sudah aman Mas. Jalan sudah dibuka lagi, sudah nggak ada tentara di sana, cuma polisi yang ada di pertigaan Kolombo berjaga-jaga seperti biasa!”
Wah aman, pikirku.

Lalu aku pun bergegas bersama Chobus untuk berjalan kembali.
Malam itu aku memutuskan untuk menginap di kamar kost si Chobus yang terletak di daerah Gambiran, tak jauh dari Jalan Gejayan.
Terlalu riskan bagiku untuk memaksaku pulang ke kostku yang letaknya di Sagan – Galeria Mall, di selatan sana.

Barulah keesokan harinya, sekitar pukul 08.00 WIB, aku terbangun dan berjalan pulang.
Karena ingin melihat kondisi Jalan Gejayan, pagi itu aku pun memilih jalan memutar melewati Jalan Gejayan.

Jalan Gejayan pagi itu begitu lengang.
Tak begitu ada banyak kendaraan yang berhasil lewat karena kondisi jalan yang sudah begitu rusak.
Divider jalan yang terbengkalai batu beton penyusunnya, pipa lampu jalan yang rubuh ke kiri dan ke kanan serta rambu-rambu jalanan yang tumbang.
Sementara penduduk sekitar yang semalam tentunya ikut bergabung bersama kami tampak duduk-duduk santai di pinggiran jalan.
Tidak ada lagi mahasiswa yang ada di sana, mereka semua telah benar-benar mundur ke markas.
Lalu berjalan hingga lebih ke selatan, kesibukan di Pasar Demangan yang ada di ruas selatan Jalan Gejayan pun telah berjalan normal seperti tidak pernah ada kejadian yang begitu
menggetarkan pada malam sebelumnya.

Aku berjalan semakin cepat, sudah saatnya aku pulang dan melanjutkan istirahat.
Tugasku sebagai mahasiswa yang berdemonstrasi untuk sebuah perubahan, usai untuk sementara waktu.


(Setiba di kost, Mama menelponku.
Rupanya, entah informasi dari siapa, ia tahu bahwa semalam aku ikut dalam riuh rendah Tragedi Gejayan.
Suaranya mengeras di ujung sana.
“Ora! Pokoknya semalam yang terakhir! Kamu nggak boleh ikut gitu-gituan lagi! Kamu pulang sekarang!”
Awalnya aku ingin berontak, tapi sedari kecil, aku tak pernah dididik untuk melawan perintah orang tua, terutama Mama yang telah melahirkanku.
Ya sudah. Menjelang siang, aku pun bergegas pulang mudik ke rumah, waktu itu orangtuaku tinggal di Kebumen, sekitar 110 km sebelah barat Yogyakarta.
Di sepanjang jalan Jogja – Kebumen nyaris tak ada perubahan apa-apa dan tak kutemui riuh rendah seperti yang terjadi malam sebelumnya di Jalan Gejayan.
Hingga orde reformasi berdiri, setelah Soeharto menyatakan mundur dari jabatan presiden, setelah tanggal 21 Mei 1998, aku baru kembali diijinkan oleh Mama untuk kembali ke Jogja.
Pada akhirnya aku hanya menjadi saksi pergantian reformasi dari depan layar kaca televisi yang beberapa hari itu kudominasi betul-betul demi perkembangan berita demi berita.)

Foto-foto tentang kondisi Jalan Gejayan pagi setelah peristiwa terjadi, diambil dari sini.

Sebarluaskan!

18 Komentar

  1. panjaaaanggg… :d mesti dibaca ulang nih…

    Balas
  2. iih maless bgt bacanya…telp gw aja deh doon….

    Balas
  3. Hmm.. peristiwa yang itu. Sejarah kelam yang akan selalu tercatat dalam diary bangsa ini. Atau mungkin 100 tahun mendatang tidak akan ada lagi yang mengingatnya dan akan ada yang menghapusnya dari buku sejarah masa itu. Entahlah, yang jelas umur peristiwa itu sekarang baru 10 tahun.

    Balas
  4. Telah runtuh Majapahit. Namun peristiwa pemberontakan Ra Kuti terhadap Jayanagara pada 1319 tetap tercatat dalam sejarah kelam negeri tersebut.
    Wahai Donny, kau telah turut menuliskan apa yang pernah terjadi di negeri ini meski dengan cara lain.
    Tulisan individu tentang individu tetap merupakan gambaran dari sisi suatu bangsa, betapa pun sederhana sudut pandangnya.

    Balas
  5. :) Ini panjang. Saya belum selesai mbaca. Saya akan kembali lagi utk tuntas membacanya. Saya salut dan bangga Kang Donny trnyata ikut terlibat aktif saat itu. Saya juga ikut Pisowanan 20 Mei di Alun2 Utara…
    Salut utk foto2nya. Ini foto2 jepretan sendiri? Alangkah bagusnya bila foto2 saat itu bisa dikumpulkan dari banyak sumber utk didokumentasikan. Salam :)

    Balas
  6. membaca tulisan ini membuat saya merinding. begini toh yg terjadi saat itu. salut untuk para mahasiswa pada saat itu.
    saya cuma pernah mendengar cerita kakak angkatan di syantikara, tahun 98 itu, sampai ada aktivis yg disembunyikan di asrama kami krn dikejar2 aparat. masuk ke asrama lewat selokan dengan badan penuh luka.
    ahh.. benar2 kemaren jadi hari yg patut direnungkan untuk semua.

    Balas
  7. ngeri banged bayangin kejadian malam itu, ternyata jalan mozes yang sekarang sering q kunjungi (ke rental VCD/ Beli HandPhone) di ambil dari seorang relawan SAR yang menjadi korban detik-detik menjelang reformasi. Sungguh tak q duga ada cerita begitu menegangkan dibaliknya, baca ceritanya seperti aku ikut dan menyaksikan peristiwa tersebut.

    Balas
  8. Ya bagus lah ceritanya. IKIP Yogyakarta yang sekarang sudah ganti namo jadi UNY Negeri Yogyakarta pernah mahasiswanya menjadi saksi akan adanya peristiwa kekerasan dan berdarah-darah itu.
    Tapi ya apa boleh buat, sekarang setelah lama dari peristiwa itu, ya kita juga kembali seperti ini-ini juga. Reformasi yang mencatat aksi kekerasan dulu, kini sudah tidak berbekas lagi. Lanjutkan reformasi!

    Balas
    • Sip!

      Balas
  9. waktu itu, aku ke sana, bertemu dengan seorang mahasiswa entah dari kampus mana, terengah-engah dan ketakutan minta perlindungan. kami dilindungi penduduk demangan. ledok petinggen tempat aman sebenarnya, tapi jauh :p nice post bro

    Balas
  10. Btw, kamu ngetik posting ini dari pengolah kata lalu dikupipes ke WordPress ya? *salahfokus*

    Balas
  11. Hmm….13 Tahun yang lalu.

    Balas
  12. Duh Gusti paringono sabar, lha saiki pemimpinne luwih parah kapan yo mas Donny lan rencang-2 mudun maneh. mas qt msh rakyat tertindas, kapan iso bebas merdiko nek duwe pimpinan koyo saiki. parah tenan. salam merdeka

    Balas
  13. Beruntung skali… Mei 98 aku msh menjadi calon mahasiswi, yg waktu itu msh ragu-ragu unt menginjakkan kaki di kota gudeg yg amat sgt mencekam waktu itu, yang pd akhirnya… Juga bertengger 7 thn d situ…

    Balas
  14. ms blh mnta almt email.ny??
    mau bantu sy bwt jd narasumber tragedi gejayan??

    Balas
  15. Hi ih aku juga masih ingat, palagi ada bantuan warga yg menyediakan batu batu di sekitar selokan ampe habis tuh atap mirota gejayan kita hujani dengan amunisi dari warga

    Balas
  16. Aku baca pelan-pelan ya Don supaya hikmat. Aku juga ngalami di Trisakti. Pulang ke rumah, kebetulan rumahku di belakang Topaz (Tomang Plaza – kerusuhan dan dibakar sekarang jadi Roxy Square), mamahku kaget. Besoknya, papah ngga kerja, adekku juga ngga kuliah. Aku disetrap ngga boleh terima telephon takut diajak lagi. Aku masih merinding sampai sekarang ketika dikejar-kejar, kena pukul dan gas air mata waktu itu.

    Balas
  17. senang liat kau sehat dan senang bersama keluarga di OZ don.

    Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Menolak Lupa, Semarang 20 Mei 1998 | Ferdy Bookelmann - […] Karena peristiwa ini, mahasiswa?UGM, Sanata Dharma dan?IKIP?Negeri Jogyakarta?kembali menggelar aksi pada tanggal 8 Mei 1998. (Baca. Gejayan 2) […]

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.