
Gibran, rasah nganggo mas-masan kaya liyane ya…:) Awake dewe kan juga rung kenal, kenalo aku tetap panggil kamu Gibran. Bukan karena aku lebih tua sepuluh tahun darimu, tapi caraku untuk berbicara dengan orang secara informal memang begitu. Lebih egaliter, lebih asik tanpa ada batasan…
Bicara tentang keputusan yang diambil Mahkamah Konstitusi terkait diperbolehkannya mereka yang berumur di bawah 40 tahun dengan syarat (aku sengaja gak menulis lengkap supaya tulisanku gak tambah panjang!) untuk maju menjadi capres-cawapres, meski orang yang permohonannya dikabulkan itu ngaku sebagai fans kamu tapi barangkali sebenarnya keputusan itu bukan untukmu.
Aku mengumpamakannya sebagai kursi dan karpet merah.
Bran, sejak lahir hingga beberapa tahun berikutnya, aku dan keluarga orang tuaku tinggal di Klaten, kota yang jaraknya sepelemparan batu dari rumahmu.
Suatu hari, bapak dan ibu pernah membawaku njagong manten di kotamu, Sala. Waktu itu belum jamannya prasmanan kayak sekarang. Semua tamu harus duduk untuk mengikuti prosesi demi prosesi acara dan makanan serta minuman diantar oleh para sinom (Di Klaten kami menyebutnya piring terbang).
Nah, uniknya, ketika kami datang dan dipersilakan duduk di kursi yang letaknya cukup di depan, almarhum Bapakku menolak. Aku gak paham apa yang mereka omongkan tapi pokoknya dia menolak dan akhirnya kami duduk lumayan agak di sisi belakang.
Aku tanya ke almarhumah Ibu dan jawabnya, “Saru! Belum tentu kursi itu sebenarnya diperuntukkan bagi kita! Jadi Bapakmu menolak dan memilih duduk di belakang saja sambil menunggu kalau benar kursi itu untuk orang lain!”
Trus dengan polosnya aku tanya ke Ibu, “Lha kalau ternyata untuk kita?” Ibuku menjawab, “Ya nanti kita maju! Pokoknya nggak sekarang. Ora ilok!”
Keputusan Mahkamah Konstitusi itu memang pas untukmu. Tapi ibarat kursi jagong, belum tentu kamu adalah orang yang paling tepat untuk ada di situ atau setidaknya belum sekarang mungkin nanti lima atau sepuluh tahun lagi…
Tentang karpet merah, aku mengajakmu untuk merefleksikan apa yang dilakukan Prabowo Subianto. Orang yang konon sudah melamarmu berkali-kali untuk menjadikanmu bacawapresnya. Prabowo itu dalam konteks yang hendak kuceritakan adalah orang yang menurutku tahu adab.
Ketika acara resepsi Hari Ulang Tahun RI tahun ini, Prabowo dan anaknya tertangkap kamera hendak masuk ke Istana Negara. Di depannya tergelar karpet merah. Seperti halnya orang-orang lain sebelumnya, anak Prabowo pun hendak melewatinya tapi buru-buru dicegah oleh bapaknya. Mereka lantas melipir tidak melewati karpet merah itu untuk sampai di tempat resepsi.
Kenapa? Asumsiku, Prabowo berpikir sama dengan almarhum Bapakku dalam kisah di atas tadi. Bahwa karpet merah itu memang ada di depannya tapi Prabowo barangkali berpikir bahwa gelaran itu belum tentu untuknya.
Mawas dirilah, GIbran. Berpikirlah terutama tentang dampak.
Yang utama ya keluargamu.
Kamu menikah belum lama. Anak-anakmu pun masih kecil-kecil. Mereka butuh sosok suami dan bapak hadir lebih sering di rumah daripada di kantor, blusukan dan lain sebagainya. Waktu tidak akan berulang dan sayangnya kita tidak tahu akan seberapa pendek atau panjang.
Berpikirlah juga untuk bapakmu.
Waktu bapakmu berkuasa tinggal setahun lagi. Apa yang sudah dicapainya dalam sembilan tahun itu jangan menjadi seperti panas setahun yang terhapus gara-gara hujan sehari, gara-gara kamu salah langkah dan dia jadi bulan-bulanan karena dianggap hendak melanggengkan kekuasaan.
Berpikirlah juga untuk generasimu atau yang lebih muda darimu. Benar! Peluang memimpin bangsa jadi terbuka bagi yang muda dan mereka gak harus menunggu sampai tua untuk jadi siapa dan apa.
Tapi hati-hati, karena apa yang mereka pandang bisa jadi gak seperti itu dan tidak stereotipikal. Bisa jadi mereka berpikir bahwa oh ternyata untuk menjadi seorang pemimpin, prosesnya ternyata nggak perlu lama ngendon di partai tapi bisa langsung melesat sat-set sepertimu. Aku gak bilang bahwa kamu bisa jadi secanggih sekarang karena faktor keluargamu di sini. Tapi come on… mari berpikir jujur, adakah kamu pikir semua orang bisa sepertimu?
Pun… mekaten rumiyin, Gibran.
Masih ada beberapa hari ke depan sebelum kamu mengambil keputusan. Carilah keheningan di tengah ramai yang memekik karena di dalam hening niscaya kita bisa menemukan suara Tuhan yang lembut nan menyejukkan…
Salam dari Sydney…
Nek dolan mrene kabar-kabar! Ra sah nggawa paspampres akeh-akeh ben iso asik-asikan ;)
Aku militan Jokowi tapi nek ngene, pokoke tetep Ganjar