Blitar adalah sebuah kota persinggahan kecil. Bagi teman-temanku dan kalian semua, ia terkenal karena Supriyadi dan Bung Karno. Bagiku dan adikku, ia adalah tempat dimana kerabat Papaku berasal dan sebagian skarang masih meninggalinya. Kenangan waktu kecilku dulu, keluarga kerabat papaku adalah sebuah komunitas yang terasing bagiku. Aku tak pernah menemui mereka setiap hari, paling hanya setahun sekali ketika Lebaran tiba. Ketika mereka tertawa aku merasa seperti sebuah seringai kengerian. Mereka mendekatkan wajah mereka ke arah wajahku, tangan mereka sibuk mencubiti pipiku kegemasan.
Aku tak terbiasa dengan senyum, kata-kata dan polah tingkah mereka…lalu aku pun menjadi yang teramat jauh hati dengan mereka hingga seminggu sebelum kemarin.
Rumah nenekku sendiri adalah sebuah rumah jawa kuno yang dibangun ketika Belanda belum terlalu lama beranjak pergi dari bumi ini. Tembok-temboknya tebal, kukuh. Langit-langitnya begitu tinggi dan pada dua sisi yang berhadapan di dindingnya tertempel hiasan kepala rusa lengkap dengan tanduknya yang menantang. Warna yang dominan adalah putih dan hijau. Ruangan-ruangannya luas-luas. Ada kamar tamu, kamar kosong, kamar Eyang dan kamar Eyang Sepuh. Di atas kamar Eyang Sepuh ada sebuah bilik kecil yang selalu digunakan oleh eyangku yang solehah itu untuk berdoa dan berdoa. Di belakang ada selasar menuju dapur yang menurut pengamatanku waktu kecil tidak pernah bersih lantai permukaannya.
Dan sejak saat itu sampai seminggu sebelum kemarin, rumah itu terlalu asing dan angker bagiku.
Keputusanku untuk pergi berkunjung kepada nenek, sepupu, budhe serta keponakan di rumah yang kokoh itu pada minggu lalu adalah sebuah langkah awal untukku lebih mengenal mereka.
Lima tahun lebih aku menganggap tak terlalu penting untukku berkunjung kesana.
Lima tahun lebih aku tak memikirkan bagaimana kulit raut wajah nenekku yang semakin keriput serta uban-ubannya yang menggeser rambut hitam semakin lebat.
Lima tahun lebih aku tak memikirkan susah, senang, pedih dan perih mereka dalam menghadapi hidup.
Hingga Beberapa malam sebelum keputusan itu kuputuskan, aku bermimpi berada di dalam rumah itu. Di dalam mimpi itu kupandangi rumah nan sepi dan kuamati bagaimana kedua kepala rusa bertanduk masih berada pada tempatnya, terdiam.
Aku berangkat pergi bersama Citra, tanpa Papa dan Mama. Papa sudah terlampau sering mudik ke rumah Ibunya, sementara Mama… ahhh aku tak terlalu enak hati mengajak beliau berkunjung ke rumah mertua dan kakak-kakak iparnya… entah mengapa. Pada minggu sebelum kemarin, pada pagi yang cerah, aku memasuki rumah kokoh itu dan berhadapan langsung dengan nenekku yang semakin keriput dan beruban.
Kepadanya kuucapkan salam “Assalamualaikum” Kucium punggung tangannya dan ia pun mencium pipi kiri dan kananku…dan lima tahun keterasingan itu pun memudar begitu saja, merepih jatuh menuju ke lantai.
Tulisan ini adalah salinan dari blog saya yang ada di friendster. Pernah dimuat di sana pada tanggal 13 Juni 2007
Ke Rumah Nenekku…
———————-
Judulnya kayak pelajaran mengarang waktu SD. Hihihi… ;))
emang lu berani tidur disana ? gw rasa ituh alasan utama lu kan ga pernah kesana selain eyang lu jg males dikunjungi sama lu…