Acara seni kejadian atau happening art bertajuk “Bagus Kodok Ibnu Sukodok Daup Peri Roro Setyowati” karya Bramantyo Prijosusilo yang digelar 8 Oktober 2014 silam ramai menghiasi baik itu mainstream maupun social media.
Ditilik dari kacamata ‘kekininan’ acara perkawinan seorang bernama Bagus Kodok Ibnu Sukodok dengan Setyowati yang adalah makhluk tak kasat mata tentu sesuatu yang janggal, tapi bagiku ini justru menarik, semenarik dan seunik karya seni kejadian Mas Bram sebelumnya, Membanting Macan Kerah yang digelar awal 2012 silam dan pernah pula kutulis di sini.
Dua hari setelah acara dilangsungkan, aku menghubunginya lewat jendela percakapan Facebook untuk mewawancarainya. Jalannya obrolan sore itu berlangsung tak kalah menariknya dengan acara itu sendiri karena aku mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin luput ditulis dan ditanyakan wartawan-wartawan dari mainstream media minggu lalu.
Meski ini ungkapan subyektif, tentu ini bukan karena kami sama-sama alumni SMA Kolese De Britto (Mas Bram adalah lulusan De Britto tahun 1983, tiga belas tahun di atasku) tapi lebih bagaimana mengelola proses tanya-jawab dari seorang sebrilian Mas Bram dengan cara yang tak kalah briliannya oleh… oleh pemilik blog ini hahaha…
Nggak perlu pakai panjang kali lebar lagi, simak wawancara selengkapnya berikut ini:
Motivasimu dibalik acara perkawinan Kodok dan Setyowati ini apa?
Tanggung jawabku sebagai seniman untuk membuat karya membangun peradaban berdasarkan budi.
Membangun peradaban berdasarkan budi? Maksudnya?
Sabda Palon dan Naya Genggong (dua penasihat spiritual Prabu Brawijaya V yang memerintah ada era 1400-an masehi -red) moksa pada saat runtuhnya Kerajaan Majapahit, dengan janji kembali mengejawantah bilamana orang kembali beragama “budi”.
Kembalinya “agama budi” disaksikan kaum Jawa di sekitar 1945, ketika seluruh Nusantara dengan ikhlas memberi untuk kemerdekaan. Namun dalam perkembangannya Sabda Palon dan Naya Genggong urung hadir karena krisis-krisis sosial dan politik yang kita alami kita selesaikan dengan cara yang berdarah.
Apalagi di tahun 1965, banjir darah besar dalam sejarah umat manusia. Maka kemenangan apapun, tidak akan mampu membangun peradaban berdasar budi karena tak ada peradaban berdasarkan budi ditegakkan di atas telaga darah.
Itu juga terjadi pada Era Reformasi … tapi sejak itu … tsunami, gempa, gunung meletus … semua mulai membuka kedok pejabat bebal dan mengerahkan maksud baik relawan, bahkan ketika Orde Baru mengancam mencaplok bangsa ini kembali, relawan digalang Roh dan bergerak. Ini adalah bukti bahwa Sabda Palon dan Naya Genggong hampir kembali.
Maka ketika Jokowi punya program Revolusi Mental dan terjadi krisis politik yang berpotensi makin meruncing, ini adalah janji : Bila Jokowi bisa memenangkan krisis politik ini tanpa berdarah maka Sabda Palon dan Naya Genggong akan hadir.
Sungai-sungai akan bersih, jernih, banyak ikannya. Pohon-pohon akan hijau, subur, banyak buah dan burung-burungnya, hutan-hutan akan teduh, aman, nyaman, Bengawan Solo, Citarum, Ciliwung, Brantas dan sungai-sungai lain kembali jadi nadi transportasi, sekolah nggak lagi tawuran, orang bahagia, trotoar mudah dilalui anak kecil maupun orang jompo … ya Ratu Adil akan tiba, tapi ada syaratnya. Itu pesan mistis sesungguhnya yang hendak kusampaikan.
Tapi memang yang kuamati dari lini masa setelah acara dilangsungkan, banyak orang seolah lebih tertarik membicarakan issue happening art ini dari sisi mistisnya. Apa memang ada plan untuk jadi seperti ini?
Segi mistisnya hanya sebagian dari keutuhan karya ini.
Sebagai tonggak sejarah dalam hubungan manusia Jawa dan mahluk halus, para Dhanyang tanah Jawa memberi apresiasi dan itulah sebabnya pada saat itu Ratu Kidul hadir dan Sabda Palon serta Naya Genggong juga hadir di antara ratusan lebih dhanyang Jawa yang hadir (konon pada salah satu mata acara, angin besar tiba-tiba hadir di acara itu. Satu tanda yang diyakini orang sebagai tanda hadirnya Ratu Kidul -red).
Banyak yang bilang mengadakan acara pernikahan dengan peri itu sebagai langkah mundur ke beberapa era karena dengar-dengar dulu pun banyak orang menikah dengan peri. Bagaimana pendapatmu?
Aku nggak pernah menggunakan term fikh ‘pernikahan’ karena ini perkawinan atau daub atau rabi dengan menggunakan adat jawa lengkap dengan prosesi mulai dari malam midodareni sampai siraman, sanding dan jebol penganten.
Dan bagiku, perkawinan ini justru tonggak Sejarah Jawa karena dulu hanya raja dan bangsawan yang bisa kawin dengan makhluk haslu tapi kini rakyat jelata pun bisa. Kukatakan ini adalah tonggak sejarah karena ini adalah pertama kalinya perkawinan dengan roh di alam nyata dengan cara memanusiakan peri tersebut. Ini juga seni upacara, melibatkan keikhlasan orang banyak.
Perkawinan ini ada pertanggungjawaban sosialnya juga nggak?
Ya ada tho…
Kodok dan Peri Setyowati kawin dengan komitmen mengayomi dan melindungi alam, budaya dan kesejahteraan bangsa Jawa, khususnya di sekitar Sendang Margo Alas Begal serta alas Ketangga di Paron, Ngawi. Jadi waktu acara temu, keluarga Peri Setyowati memberi mas kawin kepada Kodok berupa bibit pohon bodi, beringin, dan dadap serep, untuk menghijaukan lagi Sendang Margo yang malang.
Bagaimana kamu menempatkan agama dalam perkawinan kemarin atau jangan-jangan tidak ada sama sekali?
Agama dalam arti kepercayaan dari Timur Tengah ya nggak ada sama sekali. Ditempatkan sebagai kontrol saja untuk tidak musyrik. Kalo agama dalam arti keyakinan dalam adat Jawa, ya ini perkawinan. Setyowati minta kawin di alam manusia sementara nikah di gereja kan nggak mungkin? Ke KUA juga tidak. Untuk membuat mungkin di dalam adat Jawa ya dengan memberi bingkai happening art alias ‘seni kejadian’ atau ‘seni peristiwa’.
Acara nikah ini perlu dana berapa dan funding bagaimana?
Crowd funding plus uangku sendiri. Out of pocket sekitar 15 juta dan spendingnya sekitar 30 juta lebih. Kobol-kobol hahahaha….
Wow!?
Untuk acara kesenian sebesar ini, angka segitu bisa dibilang SANGAT MURAH hahahah… Semua talent yang tampil adalah word class artist dan semuanya gratis.
Acara ini melibatkan berapa orang?
Taksiranku dari banyaknya kendaraan yang parkir sih ada sekitar ribuan motor dan ratusan mobil yang mendatangi desaku. Radius 7km dari rumah, warung-warung panen!
Wow… Cool!
Ke depan kamu mau bikin gebrakan acara apa lagi?
Wah nggak tahu, mengalir saja seadanya. Ini sekaligus penerapan ilmu kapujanggan-nya Rendra.
Wah, apa itu?
Jadi hidup harus seperti spons, meresapkan tanpa diskriminasi batin masyarakat, lalu merespon dengan karya untuk kebaikan.
Klik di bawah ini, buklet acara diambil dari facebook
Seru bgt obrolannya, walau bahasa jawanya byk yg ngga ngerti. Tanya sana sini akhirnya kelar bacanya. Jadi lebih bergizi setelahnya. Trims ya mas :D
Makasih, Mbak.
Maaf kalau banyak penggunaan Bahasa Jawa yang tak kuterjemahkan karena kerepotan dan tak mau kehilangan rasa…
Sebenarnya setelah dihitung rinci oleh istriku, akhirnya biaya yang keluar mendekat 150 jutaan dan tabungan kami amblasssssss wkwkwkwkwk meski sebagian besar biaya ditanggung crowd sourcing … maaf waktu wawancara aku belun ngerti betul akutansinya
Izin menggunakan gambar booklet yang ada pada laman ini untuk modul pembelajaran ya.. terima kasih