Bulan November tahun lalu aku berbincang dengan kawan lama, Yudith Christianto. Perbincangan itu adalah yang pertama sejak setidaknya 18 tahun silam. Yudith, seorang arsitek sekaligus perupa tinggal di Bandung. Dia adalah kawan dekat saat sama-sama sekolah di SMA Kolese De Britto Yogyakarta dan sama-sama jadi penghuni Asrama Ampel 2. Yudith asli Purwokerto, oleh karenanya sejak dulu kami selalu berbicara dalam Bahasa Jawa Ngapak.
Bahasa Ngapak
Buat teman-teman yang belum tahu, meskipun lahir di Klaten, aku tinggal di Kebumen sejak tahun 1984 karena alm. Papa pindah tugas. Lalu tahun 1993 aku pindah ke Jogja untuk keperluan studi. Keluarga orang tuakuku akhirnya meninggalkan Kebumen pada 1998, pindah menetap di Klaten hingga akhir hayat Papa, 2011 dan akhir hayat Mama, 2016 yang lalu. Aku sendiri tinggal di Jogja hingga tahun 2008. Sesudahnya aku pindah domisili ke Sydney, Australia hingga saat tulisan ini kurawi.

Kembali ke soal perbincanganku dengan Yudith, ada satu kejutan yang terjadi. Aku kehilangan kemampuan untuk berbahasa Ngapak! Awalnya tak kusadari hal itu tapi lama-kelamaan, ketika Yudith mengubah bahasa yang digunakan jadi Bahasa Jawa Bandhek (orang-orang di daerah Banyumas menyebut Bahasa Jawa Solo – Jogja sebagai Bandhek) aku tahu ada yang ‘nggak beres.’
“Hmmm… kenapa Dith? Bahasa ngapak-ku dadi aneh ya?” tanyaku.
Ia tertawa.
Kemampuan yang memudar
Setelah menelpon, aku lalu penasaran separah apa sih Bahasa Ngapakku saat ini. Aku lantas mencari teks cerita berbahasa Ngapak lalu merekam suaraku sendiri saat membacakannya.
Setelah aku dengar dan ternyata benar, kemampuanku berbahasa Ngapak memudar. Kalian bisa simak rekaman suaraku dalam Bahasa Ngapak di bawah ini.
Secara kosakata, aku masih tahu arti kata inyong (aku), rika (kami), kiye (begini), kepriwe (bagaimana) dan yang lainnya. Secara tekanan dan aksen, aku berjuang keras untuk mengucapkan kata-kata dalam cerita itu sambil mengingat bagaimana dulu aku berinteraksi menggunakan Bahasa Ngapak.
Tapi tetap saja, aku tak bisa memungkiri, kemampuanku Ngapak sudah kian memudar!
Yang pertama adalah soal bagaimana mengucapkan! Meski tak tertulis, tapi ketika menyebut kata dengan akhiran vokal, selalu ada imbuhan “-k” yang penuh tekanan meski tak disebutkan secara utuh.
Masalah kedua adalah intonasi. Aku kehilangan cara ber-intonasi menggunakan Bahasa Ngapak. Kapan dan dimana menggunakan penekanan seperti apa untuk konteks pembicaraan yang bagaimana. Semua hilang kendali!
Kebumen
Agak sedih sebenarnya mengetahui hal ini. Bagaimanapun juga, pengalaman hidup sembilan tahun di Kebumen adalah pengalaman yang ikut memahatku untuk menjadi seperti sekarang ini.
Karena rasa kehilangan itulah lantas akhir-akhir ini aku kerap menghubungi kawan-kawan lama di SMP, sering iseng ‘jalan-jalan’ lewat Google Map bukan supaya bisa kembali berbahasa Ngapak tapi lebih supaya kenangan-kenangan itu tak ikutan memudar…
Oh ya, sebenarnya tak sampai dua kilometer jauhnya dari rumah tempat tinggalku sekarang, bermukim seorang kakak kelas di SD Pius Bhakti Utama Kebumen dulu dan kebetulan kami berteman akrab. Kami berjumpa cukup sering tapi sayangnya, ia pun mengalami hal yang sama denganku, kemampuan berbahasa Ngapak-nya memudar.
0 Komentar