Karena di dalam otak anak tak ada tombol ‘delete’

21 Sep 2016 | Cetusan

Terakhir kali aku nonton film yang bukan film anak-anak di bioskop adalah lebih dari enam tahun silam. Filmnya, Mao Last Dancer kutonton bareng Joyce di Castle Tower Event Cinema. Waktu itu Joyce sedang hamil anak pertamaku, Odilia.

Sesudahnya, sesudah punya anak, kalau mau nonton film yang bukan film anak-anak, aku selalu menunggu rilis versi DVD-nya atau akhir-akhir ini ya lewat Netflix.

Kenapa?
Bioskop di sini melarang anak-anak untuk masuk ke gedung pertunjukan film yang bukan diperuntukkan bagi mereka. Sebaliknya, mereka mengatur supaya lebih banyak film anak-anak diputar saat akhir pekan maupun saat libur sekolah tiba.

film

Membaca postingan yang ramai beredar di social media baru-baru ini tentang kekecewaan Kang Dudun terhadap film Warkop Reborn yang laris manis itu, aku jatuh iba.

Sebagai orang tua dari anak-anak yang masih ‘di bawah umur’, aku bisa merasakan kekecewaannya. Sudah terlanjur mengajak anak-anaknya yang masih di bawah umur untuk menonton, eh… di dalam disuguhi banyak aksi yang menyerempet pornografi dalam film yang konon jumlah penontonnya melebihi rekor AADC 2 beberapa bulan silam.

Tapi tanpa mengurangi rasa hormat sebenarnya peristiwa memilukan itu bisa dihindari atau kalau sudah terlanjur ya bisa dihentikan supaya tak jadi keterlanjuran.

Kuncinya ada pada penyadaran diri bahwa sayangnya regulator dalam hal ini pemerintah, for some reason, mereka enggak menerapkan aturan bagi para pemilik bioskop untuk mengklasifikasi penonton tergantung pada klasifikasi film yang diputar.

Ironis memang.
Karena dalam beberapa sisi, pemerintah (dan operator layanan) tampak overacting dalam mengelola aturan, misalnya pengaburan tayangan olahraga yang kutulis kemarin di sini, tapi pada hal-hal yang sifatnya juga tak kalah mendasarnya seperti soal larangan nonton di bioskop seolah malah dibiarkan begitu saja.

Penyadaran akan hal itu harusnya lantas membuat kita ngecheck tentang film yang hendak ditonton baik dari sisi sinopsis (tak hanya nonton trailer, Kang), klasifikasi batasan umur penonton dan… feeling.

Feeling ini penting karena meski film diperuntukkan bagi anak-anak, kadang aku dan Joyce memilih untuk tidak menonton atau tidak membelikan DVD bagi Odilia dan Elodia. Kenapa? Ada kriteria-kriteria tambahan yang kami terapkan untuk anak-anak pada masa perkembangan dan pertumbuhannya. Misalnya kami menghindari film anak-anak yang mempertontonkan keterpisahan anak-anak dengan orang tuanya, atau film-film yang mengandung unsur penyerangan, pemukulan meski itu hanya dalam taraf main-main antar lakon film. Pornografi? Apalagi! Jelas kami hindari…

Cara untuk dapat info seperti itu? Google! Googling it!

Lantas bagaimana kalau kita sudah terlanjur masuk ke dalam gedung dan filmnya ternyata untuk orang dewasa atau ada unsur-unsur adegan yang kita tak mau anak-anak menyaksikannya?

Selalu ada ‘Pintu Keluar’, kan?
Keluarlah saat itu juga! Kalau anak-anak protes, beritahu bahwa film itu belum saatnya ditonton oleh mereka. Jangan mikir ‘Sayang uang’ atau “Wah pengen nonton nih! Kalau ceritanya kutulis di blog bakalan seru nih!” Uang bisa dicari lagi, kesempatan untuk nonton ulang juga bisa difasilitasi, tapi tayangan tak senonoh yang sudah terlanjur masuk ke bilik pikir dan rekam ingatan si anak, bagaimana bisa membuatnya lupa karena di otak tidak ada tombol Delete seperti di keyboard komputer.

Jadi, berhati-hatilah!
Berlaku inisiatif dan proaktif untuk melindungi keluarga terutama anak-anak tentu bijak adanya.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.