Kebahagiaan itu tak selamanya bisa kita raih karena hidup ini penuh suka dan duka tapi kelegaan adalah yang harus diperjuangkan sampai kapanpun juga!
Tujuh April 2011 adalah hari yang sangat menyedihkan karena Papa berpulang setelah 24 jam sebelumnya terserang stroke (serial tulisan tentang kepergian Papa bisa kalian baca di link ini) dan kejadian itu tentu tak kan pernah hilang dari ingatanku.
Tapi aku tak ingin mengulas lagi seluruh kejadian itu, melainkan ada secuil kisah yang terjadi di hari itu dan membuatku harus menuliskannya di sini untuk mendukung apa yang kutulis di paragraf awal tadi.
Cerita singkatnya begini,
Setelah aku tiba di Klaten, sebagai anak tertua, aku larut sibuk dalam acara perkabungan. Tamu mengalir bak derasnya air di Selokan Mataram saat musim penghujan tiba dan aku harus menyambut mereka satu per satu tanpa terkecuali.
Yang namanya sedang dirundung duka, meski berusaha tegar, tapi ketika mendengar ucapan turut berduka dari mereka terutama ketika mereka menyampaikan kesan terhadap almarhum Papa, atau ketika aku kenal benar tamu itu, aku lama-lama lelah dan leleh juga.
Leher ini sering mendadak kering menahan tangis dan akibatnya aku tak berhenti minum air mineral yang disediakan untuk mengusir haus.
Nah, saking banyaknya yang kuminum aku jadi kebelet kencing padahal untuk meninggalkan ruangan tempat jenazah papa disemayamkan tentu agak susah karena seperti yang kubilang tadi, tamu mengalir tiada henti.
Keadaan itu membuatku tak tenang.
Sedih karena berduka, letih karena semalam kurang tidur di hotel transit di Bali dan sekarang harus menahan kencing. Berkali-kali aku merencanakan untuk rehat lari ke toilet belakang tak kunjung ada kesempatan.
Hingga akhirnya, salah satu om dari pihak Mama menampakkan hidungnya, “Aha! Ini dia!” Aku segera meng-kode nya menggunakan mata. Om, yang kuakrabi sejak kecil karena usianya hanya terpaut 7 tahun di atasku itupun kupanggil dan kubisiki, “Tulung, aku digantiin bentar…kebelet nguyuh (kebelet kencing -red) !”
Ia mengangguk dan aku segera melesat ke belakang.?Rumah orang tuaku yang cenderung panjang membuat ‘jalur’ perjalanan dari ruang tamu ke kamar mandi yang letaknya paling belakang tak mudah. Harus melewati ruang tengah yang waktu itu penuh perabot ruang tamu yang dipindah, lewat dapur yang penuh orang yang membantu keluargaku untuk memasak keperluan perkabungan dan tiap melewati mereka aku harus menyapa dan terus menampilkan senyum, tak jarang juga dipeluk sana-sini dan diberi wejangan supaya tabah karena kepergian Papa dan ini membuat perasaan ingin kencing jadi semakin tak tertahankan lagi.
Dan ketika air kencing sudah kurasakan hingga ke ujung alat yang kupakai untuk mengeluarkannya, berbekal kata ‘Mit-amit.. nun sewu ndherek langkung (permisi.. mohon maaf, numpang lewat -jw)’ akhirnya kucapai kamar mandi, kubuka retsleting dan ssssssssrrrrrrrrrrr…. aku tersenyum, senyum penuh kelegaan pertama di hari itu.
Tiba-tiba aku teringat Seseorang berkata, ?Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu??
See…
Ketika kebahagiaan itu bergumul dengan beban dan masih jauh di bawah ufuk, kelegaan adalah jawaban yang sebenar-benarnya nyata.
dan ketika aku kehilangan alm. mama aku bahkan tidak bisa melihat wajah beliau untuk yang terakhir kalinya karena tidak bisa pulang ke Indonesia.
Mungkin itu satu-satunya penyesalan paling dalam sekaligus “luka” yang belum sembuh hingga kini.
Sorry to hear that… tapi yang pasti Mamamu sudah bahagia di sana, Mas Bro!
hadooooh don!
Perumpamaanmu itu kok pake kencing sih?
TAPI Kristus itu manusiawi sekali, dia pernah marah, sedih, putus asa dsb dsb,…. seandainya pernah ada episode seperti yang kamu alami, mungkin dia juga akan suruh penulis Injil mencatatnya (Atau sebetulnya ada, tapi Mat, Mark, Luke, Yoh pikir itu tidak penting sehingga tidak ada di Injil ya? hihihi).
Ssssst lain kali cerita ttg sembelit ya :D
Aku yakin pernah lah ia kebelet pipis gitu tapi waktu itu mungkin mudah cari toilet dan doi kan pake jubah? :)
Kelegaan, demi mendapatkannya, aku tau ngglembuk’i sopir majulancar berhenti mlebu warung di luar jadwal. *keceret*
Kisah nyata yang aspiratif, Mas Bro :)
Judul yang -menurutku- tepat pada artikel ini, “kebelet pipis” :P
Hmmmm, ngono ya? :)
Di tempat saya, ketika mengadakan kegiatan adat seperti pernikahan maupun kegiatan duka seperti Ngaben, tuan rumah memang biasanya sangat sibuk. Butuh banyak energi karena selain sibuk fisik juga sibuk otaknya.
Bener banget…