Ma, Pa?
Setiap merayakan ulang tahun seperti hari ini, satu hal yang paling aku syukuri adalah ketika aku mendapatkan begitu banyak ucapan selamat dari handai taulan.
Jumlahnya ratusan, Ma! Pa!
Datangnya dari sapaan langsung, telepon, pesan di WhatsApp, hingga social media.?Semua itu kuanggap sebagai lantunan doa. Doa adalah tanda cinta, jadi banyaknya doa yang kuterima memberi makna betapa banyak pula cinta yang kuterima.
Menerima cinta mengingatkanku padamu karena cinta Tuhan yang mula-mula kurasakan empat puluh tahun silam datang melaluimu, Papa dan Mamaku!
Dari bagaimana kalian berdua dulu memperjuangkanku supaya aku tetap bertumbuh dan tak mati di dalam rahim. Bagaimana supaya aku lantas menjadi besar, engkau sekolahkan, engkau didik dan perhatikan hingga akhirnya selayaknya busur anak panah, akupun engkau lepaskan?melesat terbang tinggi.
Cinta yang kau berikan adalah cinta yang besar. Cinta yang tidak artifisial yang tak molek dan tak mahal. Cinta yang cemerlang dan kemilaunya tak bisa ditukar dengan uang, saham apalagi bitcoin!
Cinta yang sederhana yang tampak poda sepasang sepatu roda yang kau hadiahkan dulu kepadaku, Pa. ?Selamat ulang tahun, Le! Hadiahnya di lemari, bukalah!? Mataku berbinar-binar melihat sepasang sepatu roda ada di sana. Bukan yang termahal tapi hal itu tak membuatku murung karena engkau membelikanku, lagi-lagi dengan cinta.
Ketika sempat aku hampir menyerah untuk berhenti belajar bersepatu roda karena berkali-kali jatuh, engkau meyakinkanku untuk terus melanjutkan karena jatuh, lebam dan luka adalah bagian dari perjalanan hidup yang penuh bunga? ?Mosok nyerah? Eman-eman, Papa wes mundhutke sepatu roda lho!? begitu katamu dulu.

karena cintamu
Cinta yang sejati nan tampak pada kesetiaanmu dulu mengantarku ke stasiun kereta api Klaten hampir setiap sore untuk sekadar membujukku supaya mau makan, Ma?
Kamu tahu benar aku suka melihat bagaimana deret gerbong kereta Senja Utama yang melaju dari Solo Balapan ke Gambir dan berhenti lima menit lamanya di Klaten tercinta.
Setiap kali aku emoh makan, kamu selalu bilang, ?Ayo dimaem sik mengko sepure ora teko lho, Le!? Dan aku membuka mulut menerima asupan nasi hangat dan abon serta telor ceplok kesukaanku. Lalu ketika suara kereta makin mendekat, aku bertanya, ?Wes tekan endi, Ma?? Dan kamu menjawab, ?Wes tekan Srago? ngenteni sinyal dibuka. Ayo maem meneh..? Dan aku bersicepat makan supaya ketika kereta Senja Utama benar-benar tepat berada di depanku, aku bisa menikmati pemandangan rentetan gerbong itu dengan seksama.
Ah, aku jadi ingat juga bagaimana kamu selalu menjawab, ?Nanti kalau kamu sudah besar, Le!? ketika aku bertanya kapan aku diajak nonton Monas yang katanya tak jauh dari Gambir, tempat kereta api Senja Utama menemui tujuan akhir. Ma? setiap hari aku bisa menyaksikan Sydney Opera House dan betapa kelu hatiku setiap mengingat akulah yang justru tak bisa membawamu kemari?
Ma? Pa? Terimakasih atas pengalaman kasih yang kau berikan sejak aku lahir dulu. Lanjutkanlah istirahatmu dalam damai yang tidak senyap, damai yang gempita karena sukacita nan abadi memeriahkan suasana surga tempat kalian tinggal sekarang.
Doakanlah aku, Joyce dan anak-anak dari atas sana.?Sampaikanlah kepada Tuhan betapa aku mensyukuri pertambahan usia ini. Katakan padaNya betapa aku, di sisa hidup dan umurku, hanya ingin bisa lebih mencintaiNya dan keluarga serta sesamaku. Aku mencintai karena aku telah dicintai olehNya lebih dulu melalui orang-orang terdekatku dan pada awalnya adalah melalui kalian?
Sembah pangabekti kawula,
DV
0 Komentar