Kapan kamu memutuskan untuk tak makan ke warung yang sama lagi?

12 Agu 2013 | Cetusan

Ada banyak alasan untuk kita pada akhirnya memilih tak lagi datang untuk makan di sebuah rumah makan yang entah baru pertama kali kita kunjungi atau sudah menjadi langganan untuk beberapa lama waktu sebelumnya.

Nggak enak!

Ini alasan utama dan menurutku paling jamak kita gunakan untuk menimbang keputusan apakah kita mesti harus makan di sana lagi atau tidak. Padahal enak-nggak-enak itu urusan selera. Ada rumah makan yang makanannya menurut kita enak tapi seribu orang lain bilang tidak dan sebaliknya. Ya skali lagi, urusan lidah. Tak ada yang benar, dan ngapain juga menganggap salah?

Mahal

Bukan alasan utama tapi ketika kita tahu harga makanan sejenisnya di rumah makan lainnya tak semahal di sini, ya sudah kita stop nggak kemari lagi. Apalagi kalau ternyata rasanya juga ga beda jauh dengan yang lainnya. Buat apa?

Kualitas turun

Ini terkait rumah makan langganan sih sebenarnya. Karena aku sudah tidak tinggal di Indonesia, ketika pulang ke Tanah Air, hal yang paling ditunggu-tunggu selain berjumpa sahabat dan kerabat adalah mencicipi makanan di warung makan langganan. Tapi rasa yang menggebu-gebu itu akhirnya kadang harus layu ketika tahu bahwa makanan yang disajikan sudah tak seenak dulu. Wah kalau sudah begitu kecewa sih, tapi mau bagaimana lagi, tinggal dicoret dari daftar wajib kunjung pada liburan berikutnya sambil cari alternatif pengganti kira-kira ada nggak ya yang makananannya seenak yang dimasak di rumah makan ini tapi versi dulunya.

Kuantitas turun

Bagiku, makan itu harus banyak atau setidaknya ada ukuran yang jadi takaran status bahwa kita kenyang!

Jadi ketika kuantitas turun dengan pertimbangan ‘Ketimbang naikin harga mending turunin ukuran porsi’ kadang bikin kita jadi gamang juga untuk kembali ke sana. Pesan porsi tambahan setelah piring pertama kering dari makanan memang bisa, tapi kan harus nunggu lagi dimasakin keburu turun nafsu, sementara untuk pesan porsi jumbo kadang malu juga sama orang lain yang makan di sekitarnya, ?Ih, Masnya ganteng-ganteng kok makannya banyak!? Mereka tak tahu kegantengan itu justru berasal dari makan yang banyak *halah

Nemu rambut di makanannya

Rambut yang ditemukan di makanan adalah critical issue buatku karena menjijikkan.

Rambut yang ditemukan di makanan adalah critical issue buatku karena menjijikkan.?Seenak apapun makanannya, semewah apapun tempatnya, ketika rambut kutemukan pada masakannya, itu bagai alarm yang mengharuskanku pergi saat itu juga!

Pernah suatu waktu aku makan di rumah makan langganan. Tau-tau, ketika sedang asyiknya makan, aku menemukan rambut di dalamnya!

Yang terjadi kemudian adalah, kuambil rambutnya, lalu berdiri dan berkemas, memberikan rambut itu ke penjualnya dan bilang kalau aku gak mau bayar lalu pergi.?Ini adalah alasan terkuat untukku tak pernah mau datang lagi ke sebuah rumah makan. Never.. ever!

Makanan bau

Ini juga sama saja dengan soal rambut tadi. Pernah makan di rumah makan, nasi rames kalau nggak salah. Awal-awalnya enak dan itu membuatku semakin lahap menyantap. Eh tau-tau pas ambil sayur, dimasukkan ke mulut lalu… ughh.. sayurnya sudah bau tak terlalu sedap. Kalau sudah begitu, aku langsung menyudahi makan, menjelaskan ke penjualnya dan memintanya untuk tak melakukan lagi meski sebenarnya aku juga gak akan mau datang ke situ lagi. Ya basa-basi dikitlah.

Kotor!

Definisi kotor bagiku dalam kaitannya dengan tempat makan itu terkait dengan ekspektasi.?Tempat makan kotor adalah tempat makan yang aku ekspektasikan bersih, tempat berAC, lantai keramik, bangunan apik, tapi nyatanya malah kotor entah karena kotoran tanah yang basah terbawa tapak alas kaki yang malas menginjakkan kaki dan membersihkannya di keset yang telah disediakan.

Pernah suatu waktu dulu aku sedang makan di rumah makan mewah spesialis seafood. Di sebelahku ada seorang bapak, makan ikan juga.

Tapi alih-alih durinya ditaruh di piring, ia memuntahkan duri dari dalam mulutnya ke lantai dan meja tempat ia makan. Aku mencoba untuk tutup mata. Setelah ia pergi, pelayan tak segera membersihkan meja yang sangat kotor itu untuk beberapa saat, dan aku sudah terlalu cepat memutuskan bahwa itu adalah kali terakhir aku akan makan di sana tidak akan lagi mau untuk waktu yang barangkali lama.

Oh ya, bagiku, makan di warung angkringan ataupun selasar pasar beringharjo itu tidak makan di tempat kotor karena memang aku tak pernah berekspektasi untuk mendapatkan tempat yang bersih di sana.

Terlalu banyak hutang dan takut ditagih

Nah kalau yang terakhir terjadi ketika masih mahasiswa. Duit yang mengalir tak berirama sama setiap bulannya membuat kadang makan itu perlu ngutang juga.

Punya kenalan warung makan yang sangat baik adalah sasaran buat mahasiswa tak berduit sepertiku dulu. Awalnya coba-coba ngutang sekali, sang ibu pemilik warung bilang “Oh gak papa.. asal dicatat kamu bisa bayar kapan saja!” Lalu makin lama makin tuman (ketagihan -jw) tiap kesitu tiap tanggal tua dan tak punya uang. Tiap kesitu tiap hari senin setelah weekend sebelumnya hura-hura dengan uang yang waktu itu sebenarnya tak seberapa lalu tiba-tiba sadar hutang menumpuk sekian banyak dan itu adalah pertanda; saatnya untuk mencari warung yang bisa diutangi lagi yang lainnya :)

Sebarluaskan!

10 Komentar

  1. Aku pernah tuh beli lontong, nemu kecoa di dalemnya. Begh, muntah-muntah… Ini sekarang pas nulis komen ini ngebayanginnya eughhh.. >-<
    Tapi aku ngga seberani Om, nyamperin si penjualnya.
    -________-"

    Sebenarnya tiap makan di luar, aku tuh ngebayangin yang aneh-aneh. Tapi sekarang belum punya kesempatan utk masak, jadinya yahhh.. Ditahan-tahanin makan di luar, meski ga jarang juga sakit perut. Kalau setelah makan di satu warung, aku sakit perut. Aku stop dulu sementara makan di situ. Atau, kalau terpaksa beli di situ, pilih makanan yang kering alias ngga berkuah. *anak perantauan*

    Balas
    • Wah, untung bukan aku yang nemu kecoanya.. Kalau aku yang nemu udah kulempar ke penjualnya tuh :)

      Balas
  2. Yang terakhir bikin ngakak..

    Btw, itu kata “tuman” artinya sama dengan di Bali ya, walaupun kata itu makin jarang digunakan sekarang.

    Balas
    • ‘tuman’ masih cukup sering diucapkan di Jawa. Dulu aku ingat jaman Roenald Koeman dan Erwin Koeman, keduanya pemain belanda era 80-an, sering kami plesetkan jadi Roenald dan Erwin Tuman :)

      Balas
  3. Aku pernah nemu ulet sawi dan ukurannya jumbo di capcay yg lagi kumakan. Berhubung aku jijik banget sama itu hewan, adalah aku teriak trus sendok ama garpunya melayang. Ku comel saat itu juga penjualnya. and yes aku tak perna balik lagi ke sana.

    Balas
    • Iiiihhhhh… jijay…

      Balas
  4. Hmm… pernah juga makan bakso nemu ada laler ijo di dalamnya :(

    Balas
    • Iiiihhhh… jijay

      Balas
  5. kalau aku nggak balik ke tempat makan yg sama karena mahal, nggak enak, dan/atau kotor tempatnya.

    Balas
    • sbenernya nek mahal, buatku brarti bukannya ga balik nek emang enak tapi lebih, nggak ke sana dulu soalnya masi nabung hahaha:)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.